Kedelai Melambung, Perajin Tahu dan Tempe di Probolinggo Limbung
Melambungnya harga tempe sejak akhir Desember 2020 silam membuat perajin tahu dan tempe di Probolinggo limbung. Sebagian perajin rumahan memilih berhenti berproduksi, sebagian lagi mengurangi ukuran produk.
"Sejumlah perajin tahu dan tempe rumahan di Probolinggo memilih menutup usahanya. Saya berusaha bertahan dengan risiko keuntungan semakin menipis," kata Nur Hidayat, pengusaha tahu di Kelurahan Ketapang, Kecamatan Kademangan, Kota Probolinggo, Kamis malam, 7 Januari 2021.
Dikatakan harga kedelai merangkak naik sejak akhir Desember 2020 lalu. “Awalnya, Rp6.900 kemudian merambat naik Rp7.100, lalu Rp7.200 per kilogram. Saya menduga hanya fluktuasi biasa,” kata Kang Dayat, panggilan akrab Nur Hidayat.
Ternyata memasuki Januari 2021, harga kedelai terus naik semakin tinggi. “Sekarang sudah Rp10.000 per kilogram,” ujar mantan wartawan itu.
Meski harga kedelai melambung, pria kelahiran Banyuwangi itu mengaku, tidak mau menaikkan harga jual tahu produksinya. “Satu bak tahu saya yang berisi 300 butir tetap saya jual dengan harga sama, Rp 80.000,” katanya.
Dengan bahan baku 70-100 kg kedelai, Kang Dayat mengaku, bisa menghasilkan sekitar 18 bak tahu setiap hari. "Tahu produksi saya khas Banyuwangi ukurannya 70 x 70 centimeter per bak, kalau tahu kebanyakan ukuran 40 x 40," katanya.
Yang kini dikeluhkan para perajin tahu dan tempe, kata Kang Dayat, adalah kedelai impor asal Amerika Serikat. "Kedelai lokal juga ada bahkan ada kedelai Galunggung dari Jember yang sangat gurih dan enak kalau dibikin tempe. Tetapi kedelai lokal stoknya sangat terbatas," katanya.
Melambungnya harga kedelai juga dirasakan Nur Halid, perajin tempe di Kelurahan Sumbertaman, Kecamatan Wonoasih, Kota Probolinggo. "Saya masih ingat, harga kedelai mulai naik menjelang Hari Natal, Desember 2020 lalu. Perajin tempe seperti seperti saya dan teman-teman lain kelimpungan," ujarnya.
Halid mengaku, terpaksa menerapkan siasat dengan memperkecil ukuran tempe. Dicontohkan sebungkus tempe produksi Halid dan istrinya Sri Astutik biasanya berbahan baku 2 kg kedelai. "Sejak kedelai naik, satu papan (lempeng) tempe berbahan 1,7 kilogram kedelai," ujarnya.
Sri menambahkan, ia menghabiskan 1,5-2 kuintal kedelai setiap hari untuk memproduksi tempe. "Sebagian besar tempe yang kami hasilkan dipasarkan ke Lumajang," katanya.
Tidak hanya pasangan suami-istri, Halid dan Sri yang dipusingkan naiknya harga kedelai. Puluhan perajin tempe di Sumbertaman juga mengeluh naiknya kedelai impor.
Selama ini Sumbertaman dikenal sebagai "Kampung Tempe" di Kota Probolinggo. Sebanyak 37 kepala keluarga di kelurahan tersebut merupakan perajin tempe rumahan. "Karena itu kampung kami dijuluki Kampung Tempe," kata Rebudi, tokoh masyarakat Sumbertaman.
Advertisement