Kejutan dari Ponorogo
Politisi memang harus bermental petarung. Seperti Sugiri Sancoko. Bupati terpilih Ponorogo. Yang berhasil mengalahkan petahana Ipong Muchlisoni.
Sebetulnya sudah sejak lama saya ingin menulis tentang dia. Tapi selalu tertunda. Sampai ia datang ke kantor untuk bersilaturahmi. Selasa malam lalu.
Kemenangan Giri --demikian saya biasa memanggil-- mengejutkan. Paling tidak dilihat dari dua sisi: Modal politik dan modal finansial. Dalam dua hal itu, Ia kalah jauh dari lawannya.
Soal modal politik ia hanya didukung tiga partai dengan 9 kursi dari 45 kursi di DPRD. Sedangkan patahana didukung 36 kursi di parlemen. Atau 20 lawan 80 persen.
Modal finansial ia juga kalah. Saya tahu persis kemampuan finansial Giri. Ia bukan politisi kaya. Apalagi, 5 tahun lalu ia kalah pilkada. Juga kalah saat pemilihan legislatif setelahnya. Sudah habis-habisan.
Giri juga bukan pengusaha besar. Kecuali pengusaha reklame kecil yang ia tekuni jauh hari sebelum menjadi politisi. Ia sempat menjadi anggota DPRD Jatim sebelum mencalonkan diri jadi bupati 5 tahun lalu.
Karena itu, ia layak disebut sebagai politisi sejati. Ia tak menyerah meski setelah dua kali kalah. Saat mencalonkan bupati periode lalu dan Pileg 2019. Ia berani kembali tarung dan kini berhasil.
Soal mental bertarung ini, ia bisa disejajarkan dengan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Yang menjadi calon gubernur tiga kali dan baru menang yang terakhir.
Juga seperti Saifullah Yusuf atau Gus Ipul. Yang kalah dari Khofifah dalam Pilgub lalu mencalonkan diri menjadi Walikota Pasuruan. Dalam pertarungan ini, Wagub Jatim dua periode ini menang telak.
Ya, rumus menjadi politisi itu memang hanya dua: menang dan kalah. Politisi sejati tak lekang meski kalah. Ibaratnya, politisi harus punya jantung rangkap. Jika mati bisa hidup kembali.
Kembali ke Giri.
Saya tahu kemampuan finansial Giri karena ia pernah dengan saya sejak muda. Ketika masih kere. Miskin. Saat bersama-sama membikinkan koran milik NU: Harian Duta Masyarakat Baru.
Harian yang diinisiasi Jawa Pos dan Dahlan Iskan. Yang pengurusanya orang top semua. Komisaris Utamanya KH Abdurrahman Wahid alias Gusdur, Pimrednya KH A Mustofa Bisria alias Gus Mus. Pimpinan Perusahaannya Gus Ipul.
Waktu itu saya mewakili Jawa Pos Group. Yang tadinya ingin membikinkan media partai baru yang dilahirkan era reformasi: PKB. Namun, akhirnya dialihkan untuk NU, sebagai Ormas yang berjasa ikut memerdekakan negeri ini.
Giri ikut berjuang mendirikan Duta Masyarakat Baru dengan menjadi Manager Pemasaran dan Iklan. Setelah gagal membangun Duta Masyarakat Baru, ia beralih di bisnis biro iklan dan reklame.
Dari sejarah bisnisnya bisa diperkirakan kemampuan finansialnya. Apalagi dibandingkn dengan Ipong yang petahana dan pengusaha tambang Batubara. Ibaratnya, baina al-sama' wa al-sumur, antara langit dan sumur.
Maka sangat tepat kalau kemenangannya dalam pilkada serentak 2020 ini dibilang mengejutkan. Tak terduga. Apalagi ia hanya menyiapkan pencalonan ini setahun sebelumnya.
"Tadinya tidak ada partai yang percaya mengusung saya. Setelah kalah dalam pilkada lalu dan pileg setelahnya. Tapi Tuhan ternyata memberi jalan lain," kata Giri mengenang proses pencalonanya.
Bagaimana ia bisa memenangkn pertarungan ketika Pilkada lebih banyak mengandalkan mesin partai politik dan kemampuan uangnya? Ini yang menarik untuk dicermati dan ditelusuri.
Seperti diceritakan, ia lebih mengandalkan modal sosial. Dengan menggerakkan kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan yang menginginkan perubahan. Mengandalkan kekuatan rakyat.
Yang hebat, ia berhasil menggalang kebersamaan beberapa elemen masyarakat yang berbeda. Bahkan sering bertentangan. Misalnya antara NU, Muhammadiyah dan LDII. Ketiga kelompok agama ini bersama nyengkuyung pencalonannya.
Bahkan, relawan dari ketiganya berkeliling mulai tahajud bersama sampai subuh bersama. Imamnya gantian. Bahkan Muhammadiyah pun kalau jadi imam Subuh ikut pakai doa Qunut. Sesuatu yang menjadi amalan NU.
Dua perguruan silat juga berhasil disatukan dan bergerak untuknya. Yakni Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan SH Winongo. Dua perguruan ini bersama-sama mendukung dan bergerak untuk kemenangannya.
Modal sosial yang berhasil digalang ini menjadi harapan baru bagi pemilihan kepala daerah mendatang. Ternyata, modal politik dan finansial yang menjadi andalan pertarungan calon kepala daerah bisa dikalahkan dengan modal sosial.
Modal sosial yang menjadi faktor kemenangan Giri ini bisa menjadi modal dalam kepemimpinannya. Sepanjang ia tetap mampu merawatnya. Menjadi kekuatan baru membangun politik Indonesia dari Ponorogo.
Ia pun langsung berpikir keras mewujudkan visi perubahan yang diusungnya. Bersama timnya, ia sudah menyiapkan banyak hal. Mulai dari apa yang akan dilakukan dalam 100 hari kepemimpinannya sampai dengan program jangka panjang untuk kesejahteraan warganya.
"Ponorogo ini punya banyak potensi. Begitu kita bisa mengangkat kesejateraan petani dan UMKM-nya, PDRB Ponorogo pasti akan langsung meningkat tajam," katanya penuh dengan semangat.
Ia juga sudah menyiapkan blueprint untuk melahirkan kebanggaan baru bagi kabupaten Ponorogo. Lewat potensi pariwisata yang akan digarapnya. Dengan memanfaatkan Danau Ngebel dan eksotisnya lereng Gunung Wilis.
Sebagai orang yang pernah bergerak di dunia marketing dan periklanan, ia juga sudah menyiapkan sesuatu yang "wow" di Ponorogo. Dengan memanfaatkan potensi alam dan kebudayaan tang berkembang di daerahnya.
Eh...dia juga sudah mempersiapkan sesuatu yang akan mempermudah perijinan investasi di kabupaten Ponorogo. "Semacam Omnibus Law ala Ponorogo," katanya. Ia mempekerjakan pakar hukum sebelum dilantik.
Saya mengenal para bupati Ponorogo yang memimpin sejak reformasi politik. Rasanya baru Giri ini yang mempunyai mimpi besar untuk daerahnya. Mimpi besar plus modal sosial pendukungnya bukan mustahil membuat Ponorogo berubah pesat.
Kalau selama ini ikon baru Jatim muncul dari Banyuwangi di ujung Timur, bukan mustahil Ponorogo menjadi ikon baru dari ujung barat. Melengkapi nama besar Ponpes Gontor dan Reog Ponorogonya.
Giri --sesuai dengan namanya-- semoga menjadi tren baru kepala daerah yang kemenangannya berbasis modal sosial. Bukan kemenangan yang mengandalkan besarnya dukungan partai politik maupun kekuatan uangnya.
Kemenangan dalam Pilkada sebenarnya awal kerja keras berikutnya. Semua pasti menunggu kejutan-kejutan selanjutnya setelah mampu memenangkan Pilkada secara mengejutkan. (Arif Afandi)
Advertisement