Kembang Api Politik Dinasti Jokowi
Anak-anak sangat menyukai kembang api. Percikan apinya indah dan sangat menyenangkan untuk dipandang mata. Namun, bermain kembang api di arena yang rawan akan terjadinya kebakaran, sangat dilarang.
Ketika ada seseorang bermain kembang api di arena tumpukan drum atau jerigen berisikan bensin misalnya, para petugas setempat pasti bereaksi keras dan melarang pelaku agar segera menghentikan permainan kembang apinya. Demi menenangkan masyarakat yang resah, terancam oleh kemungkinan datangnya bahaya kebakaran.
Ilustrasi di atas rasanya sangat tepat untuk menggambarkan peristiwa tragedi politik yang belakangan terjadi di negeri kita. Masyarakat terdidik yang tak ingin menyaksikan negerinya dilanda kebakaran, serentak bangkit berusaha menghentikan langkah Jokowi yang tengah bermain dan memainkan ‘kembang api’ politiknya. Karena percikan api politik yang dimainkan Jokowi ini, terbukti telah menyulut terjadinya ‘kebakaran’ di rumah konstitusi negara (baca: Mahkamah Konstitusi) .
Celakanya, masih banyak awam yang terhibur dan menyukai gemerlap percikan kembang api yang dimainkan Jokowi dengan sangat indahnya ini. Padahal permainan kembang api politik Jokowi ini dinilai sangat berbahaya. Para akademisi, agamawan dan budayawan yang masih sehat jiwa dan pikiran, turut berusaha menghentikan permainan kembang api politik Jokowi ini. Secepatnya, sebelum terjadinya kebakaran nasional yang meluas dan berpotensi menimbulkan kerusakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat mendasar. Kembang api politik Jokowi yang telah membuat keonaran ini saya beri label dengan sebutan, ‘Kembang api Politik Dinasti Jokowi’.
Sekarang semuanya sudah terang benderang, Jokowi bertekad menjadikan Prabowo sebagai Presiden RI ke-8 , di mana Gibran sang putra sebagai wakilnya. Dengan langkah ini, terbuka lebar kemungkinan digunakannya mesin politik negara dalam usaha Jokowi mencapai tujuan kemenangan politik dinastinya.
Dampak dari penyalahgunaan kekuasan ini adalah terjadinya pergeseran Indonesia dari negara berdasarkan hukum, berganti menjadi negara berdasarkan kekuasaan. Penggiringan ke arah mimpi buruk ini sudah terasakan gejalanya.
Di sisi lain, sebagai perenungan, betapa mirisnya hati kita menyaksikan betapa tragisnya nasib partai Golkar dalam persiapan Pemilu-Pilpres 2024 ini. Sebagai organisasi politik yang mempunyai sejarah panjang selama lebih dari setengah abad, bisa begitu mudah dipecundangi dan dikerangkeng hingga berada dalam kegelapan yang mencekam. Hanya dalam waktu sekejap, hitungan hari, Golkar sebagai partai besar, dapat dengan begitu mudah dirontokkan oleh seorang bocah bernama Gibran. Anak dari seorang Presiden sangat berkuasa, Jokowi. Sementara Ketua Umum dan para fungsionaris partai Golkar lainnya, hanya mampu tertunduk diam tak ubahnya seperti para tawanan perang yang tengah berada di penjara tentara musuh.
Pemandangan yang ditampilkan di atas panggung politik nasional kita ini, persis seperti suguhan adegan dalam film ‘The Last Emperor, Pu Yi’, karya sutradara Italia, Bernardo Bertolucci. Terkhusus dalam adegan seorang bocah balita yang dinobatkan menjadi Emperor berdasarkan garis keturunan-dinasti. Pada upacara penobatan sang Emperor Pu Yi, para jenderal dan petinggi istana yang jauh lebih tua, lebih matang, dan jauh lebih berwibawa, harus dan wajib merunduk menyembah kepada sang bocah, Emperor Pu Yi.
Teringat akan adegan khusus di film Emperor Pu Yi ini, membuat bulu kuduk berdiri. Karena kali ini adegan tersebut terjadi di depan mata, dalam realita kehidupan di dunia politik Indonesia hari ini. Betapa menyedihkannya, menyaksikan para Ketua Umum partai yang jauh lebih matang dan berwibawa, hanya mampu berdiri terpaku, menundukkan kepala dan membungkuk menghormati kehadiran seorang Gibran. Sang pemimpin baru, fresh from the oven, kader baru Golkar yang sangat super spesial.
Saat momen itu terjadi, dari sorot wajah para petinggi partai pendukung Cawapres Gibran, terkesan seperti dalam suatu tekanan tertentu. Sehingga memancing keingintahuan kita; ada apa gerangan di balik sorot wajah yag menyimpan misteri itu?
Apalagi saat menatap wajah seorang tokoh akademisi yang juga Ketua partai pendukung Gibran. Ia terlihat gelisah dan ekspresi wajahnya sangat mengenaskan ketika wajib menghormati sang bocah pemimpin barunya. Menyedihkannya, terkesan ia seperti rela menggadaikan harga diri sebagai seorang intelektual demi sepenggal, atau bahkan secuil kekuasaan. Sungguh sangat menyedihkan.
Tapi yang lebih menyedihkan lagi bahkan mengerikan, membayangkan ketika pasangan Prabowo-Gibran menang, terjadi sesuatu yang sangat tidak diharapkan. Bagaimana bila sebelum Presiden pemenang Pilpres 2024 sempat dilantik, atas rencana Tuhan di luar kuasa manusia, atau rencana lain (tersembunyi), Presiden dinyatakan berhalangan tetap.
Bayangkan saja, bagaimana Gibran sebagai Wali Kota (Dati II saja), selesai pun belum. Di jenjang kepemimpinan tingkat Gubernuran pun, belum pernah. Di sirkel kepemimpinan politik tingkat wilayah provinsi juga belum, dan apa lagi tingkat Nasional. Tapi dikarenakan calon Presiden berhalangan tetap, Gibran wajib diajukan menjadi Kepala pemerintahan sekaligus Kepala negara. Tanpa pengalaman dan tanpa pergaulan dan penguasaan politiik tingkat Nasional secara baik. Juga tanpa kematangan jiwa dan pikiran yang harus dimiliki seorang Presiden Indonesia, sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus Kepala Negara.
Nah, hanya jiwa dan akal bermasalah saja yang membiarkan hal luar biasa ini dianggap tidak masalah dan nggak apa-apa bila terjadi. Kan ada Jokowi..?! Begitu mungkin pemikiran para pendukungnya yang sudah kehilangan nalar sehat. Sungguh keterlaluan!
Sialnya, sudah jelas-jelas peristiwa politik ini sangat miskin budi pekerti, dan rendah pikiran begini, masih ada saja yang memuliakan perilaku tak terpuji ini. Dengan alasan Jokowi tengah menyelamatkan Indonesia lah, dan alasan-alasan lain yang kian membuat orang-orang waras, menjadi sakit perut dan malu mendengarnya.
Dalam keadaan seperti ini, kepada para petinggi partai penguasa (PDIP) yang belakangan ini kian kehilangan kekuasaaan dan penguasaan terhadap banyak hal, mulailah rendah hati dan segera kembali pada jati diri sebagai partainya rakyat, menjadi institusi petugas rakyat yang sejati dan bermartabat.
Agar rakyat yang anti tabiat Malin Kundang dan penghianatan terselubung, dapat dengan tegas menyatakan sikap: kami berdiri di belakang barisan rakyat para patriot yang tengah berjuang membebaskan Indonesia dari ancaman bahaya politik dinasti. Hanya ada satu kata: LAWAN..!!!
Semoga Tuhan memberkati. (Dikutip seutuhnya dari GBN.Top)
*Erros Djarot, budayawan.