Kemarin, RS Rujukan Surabaya Kewalahan dan 3 Daerah Siapkan PSBB
Beragam peristiwa dari Jawa Timur mewarnai pemberitaan Ngopibareng.id sepanjang Sabtu, 18 April 2020. Dua peristiwa di antaranya adalah seluruh rumah sakit rujukan mulai kewalahan tangani Covid-19 serta Khofifah panggil tiga kepala daerah.
RS Rujukan Jatim Kewalahan
Beberapa rumah sakit rujukan di Jawa Timur mengaku kewalahan menerima pasien dengan status pasien dengan pengawasan (PDP) dan pasien positif terpapar virus corona atau covid-19 yang jumlahnya melebihi kapasitas ruang isolasi yang dimiliki.
Hal itu membuat sejumlah rumah sakit terpaksa merujuk ulang pasien yang datang, ke ruang instalasi gawat darurat (IGD) rumah sakit rujukan lainnya.
Berdasar data, terdapat 260 ruang isolasi yang tersebar di rumah sakit rujukan di Surabaya. Sebanyak 110 di antaranya adalah ruangan isolasi dengan tekanan negatif. Sedangkan, jumlah pasien positif di Surabaya kini tercatat mencapai 270 kasus.
“Rumah sakit tidak akan pernah bisa mengakomodir semua pasien dan memang dalam pedoman, gak perlu masuk kalau kondisi klinisnya baik, tapi harus dimonitor oleh fasilitas kesehatan. Kalau ada pasien secara klinis bergejala ya harus masuk,” kata Koordinator Rumpun Kuratif Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim, dr Joni Wahyuadi saat ditemui di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Sabtu 18 April 2020 malam.
Saat ini Pemprov Jatim berupaya melakukan pengembangan ruang isolasi dengan tekanan negatif di beberapa rumah sakit.
Seperti yang saat ini dilakukan di RS Universitas Airlangga (RSUA) dengan bantuan CSR dari salah satu perusahaan. Rumah sakit itu sedang menambah ruang isolasi dengan kapasitas 16 orang. Serta, pengembangan 35 ruang isolasi baru di RSU dr Soetomo, dan rencana penambahan lagi di tempat yang sama.
“Makanya Pemprov suport pembangunan RS covid di RSUA dan RS provinsi. Di RSU dr Soetomo sudah selesai 35 dan sudah penuh, sekarang ada juga yang masih di IGD tapi akan kami kembangkan lagi,” ujarnya.
Saat disinggung terkait ketersediaan ruang observasi yang ada di beberapa instansi maupun di hotel-hotel, Joni menegaskan, tempat observasi tidak dapat digunakan untuk menampung pasien positif karena diwajibkan ada ventilator.
Ruang observasi, jelas Joni, hanya digunakan untuk observasi pasien yang sudah dinyatakan negatif dan juga tenaga medis yang melakukan penanganan pasien covid untuk observasi lanjutan guna memastikan aman ketika pulang ke rumah.
“Ada tiga ya. Pertama, pasien covid dirawat di ICU. Kedua, dirawat di ruang isolasi dengan ventilator, utamanya bagi orang yang belum jelas positif atau tidak, kemudian sudah jelas positif. Ketiga, bisa di ruang normal flow, jika sudah negatif dua kali bisa di situ,” jelasnya , sambil menegaskan jika pasien yang positif tak boleh masuk ke ruang observasi.
Lantaran terbatasnya fasilitas kesehatan, Joni menegaskan physical distancing mutlak wajib dilaksanakan. Selain itu melakukan pola hidup bersih dan sehat, dan berbagai upaya pencegahan lain seperti mengenakan masker saat di luar.
Sebab, berdasar sejarah yang ada, virus bakal dikalahkan karena upaya pribadi dari setiap individu untuk menjaga dan merawat dirinya.
“Kalau kita tidak melakukan social distancing rumah sakit tetap gak akan mampu. Kalau kita belajar dari sejarah, pandemi virus bukan rumah sakit yang utama tapi masyarakatanya” kata Joni sambil menjelaskan jika virus adalah penyakit yang sembuh sendiri. “Ia akan menjadi masalah jika hinggap pada orang dengan penyakit (bawaan) sebelumnya,” pungkasnya.
Tiga Kepala Daerah Diminta Siapkan PSBB
Beberapa rumah sakit rujukan di Jawa Timur mengaku kewalahan menerima pasien dengan status pasien dengan pengawasan (PDP) dan pasien positif terpapar virus corona atau covid-19 yang jumlahnya melebihi kapasitas ruang isolasi yang dimiliki.
Hal itu membuat sejumlah rumah sakit terpaksa merujuk ulang pasien yang datang, ke ruang instalasi gawat darurat (IGD) rumah sakit rujukan lainnya.
Berdasar data, terdapat 260 ruang isolasi yang tersebar di rumah sakit rujukan di Surabaya. Sebanyak 110 di antaranya adalah ruangan isolasi dengan tekanan negatif. Sedangkan, jumlah pasien positif di Surabaya kini tercatat mencapai 270 kasus.
“Rumah sakit tidak akan pernah bisa mengakomodir semua pasien dan memang dalam pedoman, gak perlu masuk kalau kondisi klinisnya baik, tapi harus dimonitor oleh fasilitas kesehatan. Kalau ada pasien secara klinis bergejala ya harus masuk,” kata Koordinator Rumpun Kuratif Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim, dr Joni Wahyuadi saat ditemui di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Sabtu 18 April 2020 malam.
Saat ini Pemprov Jatim berupaya melakukan pengembangan ruang isolasi dengan tekanan negatif di beberapa rumah sakit.
Seperti yang saat ini dilakukan di RS Universitas Airlangga (RSUA) dengan bantuan CSR dari salah satu perusahaan. Rumah sakit itu sedang menambah ruang isolasi dengan kapasitas 16 orang. Serta, pengembangan 35 ruang isolasi baru di RSU dr Soetomo, dan rencana penambahan lagi di tempat yang sama.
“Makanya Pemprov suport pembangunan RS covid di RSUA dan RS provinsi. Di RSU dr Soetomo sudah selesai 35 dan sudah penuh, sekarang ada juga yang masih di IGD tapi akan kami kembangkan lagi,” ujarnya.
Saat disinggung terkait ketersediaan ruang observasi yang ada di beberapa instansi maupun di hotel-hotel, Joni menegaskan, tempat observasi tidak dapat digunakan untuk menampung pasien positif karena diwajibkan ada ventilator.
Ruang observasi, jelas Joni, hanya digunakan untuk observasi pasien yang sudah dinyatakan negatif dan juga tenaga medis yang melakukan penanganan pasien covid untuk observasi lanjutan guna memastikan aman ketika pulang ke rumah.
“Ada tiga ya. Pertama, pasien covid dirawat di ICU. Kedua, dirawat di ruang isolasi dengan ventilator, utamanya bagi orang yang belum jelas positif atau tidak, kemudian sudah jelas positif. Ketiga, bisa di ruang normal flow, jika sudah negatif dua kali bisa di situ,” jelasnya , sambil menegaskan jika pasien yang positif tak boleh masuk ke ruang observasi.
Lantaran terbatasnya fasilitas kesehatan, Joni menegaskan physical distancing mutlak wajib dilaksanakan. Selain itu melakukan pola hidup bersih dan sehat, dan berbagai upaya pencegahan lain seperti mengenakan masker saat di luar.
Sebab, berdasar sejarah yang ada, virus bakal dikalahkan karena upaya pribadi dari setiap individu untuk menjaga dan merawat dirinya.
“Kalau kita tidak melakukan social distancing rumah sakit tetap gak akan mampu. Kalau kita belajar dari sejarah, pandemi virus bukan rumah sakit yang utama tapi masyarakatanya” kata Joni sambil menjelaskan jika virus adalah penyakit yang sembuh sendiri. “Ia akan menjadi masalah jika hinggap pada orang dengan penyakit (bawaan) sebelumnya,” pungkasnya.
Advertisement