Kegelisahan Umar bin Khattab, Melihat Esensi Bukan Orang
Imam al-Syathibi dalam bukunya yang sangat terkenal “Al-Muwafaqat fi Ushul al-syari’ah” menulis “ :
خلا عمر ذات يوم فجعل يحدث نفسه : كيف تختلف هذه الامة ونبيها واحد وقبلتها واحدة؟ فقال ابن عباس: " يا امير المؤمنين, إنا أنزل علينا القرآن فقرأناه وعلمنا ما فيم نزل, وانه سيكون بعدنا أقوام يقرؤون القرآن ولا يدرون فيم نزل فيكون لهم فيه رأى, فإذا كان لهم فيه رأى إختلفوا, فإذا اختلفوا إقتتلوا. قال فزجره عمر وانتهره, فانصرف ابن عباس,ونظر عمر فيما قال, فعرفه فأرسل اليه فقال : اعد علي ما قلت. فأعاده عليه فعرف عمر قوله واعجبه, وما قاله صحيح فى الاعتبار ويتبين بما هو اقرب. (الموافقات, ج 3 ص 348)
"Suatu hari, Umar merenung seorang diri di suatu tempat yang sepi. Ia bergumam sendiri : “Mengapa masyarakat muslim sering konflik, dan bertengkar, padahal Nabinya sama dan kiblatnya juga sama". Tiba-tiba Abdullah bin Abbas, lewat dan melihat Umar bin al-Khattab yang tampak gelisah itu. Ia adalah sahabat yang didoakan Nabi “semoga dia diberikan pengetahuan tentang agama dan cara memahami teks agama”. Ia lalu menghampiri dan menanyakan kepada Umar ; ”apakah gerangan yang sedang engkau pikirkan, wahai Amir al-Mukminin”. Umar lalu menyampaikan isi pikiran di atas. Ibnu Abbas mencoba berbagi pendapat : “Tuan Amirul Mukminin yang terhormat. Teks-teks suci Al-Qur’an diturunkan kepada kita dan kita membacanya. Kita mengetahui dalam hal apa dan bagaimana ia diturunkan. Kelak di kemudian hari orang-orang sesudah kita (generasi demi generasi) juga akan membaca al-Qur’an, tetapi mereka tentu tidak mengetahui dalam hal apa dan bagaimana ia diturunkan. Masing-masing orang itu lalu berpendapat menurut pikirannya sendiri-sendiri. Mereka kemudian saling menyalahkan satu atas yang lain, dan sesudah itu mereka boleh jadi akan saling membunuh (atau bermusuhan)”. Umar menghardik Ibnu Abbas: "kamu jangan bicara sembarangan!. Maka Ibnu Abbas pulang meninggalkannya sendirian. Umar tercenung dan merenungi kata-katanya, lalu memanggilnya dan memintanya mengulangi kata-katanya. Umar membenarkannya sambil mengaguminya sebagai kebenaran yang perlu dipegang dan dijadikan dasar.” (Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat, III/348).
Ya, kita sering membaca Al-Qur'an seayat demi seayat tanpa melihat ayat-ayat yang lain dan tanpa mencari informasi tentang kapan, di mana, kepada siapa ia ditujukan, mengapa dan dalam situasi apa ia diturunkan. Lalu membuat kesimpulan berdasarkan makna tekstualnya, semata. Ini akan bisa menimbulkan kontradiksi antar ayat dan kekeliruan besar.
Al-Syathibi memberi contoh. Ibnu Wahb bertanya kepada Nafi’. Bagaimana pendapat Ibnu Mas’ud tentang pikiran dan tindakan kelompok sempalan ”Haruriyah” atau biasa dikenal sebagai kelompok radikal Khawarij. Ia menjawab: ”Mereka makhluk Tuhan paling buruk (Annahum Syirar Khalq Allah). Mereka berargumen dengan teks-teks agama yang diturunkan (diarahkan) terhadap orang-orang yang mengingkari kebenaran (al-Kuffar/orang-orang kafir), tetapi menggunakannya untuk orang-orang yang percaya kepada (al-Mu’minun/orang-orang beriman)”.
Informasi di atas memberikan pengetahuan kepada kita bahwa setiap teks tidak dihadirkan ke dalam ruang sunyi-senyap-sepi, melainkan selalu ada realitas manusia dengan beragam nuansa dialeka sosial- budaya -politik dan ekonominya serta peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya dengan seluruh kompleksitasnya.
Teks-teks hadir untuk merespon realitas dan peristiwa-peristiwa tersebut. Ia tidak ada (hadir) dengan sendirinya. Ia ada (hadir), karena ada yang mengadakan/menghadirkannya, dan ada alasan mengapa ia perlu atau harus mengada.
فَاِذَا عَرَفَ السَّبَبَ تَعَيَّنَ الْمُرَادُ
“Maka, jika orang mengetahui latarbelakang sejarah teks, dia akan tahu apa maksudnya”.
الجهل بالسبب موقع فى الاشكالات
“Ketidak tahuan orang atas latarbelakang kehadiran teks akan membuatnya terperangkap dalam situasi problematic dalam memahami teks dengan benar”.
Pada akhirnya, kegagalan memahami itu semua, bisa menjadi bencana besar bagi kehidupan sosial dan kemanusiaan.
Membaca Esensi Bukan Melihat Orang
Suatu hari aku membaca buku untuk aku bedah dalam sebuah forum diskusi. Kalau tidak salah ingat buku itu ialah "Faishal al- Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah"*. Pada pengantarnya terdapat kata-kata indah ini
لا تَعْرِف الْحَقَّ بِالرِّجَالِ ، اعْرِفْ الْحَقَّ ، تَعْرِفْ أَهْلَهُ "
"Jangan kenali kebenaran berdasarkan orang (tokoh). Kenalilah kebenaran itu sendiri, niscaya kau akan kenal siapa pembawanya."
Atau : "Lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan".
Lalu aku ingat Aristo. Ia bilang :
أَفْلَاطُون صَدِيقٌ وَ الحَقُّ صَدِيقٌ وَلَكِنَّ الحَقَّ أَصْدَقُ مِنْهُ .
"Plato itu teman baik. Kebenaran juga teman baik. Tetapi kebenaran lebih dari teman baik".
Ini mungkin kontroversial.
*seorang teman membisiki. Itu ada dalam kirab Imam al-Ghazali : Ihya Ulum al Din dan "Mizan al-'Amal". Disebutkan di dalamnya itu kata-kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Terima kasih, teman.
(19.04.21/HM)