Kekalahan Itu Sepi, Pak Ahok!
PILKADA DKI telah usai. Anies-Sandi telah memenangi hampir semua hitung cepat. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Djarot Syaiful Hidayat, sang petahana, kalah dengan selisih suara bukan lagi tipis seperti diperkirakan semula.
Anies-Sandi sudah menyampaikan apa saja yang akan dilakukan dengan kemenangan itu. Ahok-Djarot juga dengan jantan sudah mengucapkan selamat kepada pemenang. Hiruk pikuk, caci maki, dan ujaran kebencian antar pendukung mulai sepi.
Selamat untuk Anies-Sandi. Saya ikut senang karena punya satu teman lagi yang menjadi gubernur. DKI lagi. Anies yang ketika ia mahasiswa saya ikut mempromosikan segala kiprahnya. Anies yang waktu kuliah di Amerika saya sempat menyambangi.
Ia sudah menang. Enam bulan lagi ia akan melangkah ke Balaikota DKI. Berkantor di deretan kantor para pemimpin negeri ini. Seperti ketika ia jadi menteri, saya tak pernah menyambangi. Demikian juga nanti ketika ia sudah berkantor ke sana.
Setelah menang berlaga, Anies pasti banyak yang mengerubuti. Ia juga harus segera focus untuk merealisasikan segala hal yang sudah ia lontarkan sebagai janji. Kemenangan itu adalah awal. Karena itu, berilah kesempatan untuk bekerja lebih giat lagi.
Saya malah ingin ketemu Ahok dan Djarot. Saya memang tidak pernah mengenal Ahok dari dekat. Hanya Djarot yang pernah berkawan saat dia menjadi walikota di kota kelahiran saya: Blitar. Tapi, sejak hitung cepat selesai, saya ikut merasakan kegalauan, kegelisahan, dan apa yang ada dalam hatinya.
Perasaan itu juga pernah terjadi ketika saya menyaksikan Gus Dur harus meninggalkan istana setelah dua tahun memimpin negeri ini. Sedih, mesakne (kasihan), dan sungguh terasa menyayat hati. Padahal, selama ia menjadi presiden, saya tak pernah ikut kecipratan rejeki, ha..ha...
Gus Dur menjadi presiden di awal reformasi. Ia menjadi pemimpin negeri di masa transisi demokrasi. Saya memang kenal dekat dengan dia. Sebab, bersama Saefullah Yusuf dan KH A Mustofa Bisri sempat bersama-sama menerbitkan Koran Duta (dulu Duta Masyarakat Baru).
Karena itu, kesedihan mendalam sangat terasa saat dia dilengserkan. Saat dia dikalahkan. Kesedihan dan empati itu baru bisa saya ungkapkan saat bertemu dia di New York, beberapa bulan kemudian. Pertemuan mahal dan menggetarkan.
Kali ini saya sangat ingin bertemu Ahok dan Djarot. Mengapa? Bagi saya, menyapa mereka yang kalah sangatlah penting. Sebab, kekalahan itu selalu sepi.
Lho? Ya. Tujuh tahun lalu saya pernah mengalami. Ketika kalah bersaing dalam Pilkada Kota Surabaya melawan Tri Risma Harini. Kalah pilkada dengan selisih suara 2 persen.
Meski masih 6 bulan lagi Ahok-Djarot menjabat, pasti hari-hari ke depan akan terasa sepi. Puja-puji dan dukungan akan cepat lari. Rasa hormat dan sapaan sopan akan segera sirna. Banyak orang yang selama ini kita kira teman akan menghilang.
Sebetulnya saya ingin bisa menemani Ahok dan Djarot kemarin dan beberapa hari mendatang. Sebab, saya pernah merasakan, saat-saat itulah tantangan terberat yang harus dihadapi pecundang. Saat itu lah sebetulnya orang yang kalah butuh teman.
Seringkali, saat kita kalah, para teman itu yang hilang duluan. Kecuali teman-teman sejati yang menemani kita sepenuh hati. Saat kalah, itulah saringan pertemanan yang sejati. Akan terlihat siapa sahabat dan siapa yang hanya ingin memperoleh keuntungan dari pertemanan.
Untung, saat itu, jauh-jauh hari saya sudah mendapat bekal mental dari mantan bos saya Dahlan Iskan. ‘’Dalam hidup ini, terkadang kita harus jalan sendirian Arif,’’ katanya jauh hari sebelum coblosan pilkada berlangsung.
Kekalahan itu sepi Pak Ahok. Kekalahan itu nglangut Mas Djarot.
Anda pasti mulai merasakan, satu-per satu orang-orang di sekitar Anda selama ini menghilang. Posko pemenangan Anda pasti sepi. Tak lagi hiruk pikuk seperti beberapa jam sebelumnya.
Yang selama ini paling lantang mendukung Anda, bisa saja langsung sakit tenggorokan. Tak bersuara.
Karena itu, tadi malam, saya sudah tak peduli dengan euphoria Anies-Sandi dan kawan-kawan. Meski pun mereka itu kawan. Biar lah mereka merayakan kemenangan dengan caranya.
Saya malah terbayang-bayang Anda berdua. Membayangkan Pak Ahok dan Mas Djarot pulang ke rumah dengan wajah lesu. Di sambut istri dan anak yang muka sendu. Saya membayangkan Anda terbata-bata merangkai kata menguatkan hati mereka semua. Hati istri dan anak untuk menghadapi perubahan hidup yang sudah di depan mata.
Tapi percayalah Pak Ahok dan Mas Djarot, rasa sepi akibat kekalahan itu tak akan lama bagi petarung seperti Anda berdua. Kesepian itu akan segera sirna untuk orang-orang seperti Anda berdua. Sebab, orang seperti Anda pasti bisa berkiprah di mana saja dan dalam keadaan kalah dan menang.
Modal social, kompetensi yang Anda miliki, dan prestasi yang Anda ukir selama ini akan menjadi teman abadi dalam perjalanan hidup Anda ke depan.
Masih banyak ladang yang bisa digarap untuk berkiprah Pak Ahok! Masih banyak tempat mengabdi yang bisa digeluti Pak Djarot!
Saya menyelamati kemenangan teman saya Anies. Tapi saya lebih ingin menemani Pak Ahok dan Mas Djarot, saat-saat ini. *)