Keistimewaan Hari Jumat, Pesan-Pesan Gus Mus di Zaman Kegalauan
KH Ahmad Mustofa Bisri, di tengah imbauan social distancing dan physical distancing, tetap menyampaikan pesan-pesan Keislaman. Meski sejumlah masjid mulai meniadakan Shalat Jumatan, Gus Mus memberikan renungan dengan Jumat Call.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi. Semoga Allah memberkahi Jum'at kita dan melindungi kita sekeluarga dari wabah dan penyakit.
"JUM'AT CALL: Wabah Corona ini seharusnya meruntuhkan keangkuhan kita dan mengingatkan kembali bahwa kita semua adalah manusia sesama anak-cucu Adam. (Q. 49: 13)".
Demikian disampaikan sebagai pesan Jumat Gus Mus, edisi Jumat 17 April 2020.
Cukup menarik pesan disampaikan Gus Mus, sebagai renungan suci setiap Jumat. Apalagi, di tengah-tengah Pandemi Covid-19 yang cukup memprihatinkan dampanya saat ini. Ya, inilah zaman kegalauan.
"Wabah yang mengancam semua orang dewasa ini belum jugakah menyadarkan kita bahwa kita semua pada hakikatnya sama-sama hamba di hadapan Allah dan bersaudara sebagai khalifahNya di bumi?"
"JUM'AT CALL: Kita yang selama ini mengakbarkan diri dan menomor-satukan dunia hingga berjarak dengan Sang Pencipta, apakah sudah mendapat pelajaran dari kehadiran makhlukNya yang mahakecil bernama Virus Corona yang membuat panik massal saat ini?".
Disiplin dalam menulis
KH. Bisri Mustofa penulis Tafsir al-ibris yang masyhur, di zamannya termasuk ulama ‘nyeleneh’ karena bekerja sebagai penulis. Beliau dikenal kemampuannya menerjemahkan kitab-kitab klasik berbahasa Arab menjadi bacaan indah sekaligus mudah difahami.
Produktivitas menulis keluarga ulama ini, khususnya produktivitas kepenulisan KH. Bisri Mustofa dan KH. Misbach Mustofa (keduanya putra H. Zaenal Mustofa) baik dalam bahasa Indonesia, Jawa maupun bahasa Arab mendorong inovasi diadakannya pelatihan menulis dalam bahasa Indonesia dan menerjemahkan kitab dalam bahasa Indonesia bagi para santri Taman Pelajar Islam (1983) yang diprakarsai adik Gus Mus KH M. Adib Bisri. Ketika itu kemampuan menulis dalam bahasa Indonesia rata-rata santri sangatlah minim.
Gus Mus sendiri bersama kakaknya KH M. Cholil Bisri, sejak muda mempunyai kebiasaan menulis sajak dan saling berlomba untuk dipublikasikan. Gus Mus yang suka membaca sejak masa kanak0kanak, tulisannya sejak remaja sudah banyak dimuat berbagai mdia masa termasuk Kompas (Kompas Minggu 9 Januari 1997:2). (Untuk menghindarkan diridari ‘bayang-bayang’ nama besar ayahnya, Gus Mus pernah menggunakan nama M. Ustov Abi Sri sebagai pseudonimnya). Pentas baca puisinya yang pertama (1980-an) telah menuai banyak pujian dan Gus Mus segera dikukuhkan kehadirannya sebagai “bintang baru’ dalam dunia kepenyairan Indonesia. Ia menjadi satu-satunya penyair Indonesia yang menguasai sastra Arab (bukan sekedar terjemahannya). Kini sajak-sajak Gus Mus terpampang hingga ruangan kampus Universitas Hamburg (Jerman). Tulisannya tersebar luas diantaranya bisa kita baca di Intisari, Horison, Kompas, Tempo, Detak, Editor, Forum, Humor, DR, Media Indonesia, Republika, Suara Merdeka, Wawasan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Jawa Pos, Bali Pos, Duta masyarakat (Baru), Pelita, Panji Masyarakat, Ulumul Qur’an, Ummat, Amanah, Aula, Mayara. Pada majalah Cahaya Sufi (Jakarta), MataAir (Jakarta), MataAir (Yogyakarta), Almihrab (Semarang) Gus Mus duduk sebagai Penasihat.
Karena dedikasinya dibidang sastra, Gus Mus banyak menerima undangan juga dari berbagai negara. Bersama Sutardji Colzoum Bachri, Taufiq Ismail, Abdul hadi WM, Leon Agusta, Gus Mus menghadiri perhelatan puisi di Baghdad (Iraq, 1989). Masyarakat dan mahasiswa Indonesia menunggu dan menyambutnya di Mesir, Jerman, Belanda, Perancis, jepang, Spanyol, Kuwait, Saudi Arabia (2000). Fakultas Sastra Universitas Hamburg, mengundang Gus Mus untuk sebuah seminar dan pembacaan puisi (2000). Universitas Malaya (Malaysia) mengundangnya untuk seminar Seni dan Islam. Sebagai cerpenis, Gus Mus menerima penghargaan “Anugerah Sastra Asia” dari Majelis Sastra (Mastera,Malaysia, 2005).
Membaca sajak saat berdakwah, bukan hal baru di kalangan pesantren. Tapi, membaca sajak sebagaimana dilakukan Gus Mus dengan sajak-sajak mbeling atau ‘puisi balsem’ (balsem adalah obat gosok penghilang pening)-nya, memang baru Gus Mus yang memulai (Kompas Minggu, 9 Janurai 1997: 2). Sajak-sajak Gus Mus menjadi medium bagi Gus Mus untuk mengkomunikasikan berbagai situasi sosial yang aktual dengan para santri/asudiens-nya. Dengan bangkitnya keingintahuan santri dan para audiens, terbukalah dialog sehingga terbuka harapan akan meningkatnya pemahaman yang lebih untung tentang diri sendiri, sesama, situasi lingkungan dan agama.
Dedikasi Gus Mus di dunia puisi disambut oleh seniman-seniman lain. Sebuah group band anak muda pernah mengaransir lagu untuk puisi Gus Mus. Bersama Idris Sardi Gus Mus menyuarakan keprihatinannya tentang persatuan bangsa dalam pagelaran karya musik dan puisi bertajuk “Satu Rasa Menyentuhkan Kasih Sayang” di Gedung Kesenian Jakarta, 22 Maret 2006 (Kompas, 23 Maret 2006: 15). Tahun 2008 Gus Mus berkenan menulis lirik lagu diantaranya berisi parodi tentang bagaimana manusia mempertaruhkan ‘kaki’, ‘kepala’, bahkan ‘dada’ demi sekdar ‘kesenangan (kekuasaan) mempermainkan bola’—utnuk lagu Sawung Jabo (belum dipublikasikan).
Advertisement