Kekuatan Gus Dur
Cerita tentang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tak pernah habis. Dari humornya hingga beragam keistimewaan yang melingkupinya. Namun, satu yang menarik, adalah kekuatannya bertahan dari sakit.
"Penyakit Gus Dur banyak. Namun, yang menjadi misteri, bagaimana beliau bertahan lama dari beragam sakit," ungkap orang dekatnya.
Oh ya, sebelum sampai ke rahasia itu, ada satu momen dari rentetan peristiwa pemakaman Gus Dur, yang tentu saja, mengetarkan kalbul. Kejadian yang terekam pada Kamis, 31 Desember 2009. Tepat sepuluh tahun lalu.
Saat jenazahnya masuk Masjid Ulil Albab di Kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, sudah ada ribuan pelayat yang menunggu. Masjid penuh sesak. Saking penuhnya masjid, keranda jenazah pun bergerak diatas tangan para pelayat.
Saat itu, ribuan tangan peziarah yang tak bisa mencapainya, terlihat seolah hendak mengapainya. Mungkin juga mengirim doa untuknya. Sebagai ungkapan rasa sayang juga seolah tak rela ditinggalkan orang yang mereka kagumi, dan dicintai.
Ribuan pelayat menghadiri pemakamannya di pemakaman Ponpes Tebuireng, Jombang. Sehari sebelumnya, Gus Dur menghembuskan nafas terakhir pada usia 69 tahun. Setelah dirawat di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, karena sakit.
Pada 2005, Gus Dur sudah harus melakukan cuci darah. Saat itu, setiap minggu, cuci darah dilakukan sebanyak tiga kali. Demi mendukung fungsi ginjalnya.
Pada Juli 2009, Gus Dur mengalami penyakit alodonia. Sakit saraf yang menyebabkan nyeri di seluruh badannya. Pada 25 Desember 2009, Gus Dur kembali menjalani rawat inap di RSCM. Setelah sebelumnya menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Jombang.
Di Jombang, Gus Dur sempat berziarah ke makam sejumlah tokoh lama NU. Di sana, gula darah Gus Dur turun drastis. Presiden RI ke-4 ini, akhirnya wafat pada Rabu, 30 Desember 2009, pukul 18.45 WIB.
Tentu saja, yang juga menyertai kepergian cucu pendiri NU ini, adalah tangis dari jutaan pengagumnya. Terbukti, hingga kini, ribuan peziarah selalu melawat ke makamnya. Ramai tak ada jeda.
Bisa dikatakan 24 jam tetap ramai. Pernah, saya mampir ke makamnya pada pukul 03.00 dinihari. Suasana jalan menuju ke Pondok, masih ramai. Masih ada para pedagang yang berjualan.
Sebelumnya, mata saya bersitubruk dengan beberapa bus yang baru saja menurunkan puluhan peziarah. Parkiran penuh. Saat kaki memasuki komplek pemakaman, suara tahlil mengalun khidmat.
Ratusan orang takzim berdoa dan berdzikir. Keramaiannya, mirip dengan makam-makam Wali Songo. Menghidupi ekonomi lokal juga asa spiritual.
Kembali ke urusan rahasia kekuatan Gus Dur. Memang, sakitnya merentang sejak lama. Dimulai tahun 1985, belio mengalami gangguan mata. Yang diikuti beberapa keluhan lainnya.
Saat itu, kesehatannya mulai meredup. Setelah pemeriksaan dokter, diketahui glaukoma mulai membekapnya. Tindakan medis pun dilakukan untuk menyelamatkan penglihatannya.
Sayangnya, mata kirinya tidak bisa diselamatkan. Konon, karena urat syarafnya sudah telanjur rusak. Mata kanan Gus Dur masih bisa diselamatkan. Tentu saja, harus terus ada pemeriksaan rutin.
Namun, hal itu tak mengurangi sepak terjangnya sebagai pejuang kemanusiaan dan keberagaman. Tetap berkarya untuk umat dan bangsa. Bahkan, kondisi itu tak menghalangi Gus Dur untuk rutin menulis artikel di media masa.
Hal ini dilakoni, karena itulah salah satu pokok pendapatannya. "Hasil menulis artikel selalu diberikan kepada Ibu Sinta. Semuanya," ungkap teman itu.
Acap kali pengasuh media pun telat mengirim honor menulisnya. Jangan kaget, Gus Dur pun tak segan untuk mengingatkan. "Pasti dikejar itu," tambah teman itu.
Selain menulis, Gus Dur juga banyak berbicara di beberapa forum seminar juga ceramah. Pasti, semua honor itu juga diserahkan ke Ibu Sinta. Untuk menyambung hidup.
Bahkan, dulu, untuk menambah pemasukan, Ibu Sinta dan Gus Dur memilih berdagang. Mereka sempat berjualan es lilin. Juga berjualan kacang kulit yang telah disangrai dalam pasir panas.
Ibu Sinta tentu bukan perempuan biasa. Dinamika hidup dengan Gus Dur mungkin telah membuatnya paham dan seirama. Bahkan, dulu, untuk menaklukan hatinya, Ibu Sinta telah membuat Gus Dur harus berjuang sekuat tenaga.
Sinta Nuriyah muda pernah menjadi murid Gus Dur di Madrasah Mu'allimat, Jombang, tahun 1960-an. Kerja keras Gus Dur mendapatkan dara Sinta, mengajarkan bahwa sebagai manusia biasa cinta butuh diperjuangkan. Bahkan, Gus Dur pun harus menaklukan ayahnya dengan bermain catur, hampir tiap hari.
Untuk mengirim pinanggan. Sayang, harapan itu bertepuk sebelah tangan. Gadis muda ini berani menolak pinangan dari mantan gurunya.
Tak menyerah, Gus Dur mengulangi proses itu. Bahkan menulis surat berisi lamaran. Sinta muda menjawab diplomatis, "Jodoh itu bagian hidup dan mati, yang tahu cuma Tuhan."
Takdir dan sejarah mencatat, keduanya menikah. Lantas melalui liku kehidupannya. Dengan kemandirian dan sikap yang kuat.
Dalam perkembangannya, Gur Dur menjadi pribadi yang besar. Dengan kapasitas, keberpihakan, dan keilmuwannya. Menjadi tokoh bangsa.
Hemat saya, hal itu tentu mengubah ekonomi keluarganya. "Lho bukankah dalam kapasitasnya, tentu saja banyak yang memberi bantuan?" tanya saya kepada teman itu pendek. Teman itu mengangguk.
Namun, jawabannya membuat saya tercengang. "Uang pemberian orang tak pernah dibawa ke rumah," jawabnya.
Jadi, uang yang diberikan ke Ibu Sinta hanya dari jerih payahnyanya sendiri. Sepertinya, Gus Dur ingin memastikan semua uang yang diberikan kepada keluarganya, jelas dari keringatnya. Jelas asalnya.
"Lantas ke mana uang pemberian itu?" tanya saya mengejar.
"Selalu diberikan kepada orang lain yang datang ke Gus Dur," jelasnya.
Tentu saja, yang datang ke Gus Dur tak hanya orang berpunya. Yang punya banyak masalah juga datang. Yang ingin bantuan juga datang. Yang berkeluh kesah juga datang.
Dipastikan, Gus Dur tahu, yang datang juga butuh dibantu. Tak sekadar saran. Dukungan sepenuh hati. Bantuan materil juga diberikan.
"Menurut saya, itulah amalan yang membuat Gus Dur dicintai langit dan bumi," tegas teman tadi. Gus Dur istiqomah melakoni peran kehidupannya.
Mengajarkan kepada kita, untuk taat membedakan mana ruang privat dan publik. Tidak mencampuraduk kedua ruang itu. Yang bisa saja mencemari keberpihakannya. Mencemari kejernihan sikap dan perannya.
Ajar Edi, kolomnis Ujar Ajar di ngopibareng.id