Kemen PPPA Sebut Sinetron Zahra Langgar Hak Anak
Heboh sinetron Zahra atau Suara Hati Istri: Zahra ikut dikomentari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). Pihaknya menegaskan sinetron Zahra yang ditayangkan Indosiar salah satu bentuk pelanggaran hak anak. Anak belum genap berusia 15 tahun diberi peran sebagai istri ketiga dan dipoligami.
Apalagi pemerintah saat ini tengah berjuang keras mencegah pernikahan usia anak. Setiap media dalam menghasilkan produk apapun yang melibatkan anak, seharusnya tetap berprinsip pada pedoman perlindungan anak.
Sementara itu, hasil telaah yang dilakukan Kemen PPPA ditemukan beberapa aspek yang telah dilanggar dalam produksi sinetron Zahra. Kemen PPPA menilai pihak Indosiar menyampaikan ketidakbenaran.
"Terkait peran istri dalam sinetron ini yang diperankan seorang pemain usia anak, hal ini adalah bentuk stimulasi pernikahan usia dini yang bertentangan dengan program pemerintah khususnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan," kata Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar, seperti dikutip dari laman resmi kemenpppa.go.id.
Sinetron Zahra juga memperlihatkan kekerasan psikis berupa bentakan dan makian dari pemeran pria, dan pemaksaan melakukan hubungan seksual. Adegan sinetron Zahra dinilai mempromosikan kekerasan psikis dan seksual terhadap anak yang bertentangan dengan Pasal 66C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Nahar mengingatkan, tayangan ini berisiko memengaruhi masyarakat untuk melakukan perkawinan usia anak, kekerasan seksual, dan TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang), karena pada tayangan diceritakan bahwa Zahra sebagai pemeran utama dinikahkan dengan alasan untuk membayar hutang keluarganya.
“Jika nanti ditemukan kasus serupa di lapangan dan setelah digali peristiwa itu merupakan bentuk imitasi dari tayangan yang disiarkan Indosiar, maka pihak Indosiar dapat dipidanakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tegas Nahar.
Adegan sinetron Zahra secara tidak langsung akan memengaruhi kondisi psikologis masyarakat dan menimbulkan Toxic Masculinity, dimana akan terbangun konstruksi sosial di masyarakat bahwa pria identik dengan kekerasan, agresif secara seksual, dan merendahkan perempuan.