Kedekatan Gus Dur dan Tionghoa, Begini Riwayatnya (1)
KH Abdurrahman Wahid, jauh sebelum menjadi Presiden ke-4 RI, telah dekat dengan banyak kalangan, khususnya etnis Tionghoa. Benarkah demikian?
Prof Sumanto Al Qurtuby, Pengajar salah satu Universitas bergengsi di Arab Saudi, menulis tentang "Gus Dur, Tionghoa, Indonesia". Menurutnya, ada alasan kuat Gus Dur soal hubungannya dengan mereka. Berikut ulasannya:
Pada hari Rabu, 10 Maret 2004, KH Abdurahman Wahid alias Gus Dur ditahbiskan sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, Semarang yang selama ini dikenal sebagai kawasan “Pecinan” (Suara Merdeka, 11 Maret 2004).
Dalam sambutannya—sambil mengenakan baju congsan, baju kebesaran Tionghoa—Gus Dur mengatakan bahwa penganugerahan itu bukan suatu masalah karena dirinya merupakan keturunan Bangsa Tionghoa dari marga Tan. Sudah beberapa kali, Gus Dur mengatakan sebagai keturunan Tionghoa. Bahkan secara eksplisit dia pernah mengatakan bahwa dirinya masih keturunan Tan Kim Han, salah seorang panglima perang yang menggulingkan Kerajaan Majapahit dan ikut mengantarkan pendirian Kerajaan Islam Maritim, Demak.
Tan Kim Han adalah tokoh Muslim Tionghoa pada abad ke-15/16 yang diutus Jin Bun alias Raden Patah, Raja Demak pertama bersama Maulana Ishak (sebagian riwayat menyebut ayah Sunan Giri) dan Sunan Ngudung (konon ayah Sunan Kudus) untuk mengadakan revolusi politik pada Majapahit.
Apakah Tan Kim Han yang disebut Gus Dur itu tokoh “fiktif” atau “historis” memang susah untuk membuktikan. Tapi uniknya, Pemerintah Beijing belum lama ini (akhir 2003 lalu) mengundang Gus Dur ke China untuk meresmikan monumen Tan Kim Han (?). Gus Dur yang semestinya hadir pada launching buku saya, Arus Cina-Islam-Jawa, di Jakarta 19 November 2003, batal datang karena menghadiri acara itu.
Peneliti Prancis, Damais, juga pernah meneliti situs-situs terutama makam di Troloyo/Trowulan (bekas ibukota Majapahit). Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa di sana terdapat beberapa makam Muslim, yang salah satunya bernama Syekh Abdul Qodir “Al-Shini” (Syekh Abdul Qodir dari “China”). Nama inilah yang diidentikasi oleh Gus Dur sebagai Tan Kim Han.
Memang tidak mudah untuk mengecek akurasi data sejarah termasuk klaim bahwa Gus Dur sebagai keturunan Muslim Tionghoa, Tan Kim Han. Karena itu muncul spekulasi apa yang disampaikan Gus Dur dalam berbagai kesempatan sebagai keturunan Tionghoa penuh dengan muatan politis, yakni untuk menarik simpati bangsa Tionghoa untuk kemudian memberikan dukungan politis (dan ekonomi tentunya) kepadanya.
Penggunaan (untuk tidak menyebut “eksploitasi”) simbol-simbol kebudayaan tertentu untuk meraup dukungan politik pragmatis sudah menjadi bagian (baca, trade mark) dari sejarah kepolitikan manusia sejak klasik.
Tetapi lepas dari ada tidaknya nuansa politis atas klaim Gus Dur sebagai “berdarah” Tionghoa, harus diakui dia adalah salah satu tokoh nasional yang berani “pasang badan” atas tindakan diskriminatif Tionghoa yang dilakukan terutama oleh rezim Orde Baru. Gus Dur memang dikenal publik sebagai tokoh yang berpandangan universal. Oleh karena itu, saat dia menjadi presiden segera mencabut Instruksi Presiden No. 14/1967 yang berisi larangan segala kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat China dilakukan di Indonesia.
Seiring dengan itu, Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden No. 6/2000 yang membolehkan bangsa Tionghoa mengekspresikan kebudayaannya termasuk kebebasan menjalankan agama di Indonesia. Pada saat Gus Dur lah, Konghucu yang merupakan agama leluhur Bangsa Tionghoa mendapat tempat yang sama bersanding dengan agama-agama lain. Pencabutan Inpres yang diskriminatif seraya penerbitan Keppres yang lebih “manusiawi” oleh masyarakat Tionghoa dianggap sebagai “angpau” yang tiada ternilai harganya. Dilihat dari perspektif ini, maka penganugerahan Gus Dur sebagai “Bapak Tionghoa” adalah hal yang wajar. (bersambung)
*) Dipetik dari sumantoalqurtuby.com
Advertisement