Kedepankan “Sense of Crisis“, Hadapi Dua Hal Sulit
Di tengah mewabahnya COVID-19 ini, umumnya masyarakat merasa cemas. Bukan hanya karena ancaman wabah, tetapi sebagian bahkan menghadapi kesulitan hidup sehari hari. Dua hal inilah pula yang menjadi masalah pemerintah, Pandemi COVID-19 dan persoalan ekonomi.
Kalau direnungkan, kita bangsa Indonesia sejauh ini, kondisinya masih lebih baik dibanding berbagai bangsa lain. Sejumlah bangsa , jumlah kasus jauh lebih tinggi misalnya Amerika Serikat mencapai diatas 350 ribu jiwa dan angka kematian lebih dari 10 ribu jiwa, terbesar di dunia. Jerman, Spanyol, Italia, Perancis berkisar pada angka 100 ribu kasus. China dan Inggris antara 50 sampai 80 ribu kasus. Dua negara Muslim, Turki dan Iran masing masing 30 dan 60 ribu kasus. Kecuali China, bangsa bangsa tersebut termasuk Ras Kaukasian.
Sedangkan Indonesia masih sekitar 2500 kasus dan angka kematian 209 jiwa (hinga 6 April 2020). Jadi kondisinya masih lumayan lebih baik dibanding dengan ras kaukasian. Kita masih bisa bicara “untung“ jumlah relatif tidak besar. Kita masih mendapat kasih sayang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala (Swt) dan semestinya mensyukurinya.
Namun di tengah situasi belum redanya Covid 19, kita mesti terus berikhtiar sesuai kemampuan masing-masing untuk menjaga keluarga dan lingkungan sejalan dengan upaya pemerintah . Kita nggak mungkin di dalam rumah sepanjang hari. Tetapi juga keluar rumah untuk suatu keperluan hidup (misalnya untuk mencukupi ekonomi keluarga).
Kegiatan ekonomi dan sosial tidak boleh berhenti, mungkin agak berkurang. Kalau boleh saya menyarankan, jika beraktivitas di luar, ikutilah anjuran WHO, pakai masker dan jaga jarak 2 meter demi keamanan bersama.
Insya Allah, kita semua berharap, wabah mereda dalam bulan ini. Walllahu A’lam.
MALAM MINGGU KELABU, Catatan 5 April 2020
Dua hari lalu hati saya berbunga bunga, berharap kiprah Pak Wapres KH Ma'ruf Amin yang dinilai positif oleh berbagai pihak dapat merangsang tumbuhnya semangat kebersamaan dalam menghadapi krisis Covid 19 dan potensi krisis lainnya yang timbul akibat perang dagang. Kebersamaan dalam masa krisis seperti itu sangat diperlukan agar kita bisa keluar dari krisis secepatnya.
Semestinya dua ancaman krisis tersebut dapat menjadi faktor pemersatu agar kita bisa fokus menyelesaikan masalah besar yang sudah di depan pelupuk mata. Tetapi kenyataannya lain; yang terjadi adalah “debat publik” di antara tokoh nasional berkembang sangat tajam dan menjadi “masalah hukum” yang menimbulkan perhatian besar masyarakat.
Dalam waktu singkat terjadi perang antarbuser di medsos disertai dengan bahasa provokatif yang merangsang permusuhan. Bahkan sudah ada pernyataan dukungan tokoh nasional terhadap satu pihak dan mungkin akan disusul dengan dukungan tokoh lainnya sebagai pembelaan.
Kalau hal itu dibiarkan berlarut, dikhawatirkan akan membangkitkan kembali polarisasi di masyarakat seperti pada periode Pilpres yang lalu. Saya dapat memahami dalam situasi sulit seperti sekarang ini siapapun mudah tersinggung. Pihak yang dikritik merasa perdebatan publik itu sudah menyinggung masalah pribadi.
Sebaliknya pihak pengritik menganggap bahwa pemerintah melihat sebelah mata kritik mereka , yang pada intinya agar pemerintah fokus untuk memprioritaskan penyelesaian Covid 19 dan dampak perang dagang AS vs China dan di luar kedua masalah itu untuk sementara ditunda terlebih dahulu.
Lebih baik saya berpikir positif , kedua belah pihak mempunyai maksud yang sama yakni demi nusa dan bangsa. Kalau ada perbedaan itu diantara keduanya adalah wajar . Dengan berpegang pada asumsi bahwa perbedaan adalah rahmah, saya optimistis masalahnya akan dapat diselesaikan secepatnya. Saya yakin siapapun menyadari perlunya kita semua mengedepankan “sense of crisis”. Insya Allah.
Dr H As'ad Said Ali
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2010-2015, eks Wakil Kepala BIN.