Kekuasaan, Cinta dan Keserakahan
oleh: Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research_IDR)
PARA filosof Yunani kuno melihat kekuasaan adalah pedang bermata dua. Ia dapat menjadi pintu gerbang kebajikan dan kemajuan masyarakat, namun pada saat yang sama, kekuasaan itu dapat menyimpan dusta, keserakahan, murka dan kehinaan. Oleh karena itu, para kaum sufi menjauh dari kekuasaan karena ia dapat menyeret manusia dalam kehinaan dan menjadi budak dari nafsu rendah manusia.
Kekuasaan akan dapat menjadi pintu gerbang amal sholeh ketika para pemegang kekuasaan itu kukuh pada nilai-nilai historis kemanusiaan sejati. Ia akan menjelma menjadi kekuatan yang mampu mengendalikan manusia, alam raya, dan seluruh isi bumi akan berkhikmad pada kemanusiaan, tanpa pandang asal usul, ras, perbedaan budaya maupun agama.
Kekuasaan akan menjadi spirit manusia untuk mengarusutamakan kebaikan bersama, menyelaraskan perbedaan, dan mampu memecahkan masalah-masalah diantara sesama umat manusia. Kekuasaan memberikan ruang yang adil untuk berlaku dan memperlakukan setiap orang agar hidup damai, sehingga dapat melawan bujuk rayu iblis dan gerombolannya.
Kekuasaan yang dijiwai oleh pengetahuan tentang pentingnya kebajikan akan memberi ruang yang lebar bagi umat manusia untuk hidup bahagia lahir dan bathin. Pertikaian diantara anggota masyarakat lebih berupa stimulus
tumbuhnya dinamika sosial menuju peradaban yang lebih tinggi. Pada yang demikian itu, kekuasaan berfungsi sebagai cinta. Cinta akan pentingnya menghargai harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Kesadaran akan kekuasaan yang penuh cinta itu semestinya terbit dalam dada-dada pemimpin kaum beriman. Pemimpin yang beriman selalu menjadikan kekuasaan sebagai peluang untuk berbuat kebaijkan dalam masyarakatnya. Hal itu pernah ditunjukkan oleh mantan Gubernur Anies Baswedan yang dengan selembar suratnya mampu menutup pusat kemaksiatan Alexis di Jakarta.
Kekuasaan yang diliputi oleh rasa cinta, selalu diarahkan pada terbitnya kebijakan-kebijakan politik yang berkhikmad pada kebaikan dan ketertiban dalam
masyarakat. Cinta akan mendorong manusia untuk menempatkan segala sesuatu dalam hidup ini dengan penuh kasih dan sayang pada sesama manusia. Cinta mendorong munculnya, kehidupan yamg dinamis, keterbukaan, dan tanggungjawab sosial yang tinggi.
Kekuasaan dan Keserakahan
Kekuasaan yang tanpa dirahmati Tuhan, kerapkali menghamba pada kemauan setan dan iblis semata. Pada yang demikian itu, kekuasaan mempertontonkan dirinya menjadi monster yang menakutkan masyarakat. Kekuasaan tersebut akan menciptakan perilaku yang beringas, mementingkan diri dan keluarganya, kelompok kecilnya, serta bangga mempertontonkan kebodohan, kedunguan, dan segala tindakan yang merusak alam raya demi uang dan kemewahan dunia.
Kekuasaan yang serakah, akan berjalan dengan kebencian dan dusta. Ia kerapkali memproduksi dusta, instrik, dan kesesatan. Pada yang demikian itu, kekuasaan menjelma dalam wajah yang memuakkan. Ia menjadi faktor perusak manusia dan alam raya dengan mempertontonkan drama-drama politik yang menyedihkan. Penguasa jenis itu jelas adalah penguasa yang mencinta uang, harta dan keangkuhan. Uang bagi penguasa jenis itu adalah alat untuk membungkam kebenaran dan keadilan.
Kekuasaan yang lalim akan bergerak tidak beraturan, menabrak prinsip-prinsip hukum, konstitusi, undang-undang, etika dan moralitas politik yang dinilai baik bagi kehidupan bersama. Segala kebijakan yang muncul adalah untuk menutupi
kebohongan dan keangkuhan belaka. Kekuasaan yang dholim dan tidak mengindahkan nilai-nilai luhur bersama seluruh rakyat, hanya akan menuai kebenciaan dan kesengsaraan hidup masyarakat, bangsa dan negara.
Pemutarbalikan nilai-nilai, norma-norma, prinsip-prinsip, dan budaya luhur bangsa hanya diarahkan untuk meninabobokkan para penjilat kekuasaan untuk mendukungnya. Kelompok-kelompok kritis dalam masyarakat akan mereka bungkam agar pengaruh mereka tidak mencederai kekuasaannya. Mereka akab membentengi ketakutan mereka akan kesalahan yang dibuatnya sendiri. Oleh karena itu, sang penguasa laknat itu selalu menyiapkan Anjing penggonggong untuk melayani berbagai nyanyian kritis dari kaum pembela kebenaran dan keadilan.
Memproduksi Tipu Daya
Penguasa yang ambisius akan melakukan serentetan tipu daya, membangun permusuhan, memecah belah masyarakat, dan memusatkan energi negara untuk meningkatkan derajat kesesatan hingga semakin nyata. Mereka tidak lagi peduli bahwa tindakannya itu telah merobek-robek konstitusi, undang-undang, norma-norma, etika, dan seperangkat aturan bersama yang telah disepakati. Tipu daya akan selalu diproduksi tanpa malu. Kekuasaan yang penuh tipu daya akan tampil membunuh musuh-musuhnya seraya bersiul-siul merayakan keangkuhan yang merasuk dalam pikirannya.
Tipu daya dan fitnah akan terus mereka kumandangkan atas nama kebenaran palsu, kebijaksanaan yang terbalik maknanya, serta kesesatan yang dibalut
dengan kemunafikan kelas tinggi. Kemunafikan menjadi hari-hari penguasa jenis ini. Mereka menyembunyikan ketakutan mereka dengan memelihara kurcaci-kurcaci kekuasaan yang berlumuran dosa. Mulai dari dosa korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, serta praktik nepotisme yang merusak prinsip meritokrasi dalam negara. Pada yang demikian itu, penguasa tersebut harus disingkirkan dari singgasananya agar kelak tidak memperluas pengaruh buruk dalam negara.