Kelemahan UU Tipikor Munculkan Kriminalisasi Direksi BUMD
Jogja: Dosen Fakultas Hukum UGM Dr. Richo Andi Wibowo, SH, LLM mengatakan, jebakan-jebakan hukum direksi BUMN atau BUMD banyak terjadi karena lemahnya beban pembuktian dalam pasal 2 dan 3 UU Tipikor. "Kelemahan itu yang menimbulkan celah kriminalisasi terhadap direksi BUMN atau BUMD," tegas Richo dalam seminar Membangun Profesionalisme Manajemen BUMD di Kampus Fisipol UGM, Senin (10/4).
Solusinya, kata pria yang awal 2017 meraih gelar doktor ini, pasal 2 dan 3 itu harus kembali diuji materi atau judicial review (JR). “Jadi harusnya orang yang dinyatakan korupsi tipe merugikan keuangan negara itu pembuktiannya bukan lagi sekedar memenuhi unsur-unsur di pasal 2 dan 3. Tapi juga harus dibuktikan apakah orang itu tahu, berniat dan bertujuan melakukan korupsi,” katanya.
Richo berpandangan, judicial review terhadap pasal 2 dan 3 UU Tipikor memang sudah seharusnya dilakukan. Sebab, menurut peraih gelar doktor dari Utrecht University Belanda itu, apa yang ada dalam pasal 2 dan 3 UU Tipikor tidak selaras dengan artikel nomer 18 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). “Padahal kita telah meratifikasi UNCAC atau Konvensi Antikorupsi PBB tersebut,” katanya.
Pada bagian lain, Sekjen Badan Kerjasama BUMD Seluruh Indonesia (BKSBUMDSI) Syauqi Suratno mengatakan celah hukum pengelolaan BUMD selama ini memang menimbulkan keresahan. Kondisi itu membuat para profesional takut memimpin BUMD.
"Saya terima puluhan permintaan untuk pengisian direksi, namun begitu para profesional tahu situasi yang dengan mudah bisa mengantarkannya ke bui, banyak yang mundur teratur," kisahnya.
Namun, jika tidak ada profesional yang masuk, BUMN atau BUMD tidak akan bisa maju. Mengandalkan seorang birokrat tidak akan mungkin bisa mengembangkan perusahaan sebagaimana seorang profesional.
Hal sama ditegaskan oleh Penasehat KPK Suwarsono Muhamad. Menurutnya, menghabiskan anggaran saja, birokrat itu tidak bisa kok diminta cari untung untuk perusahaan. (wan)