Kegaduhan soal Pancasila, Haedar: Dunia Ekstrem Indonesia
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengungkapkan, agama manapun tidak bertentangan dan memusuhi Pancasila. Para pendiri bangsa dari semua golongan telah bersepakat menjadikan Pancasila ideologi negara.
"Di dalam Pancasila terkandung jiwa dan nilai ajaran agama yang luhur. Bung Karno bahkan berkata, dengan sila Ketuhanan maka bukan hanya manusianya, tetapi Negara Indonesia itu bertuhan," tuturnya, dikutip Sabtu, 22 Februari 2020.
Ada ungkapan "Musuh terbesar Pancasila ialah agama!" Indonesia pun menjadi gaduh. Jika pernyataan kontroversial itu lahir dari fakta kelompok kecil umat yang memandang Pancasila thaghut. Kesimpulan tersebut jelas salah secara logika maupun substansi.
Jika anda melihat kucing hitam hatta jumlahnya banyak maka jangan simpulkan semua kucing berbulu hitam. Ini pelajaran mantiq paling elementer.
"Ketika kesalahan logika dasar itu dibenarkan dan diulangi, boleh jadi ada masalah lain yang lebih problematik di ranah personal dan institusional," tuturnya, dilansir muhammadiyah.or.id.
Kesalahan subtansi menjadi lebih parah. Agama manapun tidak bertentangan dan memusuhi Pancasila. Para pendiri bangsa dari semua golongan telah bersepakat menjadikan Pancasila ideologi negara. Di dalam Pancasila terkandung jiwa dan nilai ajaran agama yang luhur. Bung Karno bahkan berkata, dengan sila Ketuhanan maka bukan hanya manusianya, tetapi Negara Indonesia itu bertuhan.
Indonesia sebenarnya tak perlu gaduh, jika siapapun yang salah berjiwa kesatria. Bila kearifan itu lahir tanpa kepongahan, reaksi publik tentu positif. Klarifikasi pun tidak diperlukan jika sekadar apologia “post factum”, mencari pembenaran di kemudian hari dengan merakit argumen baru yang esensinya bermasalah. Apalagi setelah ini meluncur pernyataan serupa yang kian riuh!
Paradigma Ekstrem
Menurut Haedar Nashir, menyatakan agama musuh terbesar Pancasila sama bermasalah dengan memandang Pancasila thaghut modern. Setali mata uang dengan pemikiran jika Indonesia ingin maju tirulah Singapura yang menjauhkan agama dari negara. Berbanding lurus dengan pandangan bila negeri ini ingin keluar dari masalah harus menjadi negara khilafah.
Sejumlah kegaduhan di negeri ini terjadi tidak secara kebetulan. Di ibalik kontroversi soal agama versus Pancasila serta pandangan sejenis lainnya terdapat gunung es kesalahan paradigma dalam memposisikan agama dan kebangsaan. Di dalamnya bersemi paradigma ekstrem (ghuluw, taṭarruf) dalam memandang agama, Pancasila, keindonesiaan, dan dimensi kehidupan lainnya.
Pikiran ekstrem dalam hal apapun akan melahirkan pandangan dan tindakan yang berlebihan. Karena sudah lama dicekoki oleh pemikiran bahwa sumber radikalisme-esktremisme dalam kehidupan berbangsa ialah agama dan umat beragama, maka lahirlah pandangan dan orientasi yang serba ekstrem tentang agama dan kebangsaan. Agama seolah racun negara dan Pancasila.
Apalagi ada realitas induksi ketika sebagian kecil umat beragama mengembangkan paham ekstrem dalam menyikapi dunia dan negara. Kelompok ini dikenal beraliran takfiri dengan memandang pihak lain salah, sesat, dan kafir. Negara-bangsa atau bentuk negara lainnya dipandang sebagai thaghut. Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia produk dari sistem thaghut itu yang harus dilawan.
Pola pandang ekstrem beragama ala takfiri ini melahirkan pengikut (follower) fanatik buta. Sebaliknya melahirkan reaksi balik yang sama ekstrem. Tumbuh pula kelompok ekstrem liberal-sekular, yang tampil dalam kekenesan baru.
Dalam situasi paradoks ini negara seolah ikut andil dalam memproduksi ekstremitas melalui program deradikalisme, sehingga kian menambah rumit persilangan dunia ekstrem di Republik ini. Plus berbagai persoalan bangsa yang dibiarkan akut dan menjengkelkan.
Dunia serbaekstrem inilah yang melahirkan konflik antar pemikiran yang sama-sama keras. Agama versus Pancasila. NKRI versus Khilafah. Ekstrem kanan lawan ekstrem kiri. Radikal dilawan radikal, melahirkan radikal-ekstrem baru.
Tariq Ali menyebutnya sebagai The Clash of Fundamentalism, sementaraMichael Adas mencandranya sebagai fenomena sosiologis “the sectarian respons”.
Konflik kebangsaan ini akan terus berlangsung jika tidak ada peninjauan ulang terhadap paradigma keindonesiaan yang ekstrem dalam hegemoni nalar positivistik, kuasa monolitik, dan mono-perspektif di Republik ini.