Kemanusiaan Gus Dur, Toleransi dan Cinta Bumi
Medio 2019 hingga awal tahun 2020, masyarakat Indonesia merasakan dampak krisis sosial ekologi akibat masifnya eksploitasi industri ekstraktif. Berbagai bencana seperti tanah longsor, banjir bandang, kebakaran hutan pun terjadi bertubi-tubi.
“Dalam konteks krisis sosial ekologi ini, perjuangan Gus Dur bisa diimplementasikan dalam upaya mendorong pemerintah untuk segera meninggalkan ekonomi ekstraktif menuju ekonomi yang berkeadilan lingkungan dan kemanusiaan,” ujar Roy Murthado dalam acara sarasehan Haul Gusdur ke-10 bertema “Indonesia dalam Pusaran Krisis Sosial Ekologi” di Pondok Pesantren Misykat Al-Anwar pada Sabtu 15 Februari 2020.
Lebih lanjut ia menjelaskan, acara sarasehan ini menjadi bentuk komitmen jaringan Gusdurian dalam mengenalkan nilai kemanusiaan dan keadilan yang diwariskan Gusdur kepada masyarakat.
“Itulah warisan utama Gusdur. Dia tidak hanya berbicara toleransi, tetapi lebih luas dari itu, soal kemanusiaan dan keadilan,” tambah pria yang kerap disapa Gus Roy ini.
Sebelumnya, nilai tersebut telah tertuang dalam 10 rekomendasi* Jaringan Gusdurian terkait kebudayaan dan kemanusiaan yakni negara perlu meninggalkan modal ekonomi ekstraktif yang mengorbankan keberlanjutan ekologi dan mulai menggali potensi ekonomi yang berbasis pengetahuan tradisional dan kearifan lokal.
Ashov Birry dari Trend Asia menyampaikan bahwa kita harus melakukan lompatan paradigma untuk menyudahi krisis sosial ekologis yang meningkat di Indonesia. Keselamatan publik harus menjadi pertimbangan utama jika ingin mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Menjadi tanggung jawab kita semua untuk mendorong terjadinya transformasi tersebut di Indonesia di tengah-tengah langkah pemerintah yang justru menggelar karpet merah untuk investor,” ujarnya.
Didit Haryo, Pengkampanye Iklim dari Greenpeace Indonesia menegaskan bahwa kecanduan pemerintah akan industri ekstraktif batu bara harus segera diakhiri.
“Krisis iklim tidak dapat lagi kita hindari jika pemerintah tidak segera bertindak mengakhiri kecanduan energi kotor batu bara. Salah satu langkah nyata untuk mengatasinya yaitu dengan beralih ke energi bersih terbarukan seperti energi matahari, angin, mikrohidro, dan gelombang laut,” ucapnya.
Hal ini mendorong Jaringan Gusdurian Bogor memfasilitasi pelatihan dan praktik belajar instalasi panel surya bersama para santri, pemuda lintas agama dan warga di sekitar pesantren Misykat Al-Anwar. Rencanaya, instalasi ini akan dilakukan secara berkelanjutan di banyak fasilitas pendidikan. Melalui kegiatan ini, semangat Gusdurian Bogor diharapkan dapat menular ke pesantren lainnya, sehingga para santri dan masyarakat bisa bergerak bersama memperbaiki Indonesia dari sisi energi.
“Ini menjadi upaya membangun kesadaran masyarakat sipil lalu bersama-sama mencari solusi dan melakukan kerja-kerja kolektif terkait krisis ekologi yang dialami bangsa ini,” kata Budi S. Rahmatullah alias Buce, dari jaringan Gusdurian Bogor.
Secara spesifik, Elok Faiqotul Mutia, Direktur Eksekutif Enter Nusantara menyerukan keterlibatan kaum muda. Ia menekankan, krisis iklim mengancam masa depan anak muda, generasi yang akan merasakan dan menerima dampaknya.
“Santri merupakan bagian anak muda progresif yang mendukung transisi energi sebagai solusi dari krisis iklim tersebut. Kebaikan untuk mengiringi haul Gus Dur ini patut disebarluaskan sebagai amal yang bermanfaat untuk manusia dan semesta,” tutup Mutia.