Kegentingan Demokrasi Kita
Tahun politik 2019, Indonesia sudah mengidap gejala yang menunjukkan kegentingan demokrasi. Ruang publik dicemari arus disinformasi yang mengerikan. Rakyat sulit membedakan antara fakta yang layak dipercaya atau tidak. Semua tampak sumir dan meragukan.
Di awal 2018, dua ilmuwan politik dari Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menulis buku “How Democracy Dies” dengan membukanya “apakah demokrasi kita berada dalam marabahaya?”.
Buku ini hadir untuk mencermati dampak kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton dalam Pilpres AS tahun 2016 yang menyebabkan keterbelahan anak bangsa. Fenomena yang dipakai sebagai titik berangkat adalah fakta bahwa elit-elit Amerika kini melihat rival politiknya sebagai musuh.
Pada tahun politik 2019, Indonesia sudah mengidap gejala yang menunjukkan kegentingan demokrasi yang baru saja dibangun dengan susah payah dalam 20 tahun terakhir.
Ruang publik dicemari arus disinformasi yang mengerikan. Rakyat sulit membedakan antara fakta yang layak dipercaya atau tidak. Semua tampak sumir dan meragukan.
Elit politik gagap mengelola konflik dan cenderung larut dalam adu omong kosong yang tidak mencerahkan, apalagi mempersatukan. Tingkat kepercayaan terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga publik juga cenderung menurun.
Dari data yang dilansir oleh Bertellsmann Transformation Index (BTI), tahun 2018, status demokrasi Indonesia berada di poin 6.5 yang sejajar dengan Tunisia, Malawi, Kosovo dan Paraguay dan berada dalam kategori “defective” alias demokrasi yang masih penuh cacat.
Dalam rentang dua tahunan penilaian, tercatat penurunan yang mencemaskan. Tahun 2012 (6.85), 2014 (7.05), 2016 (6.9) dan 2018 (6.5).
Variabel status demokrasi yang mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2014 dan 2016 adalah stateness dan stabilitas lembaga-lembaga demokrasi.
Ini berarti, monopoli penggunaan kekuasaan negara masih tinggi, identitas bernegara yang mulai luntur, intervensi dogma keagamaan dalam kehidupan publik yang kelewat kuat dan administrasi dasar yang lemah.
Ditambah performa dan komitmen dari lembaga-lembaga demokrasi untuk menjalankan perannya, juga semakin menurun.
Kotornya Ruang Publik
Sejak lama, demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat dianggap sebagai ilusi karena sebenarnya yang berkuasa adalah para elit.
Sebaliknya, sebagian lagi menganggap, dengan adanya warganegara yang kompeten dan ruang publik yang terbuka dimana semua gagasan bisa diadu dan diuji, mereka bisa menjadi pengawas sekaligus pengendali kerakusan elit yang berkuasa.
Kedua perspektif tersebut mempunyai derajat kebenaran yang bervariatif, akan tetapi, ruang publik yang kotor menjadikan kooptasi elit memberikan kontribusi terhadap melemahnya kekuatan masyarakat sipil dalam skala yang luas.
Kotornya ruang publik banyak disumbang oleh produksi informasi palsu (hoax), manipulasi fakta, dan framing media yang partisan membabi buta.
Dari data Kemenkominfo sampai awal tahun 2017 saja, terdapat 800.000 situs penyebar hoax. Lalu, BIN mencatat lebih dari 60 persen informasi yang berbeda di media sosial adalah informasi hoax.
Padahal, media sosial sebagai alternatif suplai dan pertukaran informasi sebenarnya mempunyai fungsi efektif sebagai pembanding terhadap media massa arus utama.
Ditilik dari tingkat literasi, Unesco mencatat bahwa Indonesia telah mencapai 95.38 persen. Sekalipun masih mengecewakan, namun sejatinya bisa menjadi modal utama untuk memasukkan berbagai program pendidikan politik yang lebih baik.
Partisipasi politik yang tinggi tanpa keterdidikan masyarakat dalam hal politik yang memadai, akan berbahaya bagi demokrasi. Literasi yang hanya terpaku pada pengertian melek huruf dengan meniadakan fungsi berpikir kritis, merangsang logika untuk melahirkan argumentasi yang kuat, akan sulit untuk menghasilkan pemilih yang baik dan bisa membedakan antara berita yang faktual dan hoax.
Mereka juga akan sulit untuk membuat keputusan politik dan memilih dengan alasan-alasan yang bisa diverifikasi.
Ruang publik memang bukan hanya didominasi media massa dan media sosial, melainkan juga jejaring komunikasi resiprokal antar individu yang memungkinkan khalayak ramai bisa mengakses segenap gagasan, diskusi dan kritik secara langsung.
Dalam dunia riil, forum-forum kewargaan, kafe, pertemuan keagamaan atau tempat lainnya dimana segenap gagasan bisa ditransmisikan dan mendapatkan respon juga termasuk ruang publik. Inilah yang bisa diharapkan bisa menjadi filter yang menjaga kebenaran faktual ditengah kotornya ruang publik dunia maya, media sosial dan media massa partisan.
Membersihkan kotoran ruang publik tidak bisa dibebankan begitu saja kepada pemerintah dengan memblokir berbagai situs. Atau pada tindakan hukum dari aparat yang semakin kalang kabut dengan banyaknya aduan terhadap penyebar informasi hoax. Jika penyebab kotornya ruang publik adalah tidak berfungsinya dua macam saringan yakni pertama, kualitas keterdidikan politik warga, maka bisa diatasi dengan menjaga kualitas lembaga-lembaga pendidikan dan mutu guru-gurunya.
Jika persoalannya pada saringan kedua, yakni para elite politik dan pembuat opini, maka segenap lembaga seperti partai politik dan media massa, bisa lebih selektif dalam meminta orang untuk bicara dalam isu-isu publik.
Merawat Optimisme
Label demokrasi Indonesia sebagai negara demokrasi yang cacat membawa kita pada kekhawatiran berbaliknya pendulum ke kutub rezim politik yang otoriter atau diktatorial. Atau minimal terjerembab ke dalam rezim anokrasi dimana kekuasaan tidak lagi terkonsentrasi pada lembaga-lembaga publik, melainkan menyebar ditangan para elit penguasa.
Rezim anokrasi bisa saja membawa pencapaian ekonomi yang tinggi dengan pemerataan kesejahteraan dengan distribusi sumber daya publik yang merata karena terkontrol oleh pemerintah. Namun, hal itu sangat tergantung pada komitmen politik pemimpin dan perangkat politiknya.
Saat ini, ruang kompetisi dalam pentas elektoral memberikan kesempatan kepada elit untuk mempertaruhkan semua hal dalam memenangkan suara pemilih. Pilpres dan Pileg serentak pada tahun 2019 menjadi penting untuk di waspadai karena berpotensi mengubah kegentingan demokrasi kita ke arah situasi yang kacau.
Lalu mengundang intervensi kekuatan anti-demokrasi untuk menertibkan keadaan. Ini yang harus dilawan dengan optimisme bahwa demokrasi kita bisa diselamatkan.
Demokrasi membuka peluang yang seluas-luasnya terhadap siapapun dari berbagai kekuatan politik untuk bertanding dan memenangkan pemilihan secara jujur.
Namun yang harus dicatat baik-baik, pemilu bukanlah perangkat satu-satunya dalam demokrasi. Pemilu merupakan bagian dari pelembagaan nilai-nilai demokrasi, selain penghormatan terhadap konstitusi, pemerintahan yang akuntabel, masyarakat sipil yang kuat, ruang publik yang bebas dan penegakan hukum serta penghormatan atas HAM.
Merawat optimisme membutuhkan komitmen yang serius, terutama dari elit politik. Jangan hanya mempertontonkan kemesraan semu dalam ajang seremonial namun perilaku dan manuver-manuver politiknya tetap bertabur kebohongan.
Di luar lampu sorot media, mereka tetap memobilisasi dukungan dengan menghalalkan segala cara tanpa peduli pada daya rusaknya terhadap bangunan demokrasi kita yang masih rentan ini.
Rezim pemerintahan petahana, harus menjawab kemunduran status demokrasi kita secara jujur dan melakukan perbaikan-perbaikan. Sementara, oposisi juga harus memberikan kritik secara dewasa dengan akurasi data yang harus dipertanggungjawabkan.
Jangan terbawa larut oleh pertarungan politik yang mengorbankan banyak usaha-usaha kecil dari anak-anak bangsa diluar sana yang senantiasa bekerja keras untuk tetap hidup dalam kewarasan dan bercucuran keringat dengan memberikan kontribusi pada bidangnya masing-masing agar segenap lembaga-lembaga demokratis bisa semakin membaik.
(* M. Faishal Aminuddin, Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya.
Advertisement