Kemanusiaan Lebih Utama daripada Politik, Ini Pesan Putri Gus Dur
Perjuangan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) didasarkan pada nilai-nilai agama, kemanusiaan, kebangsaan, dan demokrasi. Kemanusiaan ditempatkan oleh Gus Dur di atas kepentingan politik.
"Momen ini untuk mengkaji teladan perjalanan kehidupan beliau. Kami ambil dari kata beliau, yakni 'yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan'," kata Alissa Qotrunnada Munawaroh-Rahman, putri sulung Gus Dur, dalam perhelatan Haul ke-9 Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan, Jumat 21 Desember 2018 malam.
Alissa Wahid, panggilan akrabnya, menjelaskan kalimat 'yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan' itu juga dijadikan tema haul ke-9 Gus Dur kali ini. Menurutnya, kalimat itu sangat relevan dengan kehidupan Indonesia di tengah tahun politik sekarang ini.
"Momen ini untuk mengkaji teladan perjalanan kehidupan beliau. Kami ambil dari kata beliau, yakni 'yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan'," kata Alissa Wahid.
"Pada tahun politik ini, jejak-jejak Gus Dur bisa kita kaji. Saat kelompok sibuk dengan perebutan tahta politik hanya muncul dalam bentuk merebut kursi-kursi kekuasaan, saat kekuasaan dijadikan jalan mengeruk kekayaan negeri," terang Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian ini.
"Di saat seperti ini kita butuh wajah politik yang beda, politik untuk kemanusiaan dan di sana lagi jejak Gus Dur kita temukan," tuturnya.
Alissa Wahid menceritakan sejumlah kisah mengenai perjalanan Gus Dur semasa menjabat presiden. Menurutnya, banyak kebijakan dan sikap Gus Dur yang lebih mementingkan rakyatnya daripada kekuasaan, mulai mendatangi Timor Leste setelah terpisah dari Indonesia hingga mengganti nama Irian Jaya kembali ke Papua.
Alissa juga menceritakan kisah ketika Gus Dur lengser dari jabatan presiden pada 2001. Ia menceritakan, awalnya Gus Dur keukeuh ingin bertahan karena merasa tak bersalah secara konstitusi.
"Kenapa Bapak masih bertahan, kan musuh Bapak banyak. Lalu dia bilang, 'Nak, kita berjuang untuk kebenaran, kebenaran tidak bisa divoting. Bapak tidak akan menyerah karena tidak salah secara konstitusi,'" tutur Alissa menirukan perkataan Gus Dur.
Tetapi, tetiba Gus Dur berubah pikiran dan bersedia meninggalkan Istana Negara. Menurutnya, Gus Dur rela dan ikhlas mencopot jabatan presiden karena mendengar kabar ada pergerakan massa yang menuju istana negara untuk membelanya.
"Beliau dilapori, ada ribuan orang bergerak ke Jakarta, siap jihad mempertahankan pemimpin mereka. Kabar itulah yang membuat Gus Dur keluar dari Istana. Karena tidak ada satu pun jabatan yang patut dengan tumpah darah rakyatnya, begitu kemanusiaan diletakkan di atas politik," tandasnya.
Sejumlah tokoh juga turut hadir selain Mahfud Md ialah Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Imam besar Masjid Istiqlal KH Nasaruddin Umar, Jimly Asshiddiqie, Agum Gumelar, Luhut Binsar Panjaitan, seniman Sujiwo Tejo, hingga penyair KH Zawawi Imron.
Pengasuh Pengajian di Kota Depok Habib Abu Bakar Al-Attas, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, seniman Ebiet G Ade, penulis dan tokoh perempuan Tuti Herati Nurhadi, tokoh jurnalis Aritides Katoppo, dan tokoh-tokoh lainnya. (adi)