Keluar Gedung Putih, Ini Warisan Donald Trump Menurut Pakar
Donald Trump resmi meninggalkan Gedung Putih setelah Joe Biden dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat, pada Rabu 20 Januari 2021, siang waktu setempat.
Sejumlah pakar sejarah di Amerika Serikat menyampaikan sejumlah warisan yang ditinggalkan Donald Trump selama menakhodai Amerika Serikat, empat tahun terakhir. Berikut warisan Donald Trump dilansir dari BBC.
Dimakzulkan Dua Kali
Mathhew Continetti, peneliti di Institut Entreprise Amerika menyebut jika Donald Trump akan diingat sebagai presiden yang dimakzulkan dua kali selama menjabat. Sejarawan juga akan mencatat hubungan antara Donald Trump dengan Sayap Kanan. Caranya menangani protes Charlottesville di tahun 2017, meningkatnya kekerasan dari kelompok ekstremis sayap kirip, serta viralnya teori konspirasi yang sering didukungnya.
Donald Trump akan diingat sebagai pimpinan yang populis, mementingkan ekonomi selama pandemi, mengubah opini Amerika terhadap China, menyingkirkan para pemimpin teroris dari medan perang, mengubah program luar angkasa, mengamankan mayoritas konservatif di Mahkamah Agung, dan mengizinkan Operation Warp Speed untuk memproduksi vaksin Covid-19 dalam waktu singkat.
Menyerahkan Kepemimpinan Global
Laura Belmonte, profesor di bidang sejarah dari Sekolah Kesenian Liberal dan Pengetahuan Virginia Tech menyebut Donald Trump akan dikenang sebagai presiden yang membawa Amerika Serikat, menyerahkan peran sebagai pimpinan global, dengan kebijakan yang lebih lokal dan memiliki mental serupa benteng. "Saya rasa ini tidak suskes, tetapi pertanyaan tentang berapa besar dampak kerusakannya atas reputasi internasional Amerika, tetap patut dilihat," katanya.
Sejumlah momennya di antaranya adalah berpihak pada Rusia dalam kasus keterlibatan Rusia dalam pemilihan presiden, serta keluarnya Trump dari sejumlah perjanjian global, di antaranya mundur dari Perjanjian Paris dan Kerangka Kerja Nuklir Iran.
Erat dengan Misinformasi dan Media Sosial
Profesor di bidang sejarah dari Universitas Purdue Kathryn Brownell, fokus pada hubungan antara media, politik, dan budaya populer dengan menekankan pada kepresidenan di Amerika Serikat. Menurutnya, Donald Trump telah menempatkan demokrasi di Amerika Serikat dalam kondisi yang tak lazim. “Sungguh mencengangkan melihat cara Trump meyakinkan jutaa orang terhadap berbagai pesan berisi kebenaran versinya,” katanya.
Presiden di abad ke-20 banyak menggunakan teknologi komunikasi untuk memutarbalikkan interpretasi kebijakan. Di antaranya mengontrol narasi media tentang pemerintahan mereka. Langkah ini pada akhirnya membayangi cara pemerintahan Trump, yang banyak dipengaruhi misinformasi.
Trump menurutnya juga menampakkan kekuatan media sosial dan memburamkan garis antara hiburan dan politik, melalui komentar langsung lewat media sosial, dan berkomunikasi dengan pendukungnya, tanpa melalui penyaring apapun.
Dalam sejarah kepresidenan Amerika Serikat, bukan hanya Trump yang piawai dengan media baru. Franklin Roosevelt, John F Kennedy, dan Ronald Reagan juga menggunakan media baru serta menjadi selebritis yang berkomunikasi langsung dengan pendukungnya. Menurutnya, kepemipinan para presiden itu memberikan jalan bagi pola komunikasi Trump saat ini.
Menolak Hasil Pilpres 2020
Margaret O'Mara, profesor di bidang sejarah di Universitas Washington, fokus pada sejarah ekonomi, politik, dan metropolitan Amerika Serikat di era modern. Menurutnya Donald Trump akan diingat sebagai presiden yang menantang hasil pilpres yang sangat jelas di tahun 2020, dan menempatkan Joe Biden sebagai pemenangnya.
Ia menyebutkan sejumlah tegangan antara calon presiden di masa lalu. Tentang ketidakpuasana Herbert Hoover atas kekalahannya melawan Franklin Roosevelt. "Dia tak berbicara dengan Roosevelt sedikit pun selama pelantikan, tetapi transfer kekuasaan tetap berjalan dengan damai," katanya.
Sementara Trump adalah perwujudan kekuatan politik yang telah ada selama setengah abad terakhir. Puncak dari masalah di partai Republik juga di Partai Demokrat. "Lebih luas lagi, semacam kekecewaan terhadap pemerintah, dan institusi," katanya.
Melawan China dan Presiden yang Populis
Saikrishna Prakash, profesor di Sekolah Hukum Universitas Virginia, fokus pada konstitusi, aturan hubungan internasional, dan kekuasaan presiden.
Menurutnya, Trump akan diingat salah satunya sebagai presiden yang berdiri melawan China. Presiden mengandaikan China telah memanfaatkan Amerika Serikat dengan cara yang merusak ekonomi dan keamanan nasional. "Saya pikir ada konsensus di balik pandangan ini. Tidak ada yang mau dituduh lunak terhadap China, sedangkan tidak ada yang peduli jika Anda "lunak" kepadan Kanada, bukan?," katanya.
Menurutnya, orang akan suka untuk mengatakan mereka lebih tangguh dibanding China. "Presiden memiliki gestur populis, meski tak pernah direalisasikan secara tegas di kebijakannya, kami melihat lebih banyak orang Republik mengadopsi ide-ide populis," katanya. (Bbc)