Kejahatan Keuangan Lintas Negara, Transisi Hijau
Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani hadir dalam event G20 High Level Tax Symposium on Combating Tax Evasion, Corruption, and Money Laundering.
Berikut penjelasan Sri Mulyani, dikutip dari siaran pers, Selasa, 18 Juli 2023 (Redaksi).
Kejahatan lintas negara di bidang keuangan tidak dapat ditangani dalam yurisdiksi satu negara saja, bahkan tak cukup hanya mengandalkan satu institusi semata.
Di Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) dan aparat penegak hukum lainnya, harus senantiasa bekerja sama dan bahu membahu dalam menangani kejahatan di bidang keuangan tersebut.
Indonesia secara nyata telah membuktikan keikutsertaan dalam upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme di kancah global.
Indonesia secara nyata telah membuktikan keikutsertaan dalam upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme di kancah global.
Dalam event G20 High Level Tax Symposium on Combating Tax Evasion, Corruption, and Money Laundering, saya ingatkan bahwa sejak 2009, Indonesia bahkan telah aktif memainkan peranan penting dalam transparansi perpajakan internasional. Melalui keanggotaan pada Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes.
Selain itu, Indonesia juga tinggal selangkah menjadi anggota Financial Action Task Force on Money Laundering and Terrorism Financing (FATF). FATF merupakan forum pertemuan 37 negara anggota yang membahas kebijakan standar internasional dalam memerangi pencucian uang dan pendanaan teroris.
Mari kita dukung upaya pemerintah dalam memberantas kejahatan lintas negara di bidang keuangan.
Pertemuan FMCBG G20 India
Indonesia mendorong negara-negara G20 untuk terus menjaga kolaborasi antara menteri keuangan dan menteri kesehatan untuk siap siaga dalam penanggulangan pandemi, salah satunya melalui dana pandemi.
Dalam Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (FMCBG) ke-3 di bawah Presidensi India, pada 17—18 Juli 2023, saya sampaikan soal demikian. Kebetulan memang dibahas isu terkait ekonomi dan kesehatan global, keuangan berkelanjutan dan infrastruktur, arsitektur keuangan internasional, perpajakan internasional, serta sektor keuangan dan inklusi keuangan.
Khusus isu kesehatan global, kami menyoroti mobilisasi dana pandemi yang baru mencapai US$1,7 miliar, masih jauh dari kebutuhan dana yang sebesar US$10,5 miliar.
Kami menyambut penyelesaian call for proposals oleh Pandemic Fund [Dana Pandemi] dan menantikan putaran pertama pendanaan yang akan masuk secara bertahap dalam beberapa bulan.
Pada agenda keuangan berkelanjutan dan infrastruktur, ada berbagai faktor penting dalam mencapai tujuan bersama dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan dan agenda iklim bersama.
Faktor-faktor tersebut diantaranya keuangan transisi, skema pembiayaan campuran (blended finance), kebijakan yang menyeluruh baik dari fiskal, sektor riil, makro serta mikroprudensial, dan klasifikasi aktivitas transisi hijau.
Untuk mencapai tujuan tersebut, imbuhnya, kolaborasi global dan upaya internasional, termasuk pendanaan internasional dan dukungan teknis, penting untuk membantu menurunkan biaya yang dibutuhkan oleh tiap negara untuk tetap berada di jalur dalam mencapai target iklim dan pembangunan berkelanjutan bersama.
Terkait arsitektur keuangan internasional, Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah Indonesia mendorong implementasi roadmap Kerangka Kecukupan Modal (Capital Adequacy Framework) dari Bank Pembangunan Multilateral dan mendorong mereka untuk memiliki target konkrit untuk meningkatkan kapasitas pinjamannya.
Indonesia menyampaikan bahwa G20 perlu memanfaatkan peluang untuk memperkuat Bank Pembangunan Multilateral dan investasi swasta untuk pembiayaan Barang Publik Global [Global Public Goods/GPG]. Indonesia dalam hal ini dapat menjadi test case untuk pembiayaan GPG melalui inisiatif Mekanisme Transisi.
Pada agenda perpajakan internasional, kami menegaskan kembali bahwa tujuan dari Solusi Dua Pilar, yaitu untuk meningkatkan keadilan, kemudahan, dan kepastian.
Secara khusus, Pilar Satu akan memberikan alokasi keuntungan yang lebih adil untuk meningkatkan kesetaraan, sedangkan Pilar Dua ditujukan untuk mengatasi permasalahan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang masih tersisa.
Penyediaan peningkatan kapasitas kata dia sangat penting bagi anggota Kerangka Kerja Inklusif. Dia mengatakan, peningkatan kapasitas pada Pilar Dua harus diprioritaskan karena Pilar Dua akan segera diimplementasikan.