Kelemahan SDM Indonesia, Mu'ti: Problem Utama pada Aspek Mental
Menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengingatkan, kunci utama kemajuan sebuah bangsa terletak pada kualitas sumber daya manusia. Sebab sumber daya manusia yang berkualitas memiliki peran yang signifiikan dalam mengelola semua komponen.
"Betapa pun memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah, jika tidak disertai dengan kemampuan mengelola, merawat, dan mengembangkan kekayaan tersebut, maka tetap akan menjadi bangsa yang tertinggal," tutur Abdul Mu'ti, dalam acara Dialog Kebangsaan ‘Membangun Indonesia Berkemajuan’ di Kuwait pada Sabtu 22 Oktober 2022, Indonesia harus mempersiapkan kualitas sumber daya alam untuk menghadapi ragam tantangan di masa depan.
Banyak para pengamat ekonomi menyebut Indonesia pada tahun 2045 akan menjadi poros utama dan megatrend dunia. Namun, prediksi ini malah lebih banyak mengarah pada potensial market.
Potensi Market?
“Banyak prediksi yang mengungkapkan Indonesia pada 2045 menjadi salah satu poros utama ekonomi dunia, namun lebih banyak mengarah pada prediksi sebagai potensial market,” tutur Muti dalam acara yang diselenggarakan Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Kuwait tersebut.
Mu’ti mengungkapkan, problem utama sumber daya manusia Indonesia terletak pada aspek mental yang cenderung lemah. Lemahnya mental anak bangsa ini berasal dari kurangnya akses pendidikan yang cenderung tidak merata.
Meski Indonesia memiliki kekuatan demografi namun apabila tidak ditopang dengan akses pendidikan yang baik dan merata, nampaknya akan sulit mewujudkan generasi emas 2045.
“Problem bangsa Indonesia itu kan problem mental. Kita selama ini mohon maaf, mengukur segala sesuatu itu dari badannya tapi jiwanya gak. Mentalitas bangsa kita itu lemah,” ungkap Mu’ti.
Selain mentalitas yang lemah, bangsa Indonesia juga cenderung inferior di hadapan bangsa lain. Lebih bangga menjadi kuli daripada pemimpin dari bangsa lain.
urangnya rasa percaya diri sebagai bangsa Indonesia ini memunculkan kondisi psikologis pada tingkat alam bawah sadar merasa lebih rendah di banding bangsa asing. Mu’ti menyarankan agar merasa bangga dengan apa yang bangsa kita punyai.
“Kita belajar multikulturalisme malah ke Eropa, padahal di sana antar suku, apalagi agama, tidak terlalu akur. Malah bangsa kita sebenarnya lebih akur, kita telah terbiasa saling bekerjasama dengan ragam lintas suku dan golongan,” ujar Mu’ti.