Kelas di Rumah Makan, Didampingi Ahli, Bikin Gambar, Bikin Tempe
SPIDOL warna merah yang dipegangnya terus menari di atas kertas stiker yang dibagikan ke setiap peserta. Kertas stiker itu terbagi menjadi dua sisi. Di sisi kiri, dibuatnya bulatan oval. Lalu ada sendok dan garpu. Kemudian ganti spidol warna cokelat. Spidol cokelat menari, membentuk gambar. Menyerupai gambar paha. Paha ayam. Kemudian di sisi kanan, dibuatnya bentuk gelas beserta tutupnya. Ganti spidol cokelat tua yang dipegangnya.
“Yang ini piring nasi dan ayam goreng. Sedang yang ini kopi,” ujar Soejanto ketika ditanya apa yang digambarnya. Ia menjelaskan sembari menunjuk gambar di kertas stiker. Pertama dia jelaskan gambar di sisi kiri, kemudian yang sebelah kanan. Pria berusia 78 tahun itu menjelaskan dengan gembira. Istrinya, yang duduk di sampingnya juga tampak sumringah.
Selesai membuat gambar di kertas stiker itu, peserta diminta mengumpulkan ke pengasuh kelas. Sembari menyerahkan form kuesioner yang juga dibagikan saat mengisi daftar hadir. Kemudian, beberapa orang diminta menjelaskan apa yang digambarnya. Mengapa menggambar ini, mengapa menggambar itu.
“Saya menggambar makanan dan minuman. Maksudnya, kita semua yang hidup butuh makanan. Makanan yang sesuai dengan tubuh kita. Tapi bukan hidup untuk makan. Melainkan makan untuk hidup,” urai Soejanto saat diminta menjelaskan kenapa menggambar itu. Tepuk tangan peserta menggema. Menyetujui yang disampaikan seorang mantan staf ahli menteri ini.
Beda lagi yang disampaikan Kus SR. Ia menggambar bunga yang di atasnya tertulis ‘Kus SR.’ Di sisi lain, seorang gambar perempuan. Perempuan dengan anting jantung hati warna merah. “Setiap perempuan menyukai bunga. Karena saya perempuan, saya menggambar bunga,” katanya.
Terus gambar perempuan cantik? “Ini gambar mayoret. Saya dulu ingin sekali menjadi mayoret,” papar perempuan bernama lengkap Kusnariyati Sri Rahayu ini. Penjelasan tersebut disambut tepuk tangan dan tawa. Tertawa karena banyak yang tak mengira perempuan ini pernah terobsesi menjadi mayoret. Memang ada tulisan ‘Dandanan Mayoret’ di bawah gambar perempuan itu.
Siapa sih Kus SR? Mungkin ini yang membuat banyak yang tertawa mendengar obsesinya menjadi mayoret. Kus SR ini tidak lain adalah istri Amien Rais.
Kehebohan, keriuhan seperti itulah yang terjadi saat sosialisasi atau launching Golden Age Club (GAC) Mutiara Cendekia Insani Yogyakarta. Ada sekira 40 orang hadir di kelas perkenalan ini. Kelas para manula atau lansia. Digelar di Resto Taman Luku, Jalan Kaliurang. Mereka datang diantar anaknya. “Di sini, sang anak menjadi wali siswanya. Wali siswa bagi orangtuanya,” terang Siti Nurnisa Dewanta.
Perempuan yang akrab disapa Nanis ini menjelaskan panjang lebar konsep GAC yang dirintisnya bersama sejumlah teman. Ada dokter, psikolog, ahli fisioterapis, salon kecantikan dan lain-lain. Nanis lantas meminta teman-temannya untuk maju ke depan. Ke panggung yang berlatar belakang spanduk dengan tulisan: Sehat dan Semangat di Golden Age. Di spanduk juga ada logo dan nama lembaga mereka. Maka majulah Dokter Isti Qomariyah, Dokter Amien Mujib, Damarsanti SE, Jumilatun S.Pd.AUD dan Tofianti Amd.
Nanis juga menjelaskan konsep ‘kelas lansia’ GAC ini. GAC dibentuk sebagai wadah atau komunitas untuk meningkatkan kualitas hidup sehingga tercapai kehidupan mandiri dan bahagia melalui program kegiatan yang sesuai. Kegiatan pembelajaran, pemeriksaan dan pemantauan kesehatan serta hiburan, permainan dan hobi.
Pertemuan klub ini berpindah-pindah tempat. Bisa di restoran atau rumah makan. Bisa pula ke lokasi wisata dengan pemandangan yang indah. Atau ke tempat-tempat pelatihan ketrampilan. Ada pula, pertemuan dengan model home visit. Tim Golden Age Club yang datang ke rumah-rumah anggota.
“Mungkin dokter gigi yang datang. Dokter umum atau dokter kulit. Bisa juga fisioterapis. Semua disesuaikan dengan kebutuhan anggota klub yang telah kami observasi. Atau mungkin salon kecantikan karena anggota ingin potong rambut atau creambath,’’ urai alumnus Hubungan Internasional UGM ini.
Kenapa kunjungan ke rumah itu penting? Nanis yang juga mengikutkan ibundanya di program GAC ini merasakan sendiri. Kadang-kadang untuk periksa ke rumah sakit atau dokter, kita repot. Tidak ada yang mengantar. Anak-anaknya pada sibuk. Maka home visit ini menjadi solusi. Selain itu, kunjungan ke rumah ini sebagai layanan guna memonitor kesehatan peserta klub. Kesehatan gigi, misalnya. “Meski tinggal satu atau dua, tetap penting dilakukan perawatan,” tegasnya.
Nanis menambahkan, GAC juga sudah menjalin sinergitas dengan rumah sakit. Ada RS PDHI, RS JIH maupun RS Happyland. Detail soal Klub baru ini dipaparkan pula oleh Dokter Amien. Dikatakannya, semua peserta akan diobservasi dulu kondisi kesehatan, psikologis, maupun aspek lain.
“Kami melakukan skrining. Ada tidaknya keluhan kesehatan peserta. Riwayat sakit keluarga seperti apa. Makannya bagaimana. Kaki sering sakit apa tidak. Tingkat sakitnya seperti apa. Mungkin perlu rehabilitasi. Jika kaki yang sakit sendinya, kita tangani agar sakitnya tidak semakin kambuh dan seterusnya,” kata Amien.
Dijelaskan pula pola kepesertaan klub ini. Untuk setiap peserta akan dikenakan uang pendaftaran sebesar Rp 200 ribu/tahun. Kemudian membership untuk dua kelas. Member kategori Gold sebesar Rp 600 ribu/bulan dengan fasilitas pertemuan sebulan sekali dan home care visit sebulan sekali. Sedangkan member kategori Silver dengan iuran Rp 525 ribu/bulan dengan fasilitas memilih salah satu antara pertemuan sebulan sekali atau home care visit.
Seorang ‘Wali Siswa’ bertanya ke Dokter Amien yang sedang presentasi. Apakah fasilitas home care visit itu bisa dimanfaatkan pula oleh dirinya. Jadi tidak hanya oleh orangtua peserta klub. Secara samar, Amien mengatakan bisa saja. “Asal, tidak banyak-banyak orangnya,” jawabnya sembari tersenyum.
Seperti sekolah Taman Kanak-kanak, peserta GAC ini juga akan dibekali Daily Activities Book atau buku aktivitas sehari-hari. Para lansia peserta diajak untuk membangun silaturahmi, berbagi pengalaman maupun ketrampilan. Agar mereka tetap memiliki semangat untuk terus hidup sehat dan mandiri. GAC mengajak lansia tetap aktif secara lebih berkualitas. Terus meningkatkan ketakwaan dengan memperbanyak aktivitas keagamaan serta mengurangi kejenuhan dengan bersosialisasi.
Karenanya selain permainan menggambar di atas stiker tadi, saat pertemuan ini, peserta juga diajak membuat tempe. Masing-masing meja, dengan empat sampai lima peserta, diberi satu besek kedelai dengan empat sendok. Kedelai ini sudah dicampur dengan ragi. Siap dibungkus. Nah, masing-masing yang hadir, diberi dua plastik pembungkus. Mereka diminta mengisi plastik tersebut dengan kedelai yang disediakan.
Seperti berlomba, para peserta pun mengisi plastiknya. Apalagi pembawa acara yang memandu pertemuan terus menghitung waktu serta jumlah plastik masing-masing kelompok yang telah terisi. “Hebat, kelompok tiga sudah selesai delapan plastik. Ayooo kelompok lima, sudah jadi berapa?”
Akhirnya, ada kelompok yang berhasil membuat 13 bungkus, 10 bungkus atau sembilan. Nah, masing-masing peserta kemudian diminta menempelkan gambar yang dibuatnya tadi di atas plastik tempe yang mereka buat. “Silakan dibawa pulang. Nanti, sampai di rumah tinggal ditaruh saja pada suhu kamar. Jangan dibolak-balik. Tunggu dua hari, insyaAllah jadi,” pesan Nanis.
Semua peserta pun antusias. Memasukkan bungkusan kedelai itu ke dalam tasnya. Acara pun diakhiri dengan berfoto bersama dan makan siang. Maka, seakan lengkaplah tujuan ‘kelas’ ini. Ada pembelajaran, ada permainan, ada hiburan dan hobi. Yang belum hanyalah pemeriksaan dan pemantauan kesehatan.
Bahkan untuk hiburan, mereka sangat beruntung. Seorang penyanyi kelas internasional tampil di acara launching GAC ini. Namanya Nia. Lengkapnya Rachmania Puspa Wardhani. Alumnus psikologi Universitas Indonesia yang kini kuliah di Griffith University, Brisbane, Australia. Kebetulan Nia lagi penelitian di Yogya. Nia ini pernah unjuk kebolehan Festival Little Singer 2010 di Praha, Ceko. Saat itu Nia membawakan lagu ‘Jaranan’ dan ‘Padhang Bulan’ diiringi musik angklung.(*)