Kemen PPPA Dampingi Anak Korban Perundungan di Sekolah
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) akan mengawal perkembangan kasus kekerasan fisik oleh sekelompok pelajar SMA di Serpong, Tangerang Selatan.
Kekerasan itu menyebabkan seorang anak harus dirawat intensif di rumah sakit. Plh. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Rini Handayani menegaskan, pihaknya siap memberikan bantuan pendampingan baik itu secara psikososial maupun hukum bagi anak korban dan keluarga jika dibutuhkan.
“Sebagaimana yang sudah dikonfirmasi oleh pihak kepolisian, memang benar adanya aksi perundungan yang dilakukan oleh sekelompok pelajar laki-laki kelas 12 (dua belas) di bangku SMA. Aksi tersebut dilakukan seusai aktivitas belajar mengajar dan dilakukan di warung belakang sekolah, tempat di mana sekelompok pelajar tersebut sering berkumpul," jelas Rini, Rabu 21 Februari 2024.
"Saat ini, diketahui satu orang anak korban kelas 11 (sebelas) mengalami perundungan dan kekerasan fisik seperti pemukulan, penendangan, pengikatan, penyundutan rokok, hingga pengancaman yang dilakukan secara bergantian oleh sekelompok pelajar tersebut,” tambahnya dalam keterangannya.
Rini mengemukakan, berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Tim Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129, awal mula terungkapnya kasus perundungan tersebut berasal dari unggahan salah satu kerabat korban di kanal media sosial yang membahas terkait kasus perundungan yang dilakukan oleh kawanan pelajar di salah satu SMA ternama di Serpong.
Adapun unggahan tersebut viral setelah diketahui salah satu terduga terlapor merupakan anak dari seorang publik figur. Sekelompok terlapor tersebut diketahui masih ada yang berusia anak dan lainnya sudah masuk usia dewasa.
“Sejak 16 Februari lalu, anak korban telah pulang ke rumah usai mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Pada 20 Februari 2024 sore hari, anak korban telah melakukan pemeriksaan psikologis di kantor UPTD PPA Tangerang Selatan dan tentunya orang tua korban akan hadir mendampingi," tuturnya.
Mengingat usia anak korban yang tengah berada di usia remaja, maka dibutuhkan pendampingan psikologis secara intensif agar proses pemulihan dari dampak traumatis yang dirasakan oleh anak korban pun berjalan sesuai dengan yang diharapkan,” imbuh Rini.
Rini menekankan, kasus tersebut tidak hanya menyita perhatian masyarakat semata, namun juga menjadi perhatian serius Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga.
Menteri PPPA meminta agar proses penyelesaian kasus tersebut dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, mengingat baik anak korban maupun beberapa orang terduga terlapor masih berusia anak.
Atas tindakan perundungan yang merupakan tindak pidana kekerasan terhadap anak, Rini mengungkapkan bahwa para terduga terlapor dapat dikenai Pasal 80 Jo 76 C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana penjara 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan, dan jika korban terbukti mengalami luka berat maka dapat dipenjara paling lama 5 (lima) tahun.
Namun, mengingat bahwa beberapa orang terduga terlapor berusia anak, maka perlu mempedomani Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak guna memastikan perlindungan terhadap para terduga terlapor.
Lebih lanjut, Rini mengatakan, tindakan perundungan merupakan salah satu bentuk tindakan agresif atau kekerasan yang melibatkan ketidakseimbangan kekuatan sehingga merugikan orang lain.
Ketidakseimbangan kekuatan itu dapat diartikan sebagai orang yang menggunakan kekuatan mereka seperti kekuatan fisik, akses informasi yang cenderung memalukan, atau popularitas untuk mengendalikan atau membahayakan orang lain.
“Usia para korban dan para terduga terlapor ini adalah usia remaja, di mana mereka sedang mengalami masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa remaja, mereka cenderung mengalami emosi yang fluktuatif dan menggebu-gebu sehingga terkadang menyulitkan bagi mereka ataupun orang tua dan sekitar." paparnya.
"Fluktuasi emosi yang dirasakan oleh mereka pun dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, seperti hormonal, tekanan sosial, dan perkembangan identitas. Tindakan yang dilakukan oleh para terduga terlapor pun sangat mungkin dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk nilai-nilai pribadi, norma sosial, tekanan dari teman sebaya atau lingkungan, hingga pemrosesan informasi yang salah. Hal tersebut menimbulkan perilaku pengabaian sosial sehingga mereka mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang,” jelas Rini.
Dalam kesempatan tersebut, Rini mengingatkan kepada orang tua agar selalu melakukan pengawasan dan memperhatikan segala sikap dan perilaku anak juga lingkungan sekitar agar dapat dengan mudah mendeteksi adanya perubahan atau ketimpangan pada anak.
Pola pengasuhan postif dan komunikasi terbuka dengan anak pun menjadi kunci dalam pencegahan terpaparnya perilaku negatif pada anak. Keluarga, kata Rini, memiliki peran utama dalam memberikan pengawasan terhadap perilaku dan tumbuh kembang anak dengan rutin melakukan deteksi dini terhadap potensi-potensi perilaku berisiko, serta pencegahan kondisi serupa di lingkungan terdekat anak maupun masyarakat.
“Kami juga mengimbau kepada seluruh masyarakat agar lebih berhati-hati, tidak menyebar luaskan foto maupun video yang melibatkan anak korban maupun sekelompok terduga terlapor, apalagi video yang memperlihatkan tindakan perundungan dengan jelas,” tandas Rini.
Rini juga menyampaikan agar masyarakat segera melapor kepada pihak berwajib jika mendapatkan atau menemui kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di sekitarnya. Dengan berani melapor, maka akan dapat mencegah berulangnya kasus sejenis terjadi kembali.
Kemen PPPA mendorong masyarakat yang mengalami atau mengetahui segala bentuk kasus kekerasan segera melaporkannya kepada SAPA 129 Kemen PPPA melalui hotline 129 atau WhatsApp 08111-129-129 atau melaporkan ke polisi setempat.
Advertisement