Kemenag Kerahkan Penyuluh Sosialisasikan Aturan Ahmadiyah
Kementerian Agama mengerahkan Penyuluh Agama Islam (PAI) untuk menyosialisasikan kembali Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, atau Anggota Pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Hal ini dilakukan, pasca-terjadinya kasus perusakan tempat ibadah jemaat Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat oleh sekelompok orang.
Keterangan ini disampaikan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Kamaruddin Amin, dalam sebuah wawancara televisi nasional, di Jakarta.
“Kalau Surat Edaran (SKB 3 Menteri) ini ditaati bersama-sama, sesungguhnya tidak akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Kesungguhan kita kan bagaimana Surat Edaran ini menjadi panduan bersama, kemudian ditaati bersama,” ungkap Kamaruddin, Rabu 8 September 2021.
Surat Edaran (SKB 3 Menteri)
Tantangannya saat ini, lanjut Kamaruddin, banyak masyarakat yang belum memiliki pemahaman memadai terkait SKB tersebut. Karenanya, Kemenag pun mengerahkan penyuluh agama dan bersinergi dengan ormas Islam untuk menyosialisasikan SKB tersebut.
“Ini yang terus kita lakukan. Kementerian Agama dengan Penyuluh Agama, dengan seluruh struktur Kemenag dari pusat hingga daerah, bekerja sama dengan Ormas Islam terus melakukan komunikasi dan sosialisai terhadap Surat Edaran ini,” sambungnya.
Menurut Kamaruddin, SKB yang ditandatangani Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung ini telah memberikan panduan yang jelas terkait dengan kedudukan Ahmadiyah di Indonesia.
“Sangat jelas sekali apa yang harus dilakukan, pihak Ahmadiyah harus ngapain, masyarakat harus ngapain, dan aparat keamanan harus ngapain, itu sebenarnya jelas dalam surat itu,” jelas Guru Besar UIN Alaudin Makassar ini.
Ia menegaskan, untuk mengatasi permasalahan Ahmadiyah tidak dibenarkan melakukan kekerasan serta tidak boleh main hakim sendiri. Tetapi, di sisi lain, jemaat Ahmadiyah juga harus melaksanakan apa yang tertuang dalam SKB tiga Menteri tersebut.
“Ahmadiyah tidak boleh menyebarkan faham, tafsir agama, bahwa ada nabi setelah Nabi Muhammad, tidak boleh dilakukan.Tidak boleh atas dasar hak azasi manusia atas dasar semua orang punya hak dasar yang sama dalam bangsa ini, apapun itu alasannya tidak boleh.
"Karena paham itu berpotensi melanggar UU PNPS No.1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama,” tutur Kamaruddin.
Untuk itu, Guru Besar UIN Alauddin Makassar ini meminta semua pihak menahan diri dan menyelesaikan persoalan dengan baik.
“Satu sisi pihak Ahmadiyah harus menahan diri dan di lain sisi masyarakat khususnya umat Islam juga harus menahan diri untuk tidak melakukan hal anarkis,” pesan Kamaruddin.
Advertisement