Kekuasaan Bukan Pokok, Saat Gus Dur Tinggalkan Istana
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tetap dikenang masyarakat, bukan hanya bagi umat Islam, melainkan secara luas umat lintasiman.
Sejak wafatnya pengujung Desember 2009, tahun ini Haul ke-14 Gus Dur masih diperingati. Seperti di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, pada Sabtu 6 Januari 3024. Di antaranya ada Prof Nadirsyah Hosen, Prof M Mahfud MD, KH Musta'in Syafi'i, KH Abdul Hakim Mahfudz, dan sejumlah tokoh Indonesia.
Sebelumnya, juga digelar haul di Kediaman Keluarga Gus Dur, Ciganjur, Jakarta Selatan pada akhir Desember 2023. Di antaranya, ada KH Husein Muhammad, sahabat GurGur Pengasuh Pondok Pesantren Darul el-Quran, Arjawinangun Cirebon.
Berikut di antara catatannya:
“Bila kalian menginginkan kebahagiaan, carilah kedamaian”.
Bila musim Haul Gus Dur tiba, ingatanku tentang Gus Dur meninggalkan istana menyembul lagi bersama dengan sejuta kenangan yang lain bersama beliau.
Minggu 25 Juli 2001 pagi-pagi sekali aku berangkat dari rumah menuju Jakarta, setelah mendengar kabar bahwa Presiden Gus Dur akan meninggalkan istana untuk selanjutnya terbang ke luar negeri (Amerika) untuk berobat. Manakala tiba di stasiun Gambir aku langsung menuju istana Negara, tempat tinggal Gus Dur dan keluarganya selama menjadi Presiden. Aku acap datang ke sana sebelumnya jika diperlukan. Beberapa kali aku menginap di kamar di Istana Merdeka dan mengaji kitab kuning di sana.
Nah. Di pintu masuk aku melihat sudah banyak orang, teman-teman dan para pecinta Gus Dur, yang antri masuk ke istana. Akupun ikut antri. Begitu tiba di teras aku langsung memasuki kamar tidur Gus Dur.
Di situ aku menemui Ibu Sinta sedang duduk di atas tempat tidur, dengan dandanan yang sudah rapi dan siap berangkat. Aku menyalami dan mendoakan kesehatannya, lalu keluar lagi. Di kamar itu aku sempat melihat kardus-kardus besar yang sudah dikemas rapih. Aku tak bertanya apa isinya.
Gus Dur di ruang lain sedang bincang dengan adiknya, Dr. Umar dan yang lain, aku tak tahu siapa saja. Di luar kamar, telah berkumpul para sahabat dan para pegawai istana. Mereka berdiri dan berbaris melingkar. Wajah-wajah mereka tampak lesu. Mataku dan mata mereka mengembang air dan tanpa terasa menetes satu-satu.
Istana bagai banjir air mata. Gus Dur dan ibu keluar, lalu menyalami mereka satu-satu. Setiap orang mencium tangannya dengan dada yang berdegup. Aku menyalaminya. Sambil tangan masih saling menggenggam, Gus Dur seakan-akan mengatakan kepadaku :
“Aku akan turun dari tahta ini dan meninggalkan istana ini karena keberadaanku di sini menimbulkan perpecahan bangsa. Aku bersedia tidak memiliki dunia ini, bila kalian menginginkannya, karena hatiku luas, seluas samudera, dan aku yakin bahwa Tuhan akan menunjukkan kebaikan dan memberikan kebahagiaan kepadaku. Aku katakan kepadamu: “bila kalian menginginkan kebahagiaan, carilah kedamaian”.
Lalu Gus Dur meninggalkan kami menuju mobil sedan. Aku melihat dari belakang, mobil itu tak lagi berplat merah nomor RI 1.
Selamat Jalan Gus Dur. Kami akan selalu mencintaimu dan merindukanmu. Tanganku secara spontan terangkat dan melambai-lambai lalu jatuh, lunglai, tak berdaya.
Melepas Gus Dur Pulang
Aku terlambat mendaftar untuk ikut bersama rombongan naik pesawat menuju Surabaya lalu ke Jombang. Padahal semalaman aku menunggui Gus Dur di kantor Puan Amal Hayati, kantorku, sampai pagi. Kami tidak tidur.
Maka aku dan keluargaku bersama ribuan orang lainnya berdiri menunggu dengan setia keberangkatan jenazah beliau dari depan rumah duka itu sambil terus berdo’a untuk keselamatan jenazah dan para pengantarnya sampai di tempat tujuan.
Di pesantren Tebuireng, tempat singgah untuk istirah Gus Dur, di samping ayahnya Kiai Abdul Wahid, dan kakek nya Hadlratussyaikh Kiai Hasyim Asy'ari.
Langit biru bening dilapis awan putih berarak, bergerak pelan-pelan mengantar pesawat yang membawa jasad Gus Dur untuk kembali ke rumah tempatnya dilahirkan dan bermain di Jombang.
Dan saya terduduk lunglai,
Hati siapa yang tak bergetar
terenggut dan lunglai
ketika kekasih melambai-lambaikan tangannya
dan kereta bergerak pelan-pelan membawanya pulang
Kembali ke asal
Tetapi puisi Maulana Rumi mendamaikan hati :
الوداع لا يقع إلا لمن يعشق بعينيه أما ذاك الذي يحب بروحه وقلبه فلا ثمة انفصال أبداً.
Ucapan selamat tinggal hanyalah bagi orang yang mencintai dengan kedua bola matanya. Dia yang mencinta dengan ruh dan hatinya tak ada kata perpisahan.
Lalu katanya lagi :
الحب الذي لا يهتم إلا بالجمال الجسدي ليس حباً حقيقياً.
Cinta yang hanya berharap pada keelokan tubuh bukanlah cinta putih
Cintaku putih Gus
Dan ruhmu ruhku
(KH Husein Muhammad, 30.12.23)
Advertisement