Kecerdasan Kambing Bangun Koalisi
Oleh: Fathorrahman Fadli
TULISAN ini menyambung percakapan saya dengan Cak Madra'i saat silaturahim usai sholat Idul Adha versi pemerintah 29 Juni 2023. Versi Muhammadiyah yaitu Rabu 28 Juni 2023 kemarin lusa.
Sore itu, Cak Madra'i kembali ngajak ngobrol saya di emperan rumah. Assalamualaikum Cak, aku balik lagi kesini karena penasaran sama sampeyan Cak Ong.
Lho kenapa, tanya saya pura-pura lupa. Kemarin sampeyan janji mau menjelaskan soal kambing yang punya akal itu lho, sergap Cak Mad sambil menggeser pantatnya di kursi jati tua emperan rumah. Pantat Cak Mad itu memang bahenol, sedang tubuhnya sangat kekar. Jika tidak kenal, dia agak sedikit cuek. Namun jika terlibat percakapan yang serius, Cak Mad sangat intelek sekaligus jenaka.
Gimana...gimana Cak. Sampeyan ini kok suka sekali merokok Cak, tanya Cak Mad membuka percakapan kembali. Begini Cak Mad, bagi saya, merokok itu menjadi teman saya saat berfikir. Sedangkan buku-buku itu adalah teman saya saat saya menjalani hidup sehari-hari. Maklumlah, kalau saya tidak membaca setiap hari, Cak, lama-lama saya kan jadi goblok Cak. Apalagi saya ini kan gurunya mahasiswa. "Coba kalau gurunya mahasiswa itu malas baca, wawasan apa yang mau diberikan pada mahasiswanya Cak?
Dulu, waktu saya menjadi mahasiswa, masih ada saja dosen yang membaca diktat, terus mahasiswanya disuruh mencatat. Nah, saya tidak mau jadi guru yang seperti itu Cak Mad. Membosankan, tahu?
Cak Mad mulai lupa dengan pertanyaan awalnya soal kambing berakal. Saya sengaja menghindar sekaligus menguji kegigihan Cak Mad untuk mencari tahu apa penjelasan saya soal pertanyaan yang berat itu. Saya sengaja terdiam.
Tiba-tiba Cak Madra'i yang kesibukan sehari-harinya seorang nelayan itu menyerang saya dengan pertanyaan kemarin.
Ok Cak, kita kembali ke laptop, pinta Cak Mad. Saya sudah tahu arah yang dia mau, namun saya pura-pura saja. Artinya apa kembali ke laptop itu Cak Mad, pintaku.
Itu lho, aku niru si Tukul Arwana. Dia kan suka sekali pakai istilah kembali ke laptop, sambung Cak Mad. Maksudnya, saya ini pengin tahu pandanganmu Cak, terkait kambing punya akal itu. Semalam aku tidur gelisah Cak. Bagaimana mungkin kambing bisa punya akal? Kalau punya akal, pasti kambing-kambing itu tentu merepotkan manusia. Mungkin juga, dia akan menggantikan posisi manusia yang belakangan ini makin mengambil posisi sebagai iblis dan setan, Cak.
Waduh....saya makin bingung dengan celotehan Cak Mad. Dia sangat filosofis. Sambil mendengarkan Cak Mad, saya berusaha mencari jawaban. "Kambing Punya Akal, tentu bikin dunia ini akan terbalik," gumam saya dalam hati.
Okay Cak Mad. Dengerin dulu penjelasanku ya. "Baik Cak, aku sami'na wa ato'na," serunya sambil nyeruput kopi kental manis itu.
Dalam menjawab pertanyaan sampeyan itu, saya akan menggunakan ilmu dari Kiai Hasyim Muzadi soal Masuliyatul Ilmi (pertanggungjawaban ilmu).
Sebagai seorang santri, Cak Mad pasti mengenal Kiai Hasyim Muzadi kan. "Iya Cak, aku tahu. Bahkan aku pernah salaman dan cium tangan beliau waktu ke pondokku,"jawabnya datar.
Kalau begitu saya bersyukur karena Cak Mad akan lebih mudah menerima penjelasanku nanti. Sebab dalam tradisi sufi, santri yang sempat mencium tangan gurunya itu mudah mendapat barokah ilmunya.
Baik Cak Mad, aku lanjutkan. Di zaman dimana orang lebih suka memburu uang dan kekuasaan serta kenikmatan duniawi seperti sekarang ini, kata Kiai Hasyim, orang sering lupa mencari dan memperdalam ilmu. Mengapa? Karena ilmu itu tidak bisa dipegang. Tidak nampak. Dan tidak bisa dipamerkan pada orang-orang. Sehingga orang yang punya ilmu itu biasanya tidak bisa sombong atau menyombongkan diri sebagaimana orang punya uang dan kekuasaan. Kekuasaan itu, semakin tidak berguna bagi masyarakat, maka semakin angkuhlah dia. Semakin serem dia, dan semakin merasakan dialah yang paling benar. Begitu kira-kira Cak Mad.
PADA yang demikian itu, maka orang tersebut kehilangan tanggungjawab atas ilmu yang dia miliki. Oleh karena itu, menurut Kiai Hasyim Muzadi yang pernah diberi amanah menjadi Ketua Umum PBNU dua periode itu, orang yang kehilangan tanggungjawab atas ilmu itu, kehilangan juga tanggungjawabnya pada masyarakat.
Makanya, kita sering melihat ada sarjana hukum, tapi dia menjadi tersangka. Ada sarjana ekonomi, namun dia hidup dalam kemiskinan, bahkan tak jarang mereka terjerumus sebagai peminta-minta.
Kita juga melihat ada sarjana politik, namun saat dia masuk partai, selalu kena tipu-tipu. Ada juga yang sarjana agama dari IAIN atau UIN, namun jarang sholat dan suka makan dari praktik yang haram-haram.
Waduh Cak, mendengarkan sampeyan itu aku jadi tambah wawasan Cak. Mator sakalangkong ya Cak.
Tapi Cak, dari tadi saya belum mendapat jawaban soal Kambing punya akal itu. Yang itu gimana penjelasannya.
Iya Cak, sebenarnya dari penjelasan tadi itu, sampeyan itu sudah dapat dua pertiga jawaban kenapa Kambing itu punya akal.
Ini menurut saya lho Cak Mad, bisa benar bisa salah lo ya. Mungkin...lagi lagi ini kemungkinan ya. Sebab saya belum menjadi temannya Allah lo ya. Saya hanya menduga-duga...Tuhan itu mungkin mulai bosan terhadap tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Sebab petinggi-petinggi kita di negeri ini banyak memiliki bisnis tambang yang kerjanya merusak alam. Mungkin juga alam marah sama Pak Jokowi yang ngotot habis-habisan membangun Ibukota Nusantara (IKN) itu. Itu kira-kira lo Cak Mad.
Aku masih ingat dulu Cak Mad, pelajaran geografi waktu aku di bangku SD. Dahulu, Kalimantan yang kini mau dijadikan IKN itu namanya Pulau Borneo. Borneo itu dulu menjadi paru-paru dunia, tempat penghasil oksigen terbesar dikawasan Asia Tenggara (South East Asia) mungkin juga dunia Cak Mad. Sebab di Borneo itu banyak sekali hutan-hutan sangat lebat yang pohon-pohonnya, berusia ratusan bahkan ribuan tahun. Cak Mad bisa bayangkan, berapa ratus juta oksigen ton oksigen yang dihasilkan oleh Borneo itu sebagai kawasan yang harus dilindungi untuk kepentingan hidup umat manusia Cak Mad. Sampai disini Cak Mad paham khan penjelasan saya?
"Lha kalau Borneo itu ditebang, lalu dijadikan IKN, nanti kita bernafas pakai apa Cak Mad. Pakai oksigen tabung," kata saya pada Cak Mad.
Jadi Cak, IKN itu secara ekologis merusak lingkungan hidup umat manusia dan hewan-hewan serta binatang-binatang yang ada disana. Bukankah hewan dan binatang itu makhluk Tuhan juga yang harus dijaga kelestariannya Cak?
Kalau menurut sampeyan yang belajar Islam di pesantren apa boleh manusia itu merusak alam, bahkan merusak manusia sendiri karena oksigen sebagai kebutuhan pokok hidup manusia itu lenyap dari alam bebas.
Bukankah Islam itu mengajarkan kita agar menjadi Rahmat Bagi Seluruh Alam, Cak? Bukankah Islam itu mengajarkan kita prinsip keseimbangan ekologis Cak? Bahkan dalam keadaan perang pun kita dilarang menebang pohon.
Lalu soal Kambing Punya akal itu bagaimana Cak, tanya Madra'i meluruskan pembicaraan.
"Ya mungkin saja Allah akan merevisi arah kehidupan yang salah satunya memberikan kambing- kambing itu akal," jelasku.
"Sederhana sekali Cak", sergap Madra'i.
"Bagi Allah segala yang rumit menjadi sederhana kok, Cak Mad," tambahku meyakinkan.
Saya kembali melanjutkan, sebab Cak Mad, akhir-akhir ini, seperti yang kita lihat dalam dinamika politik kita di tanah air ini, banyak manusia yang kehilangan akal sehat untuk memilih pemimpinnya. Mereka sibuk dengan kepentingan masing-masing. Seolah mereka itu telah menelantarkan akal sehatnya dan kembali menjadi iblis yang hanya berputar-putar memenuhi tuntutan syahwatnya sendiri.
Cak Mad bisa bayangkan, jika kambing-kambing itu diberi akal, maka dengan cepat mereka membangun koalisi yang sejenis. Koalisi atas dasar species mereka sendiri. Misalnya kambing Garut ya berkoalisi dengan kambing Garut. Domba Jawa ya kumpul sesama Domba Jawa. Jadi Kambing-kambing itu akan lebih cerdas ketimbang manusia-manusia yang sudah menjadi hamba iblis itu Cak. Sampai disini sampeyan paham ya Cak.
"Iya Cak mator sakalangkong pencerahannya, kapan-kapan ngopi lagi ya," pinta Cak Madra'i sambil menuju ke belakang rumah makan opor daging kurban.***