Kebocoran Anggaran Negara, IDR: Dapat Dikurangi dengan Sinergitas Antarkementerian
Kebocoran anggaran pembangunan nasional nyaris terjadi selama Indonesia merdeka. Pergantian rezim seringkali tidak membantu mengurangi kebocoran anggaran pembangunan tersebut. Bahkan selama reformasi bergulir, kebocoran anggaran semakin meningkat karena kementerian kerapkali menjadi sapi perah oknum partai politik.
Pendapat tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR) Fathorrahman Fadli, di Jakarta Sabtu (16 November 2024) menanggapi pertanyaan seputar fenomena kebocoran anggaran pembangunan nasional.
"Kebocoran anggaran itu selama Orde Baru juga terjadi, namun sejak reformasi kebocoran tersebut makin menggila, sehingga in-efisiensi pembangunan akibat korupsi ikut memperburuk kualitas kita sebagai bangsa," kata Fathorrahman Fadli.
Terkait kebocoran anggaran, Presiden Prabowo dapat meningkatkan sinergitas kerja antar kementerian dengan menghilangkan ego-sektoral yang selama ini menyebabkan kebocoran dan in-efisiensi pembangunan.
Ingat Pesan Sumitro Djojohadikusumo
Peneliti IDR tersebut juga mengungkapkan bahwa fenomena kebocoran anggaran tersebut justru pernah disampaikan oleh ayahanda Presiden Prabowo, yakni Sumitro Djojohadikusumo.
"Pak Sumitro justru menjadi orang pertama yang mengkritik kebocoran anggaran pembangunan selama orde baru mencapai 30 persen. Padahal pada saat yang sama Pak Sumitro adalah besanan Pak Harto. Oleh karena itu, menjadi pekerjaan rumah bagi Prabowo untuk menutup kebocoran pembangunan itu secara serius," tegas Fathorrahman Fadli.
Ia berharap, sebagai Presiden yang kini memimpin Kabinet Merah Putih, Prabowo harus secara serius melakukan penghematan anggaran negara agar rakyat menjadi lebih cepat sejahtera. "Penting kiranya agar Presiden mencegah katup-katup korupsi dalam kabinetnya," jelas penulis memoar tokoh-tokoh politik nasional itu.
Prabowo, lanjut Fathorrahman Fadli, harus melihat kembali apa yang dikritik ayahandanya sebagai wujud kepeduliannya pada besarnya potensi kerugian akibat korupsi, inefisiensi, dan penyelewengan dana dalam pelaksanaan pembangunan di era tersebut.
Kritik Sumitro ini mencerminkan kegelisahan terhadap praktik korupsi yang sistematis, terutama dalam proyek-proyek pemerintah yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Meski jumlah tersebut sering diperdebatkan, pernyataan ini menjadi simbol kesadaran terhadap perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara.
Reformasi Kebocoran Meningkat
Fathorrahman Fadli juga menyoroti tentang paradoks reformasi yang semakin menjauhkan idealisme reformasi dengan fakta objektif pembangunan. Menurutnya, Kebocoran anggaran pada era Reformasi masih menjadi masalah yang signifikan, meskipun terdapat upaya reformasi di bidang tata kelola keuangan negara.
Beberapa laporan memperkirakan tingkat kebocoran anggaran berkisar antara 20-40%, tergantung sektor dan daerah. Namun, angka ini sulit dipastikan secara mutlak karena bergantung pada studi dan laporan investigasi tertentu.
"Reformasi itu ingin berantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), namun KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sering menyebutkan bahwa kebocoran anggaran terjadi di berbagai tingkat, terutama dalam pengadaan barang dan jasa, yang sering kali melibatkan mark-up harga atau proyek fiktif, " tuturnya sedih.
Ia menjelaskan, disamping KPK, laporan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menemukan berbagai kasus penyimpangan anggaran di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah yang terus berlangsung, meski dalam skala yang lebih terdesentralisasi dibanding era Orde Baru.
"Beberapa kasus besar, seperti megaproyek e-KTP, kerugian negara mencapai triliunan rupiah, yang menjadi contoh konkret kebocoran anggaran, ini menjadi pekerjaan rumah Kabjnet Merah Putih," tegasnya.
Menurutnya, meski transparansi dan pengawasan meningkat di era Reformasi, korupsi dan kebocoran anggaran tetap menjadi tantangan besar yang membutuhkan komitmen lebih kuat dari semua pihak.