Kedaulatan Negara dalam Tata Dunia
oleh: Yahya Cholil Staquf
Katib Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang
Bicara kepada jurnalis itu sulit. Lebih-lebih jurnalis masa kini, dalam dunia jurnalisme yang luar biasa liberal tanpa parameter apa pun menyangkut standar-standar. Apakah narasumber atau institusi media massa atau wartawan-wartawankah penentu arah wacana publik? Tidak banyak selain Tuhan yang tahu.
Maka banyak figur publik —bahkan sekaliber Donald Trump dan pemimpin-pemimpin negara lainnya— merasa perlu membuat dan memlihara akun media sosial sebagai saluran untuk menyampaikan pikiran mereka dengan kata-kata mereka sendiri.
Jadi begini:
Belum terlalu lama sebenarnya dunia menikmati tatanan yang dibangun diatas dasar hukum dan kesepakatan internasional. Yaitu sejak sesudah Perang Dunia Kedua, ketika Persatuan Bangsa-Bangsa berhasil dibentuk dan dikukuhkan sebagai rejim internasional. Sebelum itu, segala sesuatu didasarkan semata-mata pada neraca militer. Yang kuat bisa berbuat apa saja atas yang lemah. Siapa pun boleh berbuat apa pun atas siapa pun asalkan bisa menang. Ribuan tahun dunia adalah rimba besar sebelum diupayakan menjadi kampung yang tertib, dimulai dengan terbentuknya PBB.
Saat ini tata dunia tempat kita hidup bukan saja masih teramat muda umurnya, tapi juga belum sempurna konstruksinya. Hal-hal yang telah berhasil disepakati belum cukup kuat pelembagaannya, sedangkan lobang-lobang pemicu kekacauan masih banyak yang belum tertutup.
Sejak dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), upaya-upaya lanjutan dilakukan sambil jalan. United Nations Conventions on the Law Of the Sea (UNCLOS), misalnya, baru bisa disepakati pada tahun 1982. Itu pun didalamnya masih ada sejumlah elemen yang belum tuntas, sekurang-kurangnya masih membutuhkan kesepakatan-kesepakatan terbatas lebih lanjut diantara pihak-pihak terdampak. Misalnya, mengenai hak berdaulat atas zona-zona maritim tertentu yang bisa tumpang tindih diantara negara-negara bertetangga.
Rejim perbatasan dan kedaulatan negara adalah bagian dari tata dunia yang sedang dibangun sejak PD II itu, untuk mencegah endemi perang. Selama tiga per empat abad, tatanan tersebut kelihatannya mampu berfungsi sampai batas tertentu. Idealnya, tatanan tersebut harus terus diperkuat pelembagaannya, dengan disiplin setiap anggota PBB untuk menaati norma-normanya.
Masalahnya, kerap terjadi bahwa sejumlah negara —dengan mengandalkan keunggulan militer— bertindak mengabaikan norma demi kepentingan subyektif masing-masing. Hal ini bahkan menjadi fenomena yang semakin mencolok dalam dua dekade terakhir. Invasi Amerika ke Irak; campur tangan Jerman dan Perancis di Libya; pencaplokan Crimea oleh Rusia; serangan terbuka Saudi dan UAE terhadap Al Hutsi di Yaman; klaim sepihak Israel atas dataran tinggi Golan; serangan Turki terhadap komunitas Kurdi di wilayah Syria; dan militerisasi intensif di seantero Laut China Selatan oleh RRC; semua terjadi beruntun dan makin sering. Apabila tren ini dibiarkan berketerusan, jelas ada prospek runtuhnya tatanan yang memelihara ketertiban dunia dan kembalinya peradaban rimba.
Insiden yang terjadi di Natuna baru-baru ini lebih kompleks dari yang dibayangkan oleh masyarakat umum. Di satu pihak, kita punya pegangan diktum tertentu dalam hukum internasional yang menjamin hak eksklusif kita atas wilayah tersebut. Berdasarkan itu, kita menganggap RRC melakukan pelanggaran (trespassing) atas kedaulatan Republik Indonesia. Di pihak lain, RRC menggunakan diktum lainnya untuk membenarkan tindakannya dan klaim haknya untuk berada di perairan itu, tanpa memperdulikan pandangan kita.
Dalam hal ini kita menghadapi tiadanya respek terhadap pandangan Indonesia, dalam kerangka tata krama bertetangga. Ini saja sudah merupakan suatu bentuk “agresi” tersendiri. Pada saat yang sama, memang ada yang secara hukum belum mutlak tuntas mengenai perairan Natuna. Andai sama kurang ajarnya atau sama kuatnya, Malaysia atau Vietnam mungkin saja berbuat sama seperti Cina.
Tak boleh diabaikan pula bahwa semua itu terjadi ditengah tren persaingan ekonomi, politik dan militer yang terus meningkat di kawasan (Asia Tenggara dan perairan Nusantara) ini, yang melibatkan raksasa-raksasa global, termasuk Amerika dan Eropa. Insiden di perairan pulau mungil ini berpotensi menjadi bibit ketidakstabilan regional, bahkan —bersama insiden-insiden saling seteru lain di berbagai belahan dunia— bisa menggelembung menjadi kemelut global yang berbahaya sekali.
Maka, masalah perairan Natuna ini pada hakikatnya bukan sekadar masalah bilateral antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat China. Ini adalah simtom. Di baliknya ada penyakit yang berpotensi mematikan, yaitu instabilitas dan kekacauan global. Seluruh masyarakat internasional harus diajak bicara mengenai masalah ini. Indonesia bisa memulainya dengan konsolidasi diantara negara-negara anggota ASEAN untuk membangun haluan bersama, atau langsung mengusung isu ini ke panggung PBB.
Dunia dalam persimpangan jalan sejarah. Apakah akan kembali ke jurusan rimba militer layaknya abad pertengahan, ataukah melanjutkan konsolidasi global demi mewujudkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial?
Inilah momentum bagi Indonesia untuk bangkit tegar, maju tak gentar, merengkuh peran sejarah bagi masa depan peradaban umat manusia. Yaitu idealisme yang oleh para Bapak Pendiri Bangsa telah ditulis dan diabadikan sebagai Cita-cita Proklamasi.