Kecemasan Massal soal Politik Identitas, Wajah Muslim Indonesia
Suatu malam, dalam pengaji rutin (majelis ta’lim) bulanan di kampung, KH Husein Muhammad berpesan, antara lain,
"Dulu, semua warga Negara, jika ditanya : siapakah anda?, dia akan menjawab dengan bangga: “Aku orang Indonesia”.
Kini, banyak di antara mereka, jika ditanya hal yang sama, akan menjawab dengan tegas dan penuh bangga : “Aku…..” (menyebut identitas agama tertentu).
Catatan Kiai Husein selanjutnya:
Realitas ini sungguh-sungguh mencemaskan bagi masa depan negeri ini. Fondasi dan Pilar Negara bangsa sedang terancam retak, dan kelak boleh jadi, na’udzu billah (semoga Allah melindungi dari) akan seperti sejumlah negara diTimur Tengah atau Afganistan. Dan kita semua tak menginginkan malapetaka itu terjadi di negeri kita. Tragedi Politik itu tak mudah diselesaikan dalam waktu singkat. Mungkin akan berpuluh tahun.
Pagi ini, dalam obrolan santai sebelum acara akad nikah dimulai, di rumah tetangga, aku ditanya antara lain soal situasi Afganistan, Yaman, Irak, Siria, dll. Aku bilang kepada beberapa kiai: tragedi politik perebutan kekuasaan dengan mengatasnanakan agama. Yaitu perustiwa “Tahkim” (Arbitrase) di Shiffin, di tebing sungai Efurat, Irak/Siria, antara kelompok-kelompok bersaudara sebangsa dan seagama yang bertikai dan berperang, sekitar 15 abad yang lalu, (657 M). Ia menyisakan dampak luka yang amat mendalam, permusuhan yang panjang, dendam yang terpendam di lubuk hati dan pikiran yang terdakam. Perang demi perang sewaktu-waktu meletus.
Maka tak ada cara lain untuk mengantisipasinya, kecuali kembali kepada komitmen kita sebagai Negara bangsa untuk setia kepada Lima Prinsip Kemanusiaan Universal. Yaitu Pancasila dan Konstitusi, dua fondasi yang menjadi titik temu yang menyatukan seluruh warga Negara ini. Tak ada yang lain.
Kita Mandek Tapi Tak Merasa
(Puisi ini pernah aku bacakan di TIM beberapa waktu lalu)
Kita masih terus mengulang-ulang, mereplikasi dan mereproduksi isu-isu lama
dan mendongeng kisah berabad lampau
Tapi kita tak merasa
Kita sering takut pada perubahan
Pada inovasi dan kreativitas
Padahal ia tak bisa dilawan
dan tak bisa dijegal dengan cara apapun
Tapi kita tak merasa
Tubuh kita ada di zaman ini
Tapi pikiran kita tak pernah mau melangkah barang setapakpun,
malahan ingin kembali ke masa lampau
yang tak pernah kita alami
dan hanya mendengar-dengar saja
Tapi kita tak merasa
Kita telah tertinggal berjuta langkah
Dari bangsa-bangsa yang kita rendahkan
dan cacimaki
Kita malahan tak punya apa-apa
Dan jadi konsumen mereka
Tapi kita tak merasa
Kita amat gemar melemparkan tanggung jawab atas penderitaan kita
kepada orang lain atau bangsa lain
Padahal penderitaan itu kita sendiri
yang menciptakannya.
Tapi kita tak merasa
Kita terus dibayangi oleh ketakutan demi ketakutan oleh diri sendiri
Maka kita cepat marah, tiap hari, tiap saat
Dan marah itu menyakiti diri sendiri
Tapi kita tak merasa
(Cirebon, 21082021/21.08.2021)
Advertisement