Kecuali yang Biasa Tampak, Memahami Kontroversi Ayat Jilbab (2)
Tampaknya sebagian pihak memang belum terbiasa berbeda pendapat dengan santun. Lebih dalam lagi, sebagian kalangan belum terbiasa untuk belajar memahami argumentasi pendapat yang berbeda. Itulah kasus kontroversial ayat Jilbab.
"Pahami saja dulu alur argumentasinya, dan kita toh tidak harus sepakat dengan kesimpulan akhirnya. Tetapi dengan berusaha memahami minimal kita berbaik sangka dan tidak akan keluar caci-maki," kata Prof Nadirsyah Hosen, Guru Besar Hukum Islam dan Dosen Senior Monash Law School, Australia.
Berikut penjelasan lengkap Prof Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-Selandia Baru, bagian terakhir:
Imam al-Qasimi dalam kitab tafsirnya, dan begitu juga Tafsir al-Bahrul Muhith juga mengutip penjelasan soal adat ini dari Tafsir al-Kassyaf. Dijelaskan pula kebutuhan seperti saat jual beli, pernikahan, atau kesaksian di mahkamah. Itu semua secara adat dan hajat akan menyulitkan jikalau semua tubuh perempuan ditutup tanpa pengecualian.
Penjelasan dari Imam al-Qaffal dan ketiga kitab tafsir lainnya ini menarik sekali karena mengaitkan pemahaman ayat dengan tradisi dan juga kebutuhan. Nah, soal adat dan hajat ini bisakah kemudian menjadi celah untuk memahami ayat di atas dalam konteks relasi, profesi maupun interaksi di jaman modern ini?
Bagi yang mengatakan tidak bisa, maka diskusi selesai. Artinya, hanya wajah dan kedua pergelangan tangan yang boleh dikecualikan untuk tidak ditutup, sesuai pendapat jumhur ulama.
Tafsir al-Munir oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili memberi informasi menarik
وبناء عليه قال الحنفية والمالكية، والشافعي في قول له: إن الوجه والكفين ليسا بعورة، فيكون المراد بقوله: ما ظَهَرَ مِنْها ما جرت العادة بظهوره.
وروي عن أبي حنيفة رضي الله عنه: أن القدمين ليستا من العورة أيضا لأن الحرج في سترهما أشد منه في ستر الكفين، لا سيما أهل الريف. وعن أبي يوسف: أن الذراعين ليستا بعورة، لما في سترهما من الحرج.
Ketiga mazhab (Hanafi, Maliki dan Imam Syafi’i dalam satu qaul) mengatakan wajah dan telapak tangan bukan termasuk aurat (artinya boleh dibuka sesuai dengan frase illa ma zhahara minha. Yang dimaksud dengan apa yang biasa tampak itu adalah apa yang sudah biasa secara tradisi (adat) untuk kelihatan. Itu sebabnya diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah bahwa telapak kaki itu juga bukan termasuk aurat.
Lho kenapa? Itu karena kesulitan yang timbul dari menutup kedua telapak kaki itu lebih berat ketimbang menutup kedua telapak tangan, khususnya untuk mereka yang di pedesaan. Imam Abu Hanifah tinggal di Kufah, dimana perempuan biasa bekerja. Ini berbeda dengan situasi di kota lain saat itu. Maka adat dan hajat bergeser dan berbeda dari satu kota ke kota lainnya.
Bahkan Imam Abu Yusuf, seorang murid senior Imam Abu Hanifah dan Ketua Mahkamah Agung di masa Khalifah Harun ar-Rasyid, berpendapat lebih jauh lagi, yaitu lengan perempuan pun bukan termasuk aurat karena menutupinya akan menimbulkan kesulitan (haraj). Tambahan, dalam kitab Syarh Fathul Qadir, disebutkan juga bahwa Imam Abu Yusuf mentolerir untuk membuka separuh dari betis.
Jadi kalau anda melihat perempuan pakai jilbab tapi tangannya kelihatan atau separuh betisnya juga kelihatan, jangan buru-buru dimarahin yaaah. Boleh jadi mereka pakai pendapat Imam Abu Yusuf.
Kita telah melihat bagaimana para ulama mencoba memahami ayat di atas dengan pendekatan adat dan hajat. Bisakah pendekatan ini juga dipakai untik konteks Indonesia, Australia, atau negara lain yang berbeda dengan konteks saat ayat ini turun, sehingga yang dikecualikan untuk terbuka bukan hanya lengan, separuh betis dan tapak kaki, tapi juga rambut, leher dan telinga?
Sekali lagi, kalau anda bilang tidak bisa, maka diskusi sudah selesai sampai di sini. Tapi kalau anda masih hendak meneruskan diskusinya, maka apa yang disampaikan para ulama di atas, dan juga apa yang sudah disampaikan oleh Ibu Sinta Nuriyah baru-baru ini bisa menjadi bahan untuk diskusi lebih lanjut. Menarik bukan kalau kita bisa diskusi tanpa emosi?
Wa Allahu a’lam bish-Shawab
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Advertisement