Kelangkaan Cabai Rawit Bisa Diatasi oleh Inovasi Mahasiswa UB
Mahasiswa Universitas Brawijaya (UB), Malang, Jawa Timur, berhasil membuat inovasi untuk mengatasi penyakit antraknosa atau sering disebut patek pada komoditas cabai rawit. Inovasi tersebut diberi nama Bio Antracsid.
Empat mahasiswa Fakultas Pertanian UB yang menciptakan ramuan ini di antaranya yaitu Cindy Diah Ayu Fitriana, Nava Karina, dan Achmad Roekhan. Mereka melakukan penelitian di bawah bimbingan Luqman Qurata Aini.
Ramuan ini bekerja dengan cara menyemprotkan ke tanaman cabai rawit. Ramuan Bio Antracsid ini mengandung bakteri kitinolitik pada tanaman cabai rawit.
"Untuk waktu penyemprotan dapat dilakukan pada pagi atau sore hari," ungkap Ahmad Reokhan salah satu anggota tim.
Bakteri kinolitik memiliki kemampuan cepat dalam menghambat patogen colletotrichum capsici penyebab antranoksa.
Roekhan mengatakan bakteri kitinolitik yang ada di UB Forest lebih aktif dibanding dari perairan. Sehingga lebih aplikatif apabila diimplementasikan di bidang pertanian.
"Umumnya bakteri kitinolitik itu ditemukan di perairan. Dari 78 bakteri yang ada di UB forest, 76 diantaranya adalah bakteri kitinolitik," katanya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim, bakteri kitinolitik UB Forest memiliki kemampuan menghambat jamur Colletotrichum capsici penyebab antraknosa dengan presentase penghambatan hingga 100%.
Keunggulan bakteri kitinolitik dalam mengatasi penyakit antraknosa lebih efektif dibandingkan fungisida karena bakteri kitinolitik memiliki kemampuan yang cepat dalam melisis dinding sel patogen yang komponen utama berupa kitin sebesar 22-40 %.
Oleh karena itu, pemanfaatan bakteri kitinolitik sebagai mikroba antagonis yang berperan sebagai green technology berbasis hayati perlu dikembangkan. Pemakaian bahan ramah lingkungan diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan antraknosa serta mendukung implementasi pertanian yang berkelanjutan.
Diketahui bahwa penyakit antraknosa pada cabai rawit menjadi momok yang menakutkan bagi para petani karena mampu menurunkan produksi sebesar 50 persen sampai 90 persen per hektar.
Pengendalian penyakit oleh petani dengan fungisida cenderung belum efektif dan menimbulkan dampak serius terhadap lingkungan dan kesehatan.
Dengan kelangkaan cabai rawit di pasaran sehingga membuat harganya melambung tinggi, ia menjadi komoditas hortikultura penyumbang inflasi sebesar 0.08% dari 3.2% inflasi nasional, menurut data Bank Indonesia tahun 2018.
Inflasi ini disebabkan karena banyaknya cabai yang terkena serangan penyakit antraknosa (patek) oleh jamur patogen Colletotrichum capsici.
Advertisement