Kejahatan Seks Non-penetrasi Terabaikan Hukum
Oleh: Djono W. Oesman
Heboh di X, guru pria SMKN 56 Jakarta menggesekkan kemaluan telanjang ke bokong 15 siswi. Reaksi Kepala SMKN 56 Jakarta, Ngadina, setelah menyelidiki, kepada wartawan, Selasa (8/10) mengatakan: “Korban bukan 15 melainkan sebelas siswi. Sisanya melihat kejadian itu. Gurunya Hanafi. Sudah kami berhentikan per 8 Oktober 2024.”
—--------------
SUDAH. Selesai sampai di situ. Tidak ada proses hukum lebih lanjut. Polisi tidak akan bertindak jika tidak ada pengaduan korban, Berdasarkan Pasal 293 Ayat (2) KUHP penuntutan hukum kasus begitu hanya bisa dilakukan atas pengaduan korban ke polisi. Disebut delik aduan.
Konstruksi kejadian: Hanafi adalah guru seni budaya SMK Negeri 56 Jakarta. Sekolahnya di Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara. Usia Hanafi 40 tahun. Kata Kasek Ngadina, Hanafi sudah jadi guru di situ selama lima tahun. Statusnya sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Sebagai guru seni budaya, Hanafi berhak memanggil murid, satu per satu, untuk menyanyi di kelas. Saat murid menyanyi, cuma ada murid dan Hanafi. Mungkin ini modus seksual. Logikanya seorang murid menyanyi, bakal lebih terpicu semangat berkreasi jika ditonton banyak orang (murid lain). Tapi, cara Hanafi ini haknya sebagai guru.
Nah, di situlah Hanafi beraksi gesek kemaluan terhadap sebelas siswi. Empat siswi lain menonton. Belum diungkap, bagaimana cara empat siswi itu bisa menonton? Apakah mereka mengintip lewat jendela kaca tanpa gorden, ataukah mereka ngumpet di bawah bangku di pojok ruang kelas?
Kasus ini menyebar dimulai dari unggahan di medsos X. Tapi juga ada laporan offline. Seorang siswi korban gesek, melapor ke seorang guru di sana, Kamis, 3 Oktober 2024. Kemudian guru tersebut melaporkan ke Kasek Ngadina.
Kasek Ngadina kemudian melakukan konfirmasi. Dengan memanggil para korban, mewawancarai mereka satu per satu. Juga memanggil Hanafi untuk konfrontir. Hasilnya begini:
Ngadina: “Memang betul. Dilakukan di ruang kelas seni budaya di lantai dua gedung sekolah.”
Tidak dirinci, apakah saat Hanafi menggesek, para korban masih mengenakan rok lengkap atau tidak? Juga tidak disebutkan, apakah sebelum dan sesudah gesekan Hanafi menunjukkan kemaluannya ke korban atau tidak?
Masyarakat Indonesia, termasuk penegak hukum dan jurnalis, rata-rata menganggap detil perkara beginian adalah hal tabu. Tabu diungkap. Akibatnya, penjahat seksual bersembunyi di balik ‘rasa tabu’ itu. Para penjahat seksual jadi percaya diri berbekal mode rasa tabu. Dampaknya bisa dibayangkan… Terbukti, kasus beginian sangat banyak.
Singkatnya, Hanafi sudah diberhentikan sebagai guru di sana. Kasek Ngadina: “Kasusnya kami laporkan ke Dinas Pendidikan Pemprov DKI Jakarta melalui Suku Dinas Pendidikan Jakarta Utara. Jadi sekarang wewenang soal ini ada di sana.”
Wartawan mewawancarai Plt Kepala Dinas Pendidikan Pemprov DKI Jakarta, Purwosusilo, membenarkan pernyataan Kasek Ngadina tentang itu.
Purwosusilo: “Benar. Guru yang bersangkutan sudah dinonaktifkan jadi guru di sana. Lalu ia ditempatkan di Kantor Kecamatan Tanjung Priok. Sekarang bertugas di Kantor Kecamatan Tanjung Priok.”
Ternyata, Hanafi masih bertugas untuk bangsa dan negara Indonesia. Dipindahkan dari guru seni budaya Indonesia (yang luhur), menjadi petugas kantor kecamatan (yang melayani rakyat). Sudah. Gitu tok. Selesai.
Jangankan di tingkat SMK, apalagi ini tidak dilaporkan ke polisi, kasus beginian di Universitas Pancasila (UP) Jakarta, pun macet di tingkat penyidikan kepolisian. Kasus di UP jadi panutan kasus di SMK. Semacam yurisprudensi. Dalam hukum, yurisprudensi adalah putusan-putusan pengadilan yang dijadikan pedoman dan sumber hukum untuk menyelesaikan perkara yang tidak diatur undang-undang. Maka, kasus di UP pedoman buat SMKN 56 Jakarta. Dan, bakal jadi pedoman kasus selanjutnya.
Kasus di UP, Rektor nonaktif Universitas Pancasila Prof Dr Edie Toet Hendratno. SH. M,Si diduga melecehkan mantan staf kampusnya, perempuan inisial DF, pada 9 Desember 2022. Dilanjut, pada Februari 2023 Prof Edie juga diduga melecehkan perempuan inisial RZ, yang saat itu berstatus humas ventura Universitas Pancasila.
Dua kasus pelecehan itu sudah dilaporkan ke polisi. Kuasa hukum DF dan RZ, Amanda Mathovani kepada wartawan, Selasa, 5 Maret 2024, menyatakan, Rektor Edie melecehkan seks dua pegawai UP.
Amanda: "Pelecehan yang dilakukan pak rektor secara fisik terhadap DF, sama seperti yang dilakukan pak rektor terhadap RZ. Tapi pelecehan pak rektor terhadap DF tidak separah pelecehan pak rektor ke RZ."
Diceritakan: "Saat itu RZ dapat laporan dari sekretaris rektor, bahwa hari itu dia harus menghadap rektor pukul 13.00 WIB. Maka dia menghadap rektor. Dia ketuk pintu ruang kerja rektor. Ada suara, silakan masuk. Pintu dibuka. Pak rektor sedang duduk di kursi kerja."
RZ kemudian duduk di kursi di hadapan rektor. Lalu pak rektor memberikan sejumlah perintah terkait pekerjaan kepada RZ.
Kemudian pak rektor perlahan bangkit dari kursinya, lalu duduk di dekat RZ. Saat RZ sedang mencatat, tiba-tiba pak rektor mencium korban.
RZ terkejut. Berdiri. Beranjak dari situ. Tiba-tiba pak rektor berubah berkata lembut, minta tolong RZ untuk meneteskan obat tetes dengan dalih matanya merah. RZ menuruti perintah, meneteskan obat dengan cara tubuh agak menjauhi pak rektor. Lalu RZ keluar ruangan.
Amanda: “RZ melaporkan kasus dugaan pelecehan itu ke Polda Metro Jaya pada 12 Januari 2024. Sedangkan DF melapor ke Mabes Polri pada 28 Januari 2024.”
Kasus tersebut diproses disatukan ke Polda Metro Jaya. Rektor Prof Edie sudah dipanggil untuk dimintai keterangan di Polda Metro Jaya. Ia membantah tuduhan. Prof Edie lalu menggelar konferensi pers, ia mengatakan, “Saya ini punya istri dan punya anak, Bisa dibayangkan, betapa sedihnya mereka?”
Perkaranya (waktu itu) ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan. Tapi belum ada tersangka. Sampai sekarang. Sudah sembilan bulan silam. Kasus tenggelam.
Beralih ke kasus pelecehan seks di Panti Asuhan Darussalam An'nur, Kunciran, Tangerang, yang berdiri tahun 2000. Diduga ada 41 anak laki-laki di panti tersebut yang dilecehkan tiga orang: Sudirman, 49, selaku ketua yayasan. Yusuf, 30, selaku pengasuh panti, dan Yandi, 33, selaku pengasuh panti.
Kasus ini dilaporkan ke Polres Metro Tangerang. Kemudian ditangani polres dibantu Polda Metro Jaya.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi kepada wartawan, Sabtu, 5 Oktober 2024 mengatakan: "Mereka (Sudirman dan Yusuf) sudah ditetapkan sebagai tersangka. Sudah ditahan. Satu tersangka Y (Yandi) masih buron."
Hasil penyidikan Polres Metro Tangerang, jumlah korban bukan 41 melainkan tujuh anak asuh dan mantan anak asuh panti tersebut. Semua korban disodomi dan oral seks oleh tiga tersangka: Sudirman, Yusuf dan Yandi.
Para korban digilir tiga tersangka dengan tindakan seksual sodomi dan oral seks secara terus-menerus. Korban terkecil berusia enam tahun. Korban tertua 18 tahun yang mantan penghuni panti tersebut.
Belum diungkap, apakah kejahatan itu dilakukan para tersangka sejak Panti Asuhan Darussalam An'nur, Kunciran berdiri tahun 2000, atau sejak kapan? Pastinya, anak-anak penghuni panti itu pada awal pendiriannya, sekarang mereka sudah berusia sekitar 30 sampai 40 tahun.
Di kasus ini polisi bertindak cepat. Dari saat laporan polisi sampai dua tersangka ditahan, cuma dalam hitungan hari. Beda dengan kasus di UP yang sudah sembilan bulan, macet. Apalagi kasus di SMKN 56 Jakarta yang belum dilaporkan polisi.
Dari komparasi kasus sejenis di tiga lembaga pendidikan itu, bisa disimpulkan bahwa polisi bertindak cepat jika ada penetrasi seksual. Di Panti Asuhan Darussalam An'nur, jelas sodomi. Di UP ciuman, kasusnya macet. Di SMKN 56 Jakarta, apalagi, cuma gesek, bahkan belum dilaporkan ke polisi.
Bisa dikatakan, hukum Indonesia tentang hal itu bersifat remang-remang. Kadang jelas, kadang tidak. Jelas, kalau sudah terjadi penetrasi seks (perkosaan). Tidak jelas, kalau pelecehan seks tanpa penetrasi. Padahal, pelecehan seks diatur di Pasal 293 KUHP. Apalagi pelecehan seks terhadap anak, sangat banyak aturannya.
*) Penulis: Wartawan senior