Kekerasan di Sekolah Tidak Terjadi kalau Guru Mengajar dengan Hati
Kekerasan di lingkungan sekolah yang dilakukan oleh seorang guru pada anak didik tidak akan terjadi, kalau guru setiap memberi pelajaran pada anak didiknya menggunakan hati dan rasa kasih.
Mengajar dengan kekerasan apalagi sampai menyakiti anak didik, sudah bukan zamannya lagi. "Mengajar dengan hati dan kasih seperti itu di sekolah kami hukumnya wajib, apa lagi di sekolah kami juga terdapat beberapa siswa berkebutuhan khusus, yang memerlukan kesabaran," tutur Kepala Sekolah SMA Negeri 10 Kota Ternate, Sabaria Umahuk, pada acara Press Tour Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) dan Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat (BKHM) Kemendikbudristek di Kota Ternate, Maluku Utara, yang berakhir Jumat 13 September 2024.
SMA yang berlokasi di Jalan K.H Dewantara Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara, merupakan sekolah predikat favorit sebelum istilah itu dihapus.
Guru dan tenaga kependidikan sekarang ini dihadapkan pada pilihan yang sulit, seperti buah simalakama. Ibaratnya tidak dimakan ibu yang mati, dimakan bapak yang mati. "Di sini guru harus bijak dan adil bagaimana caranya supaya ibu dan bapak tetap hidup, meskipun tidak bersentuhan dengan buah simalakama tersebut," tuturnya.
Sebagai tenaga kependidikan, Sabaria prihatin mendengar ada siswa dibully oleh temannya, berprilaku menyimpang serta penyalahgunaan narkoba.
“Siswa yang terlibat dalam sebuah kasus, orang tuanya langsung dipanggil diajak mengembalikan anaknya pada jalan yang lurus supaya fokus belajar. Jika tidak ada kemajuan dan dikhawatirkan bisa menular ke teman yang lain, solusi yang diambil, siswa tersebut dikembalikan pada orangtuanya,” jelasnya.
Keputusan tersebut sudah melalui beberapa tahapan, dari teguran, peringatan tertulis satu, peringatan dua. Karena tidak ada perubahan, maka atas kesepakatan bersama siswa tersebut dikembalikan pada orangtuanya dengan baik-baik, mengingat pihak sekolah tidak sanggup lagi mendidiknya.
"Haknya untuk memperoleh pendidikan tetap dijamin di sekolah yang lain," imbuh Sabaria.
Kasus seperti itu pernah terjadi di awal Sabaria menjabat kepala sekolah. Ketika siswa dikembalikan pada orangtuanya, kegiatan belajar mengajar di SMA Negeri 10 Ternate berjalan normal tidak terjadi lagi kasus serupa.
Anak berkebutuhan khusus di SMA Negeri 10 yang sebelumnya dikhawatirkan akan menjadi sasaran olok-olok, ternyata bisa berteman dan difasilitasi dengan baik.
Ketika ditemui ngopibareng.id di ruang belajar, siswa berkebutuhan khusus bernama Veri mengatakan, teman-teman memperlakukan dirinya dengan baik. Ia juga dibantu saat mengalami kesulitan.
Siswa kelas 12 itu bercita-cita menjadi petinju untuk menghadapi teman yang membully dirinya. Beruntung, ia memiliki banyak teman yang baik sehingga cita-citanya ingin menjadi polisi atau pemain musik seperti ayahnya.
Menurut Sabaria, pihak sekolah juga mendatangkan seorang psikolog bagi siswa berkebutuhan khusus tersebut.
"Orangtuanya bangga, anaknya diterima di SMA umum, bisa berinteraksi dengan siswa yang normal, sehingga menumbuhkan kepercayaan diri bagi orang tua maupun anak didiknya," tutupnya.