Soal Masuk Sekolah, Orang Tua dan Anak Bertolak Belakang
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis hasil angket antara orang tua dan anak soal masuk sekolah. Hasilnya 80 persen responden orang tua menyatakan tidak setuju anaknya masuk sekolah sebelum pandemi Covid-19 tuntas.
Dalam waktu yang sama KPAI bidang pendidikan juga melakukan survei tentang keinginan anak masuk sekolah. Ternyata, 80 persen anak-anak menyatakan ingin segera kembali ke sekolah.
Komisioner KPAI bidang pendidikan, Retno Restriarti mengatakan, meski dengan aturan normal baru, para orang tua tetap khawatir karena situasi pandemi yang masih belum menentu.
Retno menuturkan, hampir 200.000 orangtua murid berpartisipasi dalam survei tersebut. Kebanyakan menolak untuk menyekolahkan anaknya bila pandemi belum berakhir. Dan mayoritas orang tua menolak sekolah dibuka pada tahun ajaran baru ini.
"Kalau jadi Juli dibuka, mereka keberatan. Mereka memberikan beberapa usul di antaranya September atau Desember. Nah ini sesuatu yang luar biasa," kata Retno kepada ngopibareng.id, Senin 1 Juni 2020.
Kebalikan dengan hasil survei dari responden anak-anak yang menginginkan untuk bisa segera kembali ke sekolah.
Mereka jenuh menjalani belajar dari rumah dan ingin segera bertemu kembali dengan kawan-kawan di sekolah.
Retno tak kuasa menahan tawa karena hasil survei ini cukup mengejutkan. Pasalnya, berkebalikan dengan keinginan orang tua, para siswa yang mengikuti survei tersebut malah ingin segera sekolah kembali.
"Tapi murid, kami kan juga nanya sama murid. Ada 9.800 murid yang mengisi, dan uniknya kebalikan dari orang tua. Mereka setuju 80 persen masuk sekolah gitu ya," kata Retno sambil tertawa.
Retno juga mengatakan, KPAI juga mengambil sampel dari responden para guru. "Nah, guru juga kami tanya, guru itu 60 persen setuju sekolah, tetapi 40 persen tidak," ujarnya.
Menurut Retno, banyaknya siswa yang menginginkan sekolah tersebut disinyalir lantaran mereka jenuh di rumah.
Ia menyebutkan bahwa hasil angket tersebut merupakan hal yang menarik karena menunjukkan bahwa kegiatan belajar di rumah tersebut ternyata tidak selalu menyenangkan untuk siswa.
"Itu fakta yang menarik menurut saya," kata Retno sambil tertawa.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim
menolak adanya keinginan banyak pihak mendorong pembelajaran tatap muka meskipun dengan protokol kesehatan yang ketat, termasuk memperpendek waktu belajar menjadi hanya 4 jam tanpa istirahat.
IGI berpendapat, sekolah yang saat ini digawangi oleh sekitar 60 persen guru non PNS dengan mayoritas pendapatan hanya Rp250 ribu perbulan tak akan sanggup menjalankan protokol kesehatan secara ketat bagi anak mulai dari masuk pagar sekolah hingga menanggalkan pagar sekolah. Ini belum termasuk protokol kesehatan pengantar sekolah.
"Memang akan ada sekolah, terutama sekolah swasta bonafid atau mantan sekolah unggulan yang mampu menjalankannya dengan baik, tapi itu tak layak menjadi alasan untuk menerapkan pembelajaran tatap muka secara keseluruhan," katanya.
Advertisement