Kegenitan Akademisi Salon
"Jutaan insentif siap diberikan bagi mereka yang sukses memahatkan nama di jurnal-jurnal “ilmiah” yang terindeks."
Taruhan bagi akademisi dikampus hari-hari ini adalah menghasilkan publikasi “internasional”. Semua sumber daya dimobilisasi. Berbagai aturan diberlakukan agar setiap dosen berlomba-lomba berternak artikel sebanyak-banyaknya. Jutaan insentif siap diberikan bagi mereka yang sukses memahatkan nama di jurnal-jurnal “ilmiah” yang terindeks.
Secara birokratis, semua itu dilakukan untuk menjawab ketertinggalan Indonesia dari sisi publikasi dibandingkan negara-negara lain. Sebutlah sampai akhir 2018, jumlah artikel dari Indonesia di Scopus sebanyak 24.883, jauh diatas Singapura dengan 19.767 dan Thailand dengan 15.018. Mengejar kuantitas besaran dokumen karya ilmiah lebih diprioritaskan daripada membangun tradisi akademik yang baik. Muncul pertanyaan, berkarya untuk siapa?
Pada bulan juni 2017 silam, sebanyak lebih dari 60 lembaga riset dan pendidikan tinggi Jerman menolak bekerjasama dengan salah satu penerbit jurnal raksasa dari Belanda. Sebagian besar riset di Jerman memang dibiayai dengan dana publik sehingga sedapat mungkin harus ada mekanisme yang adil sehingga lembaga pendidikan dan riset bisa lebih terjangkau dalam mengakses publikasi yang dihasilkan dari para ilmuwannya. Bukan malah membayar ke penerbit lalu untuk mengakses kembali juga harus membayar biaya langganan.
Jika karya ilmiah dijadikan bagian dari industri, bisa dengan mudah ditebak arah dari kapitalisasi produksi karya hanyalah untuk kepentingan prestis yang sebenarnya semu. Dalam banyak kasus, seorang dosen bisa menemukan “tips and tricks” untuk mengatasi kebutuhan menghasilkan karya ilmiah di jurnal terindeks. Misalnya menggelar konferensi berbiaya tinggi untuk menghasilkan ratusan prosiding yang akan dikirim ke penerbit jurnal terindeks yang sudah mendesain menu khusus.
Dalam skala yang luas, motif kuantitas dan prestis ini akan semakin menguntungkan industri karya ilmiah yang tidak mempunyai ideologi keilmuan selain hanya keuntungan. Agar terlihat banyak dikutip, semua mahasiswa diminta untuk mengunggah makalah atau tugas-tugas perkuliahan kedalam portal terbuka dengan keharusan mengutip paper dosennya. Entah memang perlu untuk dirujuk atau dipaksa-paksakan, yang penting jumlah sitasi paper sang dosen akan membiak. Inilah yang makin membuat akademisi salon kita makin genit.
Pemerintah dan lembaga-lembaga akademiknya akan masuk dalam pusaran besar industri karya ilmiah. Mereka mendirikan jurnal-jurnal baru ibarat jaring trawl, sehingga tidak heran, semakin hari semaki banyak karya ilmiah bermutu rendah yang mereka tayangkan dalam jurnal berbayar mahal. Bukan hanya jurnal melainkan juga menampung berbagai prosiding hasil konferensi yang ditulis dengan Bahasa Inggris amburadul. Prinsipnya, anda bayar, kami tayangkan.
Bicara tentang esensi tanggungjawab akademia adalah mereproduksi ilmu pengetahuan, menyibak berbagai misteri kehidupan agar bisa dijelaskan. Lalu temuan-temuannya bisa dimanfaatkan untuk kemajuan peradaban. Menjaga tanggungjawab tersebut membutuhkan iklim kolegialitas yang baik, keseriusan meneliti dan kecakapan dalam menganalisis. Jangan lupa, segenap proses akademik haruslah berlandasakan kejujuran, tanggungjawab serta hasrat untuk menghasilkan hal yang berguna.
Kebijakan bagi para profesor harus menulis di jurnal internasional terindeks, juga sumir. Tidak semua profesor kita mampu menulis dalam Bahasa Inggris. Padahal keahlian dia tidak perlu diukur dengan jumlah publikasinya dalam jurnal berbahasa Inggris. Bisa saja mereka menulis buku bagus atau jurnal berbahasa Indonesia yang memang layak. Rusia, Jerman dan Jepang adalah contoh ideal dimana gagasan atau temuan-temuan penting yang dihasilkan oleh para ilmuwannya tidak harus dipublikasikan dalam Bahasa Inggris. Yang penting hasilnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dan industri mereka. Jika ada orang luar yang tertarik, mereka harus menerjemahkan kedalam Bahasa Inggris atau belajar dengan Bahasa dan dinegara mereka.
Dari berbagai karya-karya besar dunia, yang dipertaruhkan adalah orisinalitas, novelty dan kemutakhiran. Karya-karya tersebut, memperhatikan kualitas sehingga mempunyai daya rubah yang besar. Dirujuk sebagai karya penting. Tak mengherankan, seorang Ph.D yang baru lulus harus rela menghabiskan 3-4 tahun meneliti hanya untuk menghasilkan 1 karya ilmiah yang ditujukan untuk bisa dimuat di jurnal-jurnal bereputasi. Baru dia mengawali karirnya sebagai ilmuwan.
Dunia akademik juga terkait dengan jejaring para sarjana. Industri karya ilmiah memberikan ruang shortcut bagi akademia salon yang ingin karyanya muncul tanpa dikenal dengan baik oleh komunitas didalam bidang ilmunya. Ini jelas menghasilkan karya-karya mubazir berbiaya tinggi. Hampir tidak ada yang mengutip karena memang banyak kesalahan didalamnya atau tidak menawarkan apapun pada lingkaran epistemik sebuah bidang ilmu.
Mengutip Karl Marx (1872), “dalam sains, tidak ada jalan raya”. Proses yang baik akan menghasilkan sesuatu produk yang kontributif. Butuh komitmen dan kerja keras untuk mengakhiri cara-cara instan yang pada gilirannya akan menjadi bom waktu keruntuhan bangunan masyarakat intelektual kita. Mengabaikan tradisi akademik yang meneliti berdasarkan pertanyaan kunci, mengeksplanasi berdasarkan kematangan metode dan berdedikasi dengan penuh kesabaran untuk menghasilkan temuan-temuan yang mengubah peradaban.
Publikasi yang bermutu, membutuhkan riset yang didesain dengan baik dan berbiayai memadai. Pondasi yang harus diperkuat adalah kemampuan akademisi untuk melakukan riset. Investasi yang sudah banyak dikeluarkan pemerintah untuk memberikan beasiswa dengan menghasilkan ribuan doktor selama ini sebenarnya sudah menjadi modalitas penting. Tinggal selanjutnya, bagaimana memberikan iklim yang kondusif bagi mereka untuk bekerja secara professional.
Dengan fasilitas dana riset yang memadai tanpa memperhatikan beban kerja dosen misalnya, hampir dipastikan mereka akan kekurangan waktu untuk membaca dengan seksama. Akibatnya, kualitas desain riset yang mereka buat juga tidak optimal. Setelah itu, ruang diskusi dan kolaborasi dengan mitra mereka juga membutuhkan waktu yang cukup sehingga jaminan riset tersebut benar-benar membawa kabaruan bisa lebih dijamin.
Secara umum, saya menawarkan 3 strategi perbaikan yang bisa menjadi masukan bagi pengambil kebijakan. Pertama, menumbuhkan semangat untuk bekerja sebagai akademia. Diantaranya adalah menata ulang beban kerja dosen dikampus. Proses riset tidak perlu dibebani dengan urusan-urusan teknis administratif yang pada gilirannya menyita waktu dan energi yang justru lebih banyak dibandingkan yang seharusnya digunakan untuk meneliti, berdiskusi dan menulis.
Kedua, memfasilitasi inisiatif untuk berkolaborasi antar akademia. Saat ini, sudah ada skim riset antar universitas yang didukung oleh Kemristekdikti. Hanya saja yang diperlukan adalah memastikan adanya kluster-kluster riset unggulan yang hasilnya bisa dilihat dengan jelas. Bukan hanya sebatas artikel yang muncul didalam jurnal, namun secara konkret bisa memberikan kepercayaan pada mereka yang sukses dalam riset-riset unggulan tersebut agar bisa mendapatkan ruang untuk mengimplementasikannya, terutama riset yang terkait dengan pengembangan Iptek dan industri strategis.
"Dalam sains, tidak ada jalan raya”. Proses yang baik akan menghasilkan sesuatu produk yang kontributif"
Ketiga, mendukung dan memperkuat jurnal-jurnal ilmiah nasional. Sampai 2018, sudah terdapat 518 jurnal yang terakreditasi dengan rincian sebanyak 317 jurnal oleh Dikti dan 201 oleh LIPI. Mengelola jurnal membutuhkan ketekunan dan penjaga gawang yang penuh dedikasi. Jumlah jurnal terakreditasi memang masih kurang, dan ini menjadi pekerjaan penting untuk dilakukan dimasa yang akan datang. Terpenting, memastikan kualitas jurnal jauh lebih penting daripada menjadikannya tumbuh menjamur seperti portal berita online. Satu artikel berbahasa Indonesia yang berkualitas dari hasil proses peer review yang benar, akan lebih berguna bagi masyarakat daripada 100 artikel berbahasa Inggris yang dihasilkan dari proses yang serampangan. (M. Faishal Aminuddin)
(* Penulis adalah Dosen Ilmu Politik FISIP UB