Keluar dari Kutukan Persebaya
Saya maju mundur untuk menulis yang satu ini. Tentang persoalan yang melanda kembali Persebaya. Klub sepakbola yang menjadi kebanggaan warga Surabaya.
Mengapa?
Sebab, pasti saya tidak bisa seobyektif orang lain ketika ngomong Persebaya. Karena saya pernah terlibat di dalamnya. Karena saya pernah Ketua Umumnya. Semacam Presiden Klub sekarang. Karena saya pernah mundur dari jabatan itu.
Tapi menelusuri perjalanan kurang dari dua dekade Bajol Ijo, ada hal menarik yang bisa dicermati. Apa itu? Siklus pergantian ketua umum atau presiden Persebaya 2,5 tahunan. Bagaimana hal ini bisa terjadi?.
Setelah dipimpin Cak Narto, Walikota Surabaya 1,5 periode, klub bola kecintaan Bonek ini harus rela berganti-ganti pimpinan puncaknya. Lebih sering karena mengundurkan diri. Atau karena kisruh pengelolaan.
Mungkin ini hanya kebetulan.
Tapi bisa juga karena ekosistem yang menyelimutinya. Atau ini semacam kutukan yang belum mendapatkan penawarnya. Belum mendapatkan "dukun" yang bisa melepaskan Persebaya dari kutukan pembawa sial itu.
Saya akan mulai dari tahun 1990-an. Saat itu, Ketua Umum Persebaya selalu dijabat secara ex officio Walikota Surabaya. Dengan demikian, tahun itu, yang menjadi Ketum Persebaya adalah Walikota Purnomo Kasidi.
Dulu kelompok strategis yang dengan gampang mencari dana besar untuk membiayai sepakbola ya pemerintah. Kepala daerah dan tentara. Karena itu, saat Ketum Persebaya dipegang Pak Purnomo Kasidi, Ketua Hariannya dipegang Pak Imam Utomo. Saat itu, Danrem yang kemudian menjadi Pangdam Brawijaya.
Pada periode 1990-an ini, Persebaya sebagai salah satu klub persyarikatan sempat melejit. Saat manajer dipegang Pak Dahlan Iskan. Julukan Bajol Ijo muncul pada saat itu. Juga mulai mencuatnya nama Bonek. Sering bikin heboh nasional dengan tret…tet…tet setiap kali main tandang.
Pak Dahlan, dalam perjalanannya pernah sukses menjadi manajer Persebaya. Ia kemudian tampil menjadi Ketua Harian Persebaya –menggantikan Pak Imam Utomo– di akhir masa jabatan Walikota Soenarto Soemoprawiro yang berhenti di tengah jalan. Lantas walikota beralih ke wakilnya: Pak Bambang DH.
Entah kapan "kutukan" siklus kisruh mulai berlangsung. Apakah sejak sebelum kepemimpinan klub dipegang Pak Dahlan Iskan atau sesudahnya? Yang pasti, paska Pak Dahlan "dipaksa" melepas jabatannya sebagai Ketua Harian, Persebaya sering dalam situasi tidak jenak.
Ketika Persebaya dikelola Pak Bambang DH sebagai Ketua Umum dan Pak Saleh Mukadar sebagai manajer, Persebaya sempat terdegradasi ke Devisi I. Setingkat Liga II sekarang. Saat itu, strata tertinggi kompetisi disebut dengan Devisi Utama. Beliau berdua berhasil mengangkat Bajol Ijo ke kasta teratas.
Sayang, posisi di kasta tertinggi kompetisi itu tak berlangsung sampai puncak. Karena Persebaya membuat kontroversi mundur dari delapan besar Divisi Utama di Jakarta. Keputusan kontroversi itu berbuah hukuman untuk klub dan semua pengurusnya.
Saya yang waktu itu baru terpilih menjadi wakil Pak Bambang DH ketiban sampur. Saya diminta klub-klub anggota Persebaya yang berjumlah 30 menjadi Ketua Umum. Dalam kondisi Persebaya tak boleh main selama dua tahun. Pengurusnya banyak yang dihukum.
Saya tidak bisa mengelak. Karena ini penugasan langsung dari Pak Walikota. Dengan jaminan, bantuan APBD masih tetap dikucurkan. Bismillah. Target utama Persebaya bisa ikut kompetisi lagi.
Setelah melobi PSSI, akhirnya Persebaya bisa main di tahun kompetisi 2005/2006 untuk Devisi I. Tahun pertama saya mendapat dukungan penuh semua klub. "Mati urip nderek Pak Arif," ada yang bilang demikian.
Setelah menjadi juara Devisi I yang diwarnai kerusuhan supporter, Persebaya lantas bermain di strata teratas. Inilah final Devisi I yang unik. Dalam final melawan Persis Solo itu, kerusuhan pecah saat Persebaya sudah unggul. Bonek menyerbu lapangan saat pertandingan tinggal 5 menit.
Masa keemasan klub profesional dibiayai APBD pun berakhir. Pemerintah Pusat melarang APBD digunakan untuk membiayai klub profesional. Ini awal dari upaya menjadikan sepakbola sebagai sport industri.
Seseorang yang sangat berjasa atas penggunaan APBD untuk klub bola ini adalah Pak Saleh Mukadar. Posisi politisnya saat itu memungkinkan gagasan ini terlaksana di Surabaya.
Setelah APBD dilarang untuk membiayai bola, sebagai Ketum saya harus memutar otak. Saya melontarkan gagasan membuat PT Persebaya. Bahkan sudah menyiapkan business plan untuk menarik investor.
Namun, gagasan ini ditolak klub-klub internal. Ada yang takut Persebaya pindah ke luar kota. Ada yang khawatir nanti saya ikut memiliki sahamnya.
Padahal, konsep kepemilikan yang saya ajukan cukup menarik. Sebab, harus ada kepemilikan Pemkot Surabaya meski hanya dalam bentuk saham goodwill. Saham pemberian tanpa setor modal. Selebihnya dimiliki investor dan supporter.
Rupanya saya gagal meyakinkan klub internal dan supporter. Akhirnya saya dimosi tidak percaya. Bahkan, sempat diundang dengar pendapat oleh anggota dewan di DPRD Kota Surabaya. Saya pun mengundurkan diri dalam posisi prestasi Persebaya sedang tidak dalam keadaan baik.
Setelah itu, saya tak pernah cawe-cawe lagi.
Sampai kemudian muncul dualisme Persebaya. Satu Persebaya yang kemudian dikenal sebagai Persebaya 1927 dan Persebaya hasil pembelian klub Persikubar Kutai Barat yang kini menjadi Bhayangkara United.
Persebaya 1927 –karena regulasi akhirnya mendirikan PT Persebaya Indonesia (PI)-- inilah yang eksis hingga sekarang. PT PI sebelum diambil alih Azrul Ananda –dengan skema apa pun– semula dimiliki Pak Saleh Mukadar, Cholid Ghoroma, dan 20 klub internal.
Ada 10 klub internal pendiri Persebaya yang tak ikut dalam rombongan pemilik Persebaya baru ini. Di antaranya klub legendaris Assyabab, PSAD, Suryanaga, Mitra Surabaya, dan sebagainya. Ini sebetulnya klub yang punya legitimasi sejarah kuat untuk menjadi pemilik Persebaya.
Eh, perlu dicatat pula, eksistensi Persebaya 1927 hingga kini juga merupakan jasa besar para Bonek. Supporter Bajol Ijo yang memperjuangkan Persebaya kembali bisa menjadi klub kebanggaan warga Surabaya. Sayang mereka tak memiliki saham sama sekali.
Sampai hadirlah Azrul Ananda –saat itu masih Presdir Jawa Pos– menjadi penyelamat Persebaya. Tangan dinginnya mengangkat Persebaya ikut kompetisi kasta tertinggi. Bahkan, kompetisi lalu masuk dalam 5 besar. Itu terjadi di masa sulit setelah pendemi COVID-19 melanda seluruh penjuru bumi.
Rupanya ‘’kutukan’’ kembali mendera Persebaya. Di awal musim, Persebaya mencatatkan prestasi yang kurang menggembirakan. Sampai kemudian timbul kerusuhan saat Persebaya menjamu Rans di Sidoarjo. Paska itu, Azrul Ananda mundur.
Mundurnya Azrul membongkar ketidakjelasan struktur kepemilikan Persebaya. Azrul yang di awal mengeluarkan uang Rp 7,5 miliar kepada Koperasi Surya Abadi (sekarang pemilik 90 persen saham PT PI. Lha, yang 10 persen milik siapa ya?), ternyata dianggap hanya pengelola.
Ia bukan pemilik 70 persen saham yang selama ini digembar-gemborkan. Lantas apa status dana Rp 7,5 M itu? Setoran modal atau hibah kepada klub-klub internal Persebaya? Lantas apa kewajiban pemilik saham minoritas selama ini?
Tampaknya, ketidakjelasan struktur dan status saham di PT PI inilah yang menjadi sumber kutukan baru Persebaya. Saya menjadi memahami mengapa Azrul mundur dari Persebaya. Sebab, ia harus bertanggungjawab kepada semua kewajiban perusahaan atau klub, tapi tidak berhak atas kepemilikan sahamnya.
Rasanya, penawar kutukan agar Persebaya ke depan punya masa depan adalah memperbaiki struktur dan status kepemilikan saham ini. Tanpa itu, sangat susah untuk menjamin keberlangsungan perusahaan dalam jangka panjang.
Juga akan susah mencari profesional yang mau berjibaku dengan perusahaan yang tidak jelas struktur maupun status sahamnya. Kecuali ada orang gila yang kebingungan membuang duitnya yang berlimpah-limpah.
Tentu agak sulit mencari orang gila terus-menerus. Atau memang Persebaya harus tetap dalam lingkar ‘’kutukan’’ yang tak akan pernah berakhir? (Arif Afandi)