Kemana Arah Kesenian Surabaya?
Saya sempat berprasangka buruk ke Pak Walikota Eri Cahyadi soal kebijakan tentang kesenian di Surabaya. Khususnya kebijakan tentang Dewan Kesenian yang mati suri sejak lama.
Mengapa dia harus membuat Dewan Kesenian Surabaya (DKS) Tandingan? Apakah cara ini tidak akan menjadikan konflik antar para seniman di kota ini makin tajam? Mengapa tidak menjadi penengah antar kelompok seniman?
Ternyata prasangka buruk saya itu salah. Setelah berkesempatan bertemu di Balaikota minggu lalu. Dan berdiskusi agak panjang tentang dunia kesenian di Kota Pahlawan ini. Yang makin hari makin kalah jauh dengan kota-kota lainnya.
Sekadar mengingat kembali, DKS lama dipimpin Chrisman Hadi. Ia sudah menjadi ketua dewan itu sejak 2014. Masa jabatannya berakhir 2019. Setelah itu, ia membuat musyawarah seniman yang menunjuk kembali dirinya menjadi ketua lagi. Namun, hasil musyawarah itu belum disahkan Pemkot Surabaya.
Dewan Kesenian Daerah (Provinsi dan Kota/Kabupaten) merupakan lembaga non struktural (LNS) yang dibentuk berdasarkan perundang-undangan tertentu. Dewan dibentuk untuk menunjang pelaksanaan fungsi negara dan pemerintah. Dalam pembentukannya bisa melibatkan unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil.
Karena itu, kedudukan Dewan Kesenian menjadi tak terpisahkan dari teknokrasi pemerintahan. Karena itu pula, ia berhak mendapatkan alokasi APBN maupun APBD. Di tingkatkan daerah, Dewan Kesenian dibentuk berdasarkan SK Gubernur maupun Bupati atau Walikota. Jadi Dewan Kesenian bukan perkumpulan atau LSM kesenian.
“Ketika itu, kami di-warning Kejaksaan untuk tidak mengalokasikan anggaran ke DKS yang dipimpin Chrisman Hadi. Sebab, kepengurusannya belum disahkan oleh walikota saat itu,” kata Eri Cahyadi menjelaskan. DKS Chrisman periode kedua terbentuk 2019. Sedangkan Walikota Surabaya dilantik Februari 2021.
Mengapa Chrisman tidak memperbarui prosedur pemilihan sesuai perundangan sehingga menjadi absah? Ini yang misterius. Yang pasti, kemudian muncul DKKS (Dewan Kesenian Kota Surabaya). Dewan baru ini diketuai Heri Suryanto yang terkenal dengan panggilan Cak Suro. DKKS disahkan lewat SK Walikota Surabaya nomor 188.45/282/436.12/2022.
Juga masih belum ada kejelasan mengapa kepengurusan baru Chrisman Hadi periode kedua tidak disahkan walikota saat itu. Saat Pemkot Surabaya dipimpin Walikota Tri Risma Harini. Apakah karena proses pembentukannya tidak sesuai dengan AD/ART atau perundangan yang sedang berlaku? Atau karena Chrisman tidak dikehendaki orang nomor satu di Surabaya saat itu?
Bagi walikota, legalitas sebuah lembaga non struktural menjadi sangat penting. Sebab, ini terkait landasan hukum untuk bisa menyalurkan atau tidak anggaran pemerintah ke lembaga tersebut. Pejabat pemerintah akan berhadapan dengan persoalan hukum jika menyalurkan anggaran kepada lembaga yang tidak sah.
Mas Wali –demikian sejumlah orang memanggil Walikota Eri Cahyadi– tentu merasa berkewajiban untuk hadir di bidang kesenian. Apalagi di era industri kreatif sekarang ini. Kesenian seharusnya menjadi instrumen baru bagi pembangunan kreativitas masyarakat. Bahkan, sejumlah negara menjadikan pembinaan kesenian sebagai arus utama.
Awal bulan ini, saya baru saja menyaksikan Islamic Art Biennale yang digelar di kompleks Terminal Haji di Jeddah, Arab Saudi. Sebuah pameran kesenian kali pertama di negeri itu. Menampilkan karya seniman dari berbagai negara. Mengambil tema Hajji dan Hijrah. Pameran yang menampilkan seni kontemporer.
Pameran itu terlihat mendapat dukungan besar dari pemerintah. Karena diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan Arab Saudi. Bekerja sama dengan Diriyah Biennale Foundation. Yang didukung banyak sponsor. Bahkan, yang menjadi sponsor utama adalah Lexus, brand mobil premium dari Jepang.
Bayangkan, negara Arab Saudi yang selama ini dikenal konservatif dalam beragama pun, kini menjadikan kesenian sebagai bagian dari rebranding negaranya. Pameran ini hanya menjadi bagian kecil dari penanda perubahan yang sedang terjadi di Arab Saudi. Pameran dengan manajemen yang profesional dan modern.
Pameran itu menghadirkan berbagai instalasi yang menggabungkan artefak dari museum negara dan teknologi. Dengan bangunan galeri baru yang megah dengan desain yang friendly tidak hanya para seniman. Tapi juga menyenangkan untuk para keluarga. Di dalamnya ada Biennale Coffee dan Biennale Restaurant dengan waiters perempuan muda yang pintar berbahasa Inggris.
Juga ada arena main yang membuat anak-anak juga bisa kerasan di arena pameran. Karenanya, Islamic Art Biennale yang pertama itu penuh dengan pengunjung. Mulai dari anak-anak, remaja dan para orang tua. Mereka pun tampak menikmati suguhan baru kesenian yang bertema salah satu ajaran dalam Islam tersebut.
Poinnya adalah bahwa kesenian bisa menjadi instrumen negara atau kota untuk pembangunan. Tidak hanya untuk mengasah cita dan rasa warganya. Tapi juga instrumen marketing negara dan kota. Sesuatu yang sudah menjadi alat bagi negara-negara modern di Barat. Dengan menjadikan museum dan galeri sebagai destinasi wisata.
Namun, untuk ini, pemerintah perlu partner seniman yang juga punya visi yang sama. Seniman yang serius bergerak dalam kreativitas. Bukan hanya seniman yang sibuk dengan segala hal formalitas. Sibuk berebut lembaga tapi tidak pernah berkarya. Seniman dengan kompetensi managerial dan mampu merangkul berbagai genre dan jenis seniman.
Saya merasakan seniman Surabaya makin ketinggalan dalam hal ini. Banyak event kesenian nasional yang tanpa kesertaan seniman dari Surabaya. Misalnya, event Artjog di Jogjakarta, berbagai pameran seni di Jakarta dan sebagainya. Umumnya, event-event besar hanya menampilkan seniman Jogja, Bandung, Jakarta, dan Bali.
Saya mendukung berbagai langkah Walikota Surabaya dalam menghidupkan kembali kesenian Surabaya. Sehingga lahir seniman-seniman baru yang diperhitungkan para seniman lain di berbagai tempat. Sekaligus menjadi sumber daya baru bagi berkembangnya industri kreatif di kota ini.
Sayang, Dewan Kesenian Surabaya yang seharusnya menjadi mitra utama Pak Walikota sibuk dengan keabsahannya sendiri. Bahkan, sampai menggugat keputusan walikota di pengadilan. Bukan sibuk untuk berkreasi atau menggerakkan kreativitas seniman lainnya. Yang belum tentu nanti akan bisa efektif perannya meski menang di pengadilan.
Surabaya pernah punya event kesenian yang diperhitungkan para seniman se Nusantara. Melalui Festival Seni Surabaya (FSS). Festival yang digelar setiap tahun di Balai Pemuda Surabaya. Sebelum Balai itu direnovasi dengan bagus seperti sekarang. FSS digelar Yayasan Seni Surabaya (YSS) bersama Pemkot dan didukung kalangan swasta.
Tapi itu terjadi di tahun 1990-an. Berarti terjadi 3 dekade lalu. Pada saat itu pula, seniman Surabaya banyak diperhitungkan secara nasional. Seperti Amang Rahman, Machfoed, Dwijo, dan masih banyak lagi. Demikian juga seniman teater dan seniman tradisi. Ini membuktikan kita punya jejak sumber daya seniman yang andal.
Saatnya membangun kembali kesenian Surabaya. Pak Walikota Eri saya rasa punya mimpi yang sama. Seperti disampaikan saat bertemu dengannya pekan lalu. Sayang, DKS-nya malah sibuk berkonflik sendiri. Sehingga Pemkot kehilangan mitra strategis dalam membangun kesenian di kota ini.
Ayo bangun para seniman Surabaya.
Advertisement