Kebijakan Pertanian Yang Humoris
Ketika seseorang melontarkan kalimat yang humoris, biasanya kita menyambutnya dengan tawa ria. Tapi ada humor jenis lain. Terjadi ketika seorang pejabat melontarkan rencana kebijakan yang disampaikannya secara serius. Hadirin bukan menyimak khusuk, malah berjamaah tertawa dalam hati.
Padahal sang pejabat begitu menggebu-gebu saat menerangkan rencana meningkatkan Ketahanan Pangan Nasional. Dijelaskannya swasembada pangan menjadi prioritas program kementriannya.
Penjelasan ini menjadi lucu, karena dari tahun ke tahun ceritanya itu-itu saja. Ditambah lagi, pada saat jeda makan bersama, hadirin sempat membaca surat kabar terbitan pagi. Di halaman muka surat kabar tersebut terpampang tulisan: “Indonesia masih impor beras, impor gula, impor kedelai, impor jagung…juga garam!" Lho koq..???
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Januari-Agustus 2015, Indonesia masih banyak impor pangan: beras 225.029 ton nilainya US$ 97,8 juta, jagung 2,3 juta ton nilai US$ 522,9 juta, kedelai 1,52 juta ton nilai US$ 719,8 juta, biji gandum dan meslin 4,5 juta ton nilai US$ 1,3 miliar dan US$ 22,3 juta, gula pasir 46.298 ton nilai US$ 19,5 juta, gula tebu (raw sugar) 1,98 juta ton nilai US$ 789 juta, garam 1,04 juta ton nilai US$ 46,6 juta. Total nilai impor 8 komoditas pangan di atas ini mencapai US$ 3,5 miliar, atau sekarang sekitar Rp 51 triliun.
Luar biasa, sampai garam pun diimpor! Keterlaluan… justru di era reformasi, pertanian koq malah bergerak mundur. Impor pangan dijadikan sokoguru Ketahanan Pangan Nasional. Bagaimana rumusannya? Sama saja seperti mengatakan: demi meningkatkan Pertahanan Nasional budget pertahanan perlu ditingkatkan untuk menyewa dan membesarkan tentara Malaysia, Singapura, dan China. Logika humoris seperti inilah yang membuat para petani kita stres dan pusing tujuh keliling.
Indonesia adalah negara agraris yang tak pernah serius membangun dan mengembangkan pertaniannya. Silih berganti menteri datang dan pergi, problem pertanian dan nasib petani tetap berjalan di tempat dan bahkan terasa berjalan mundur.
Andai saja agresivitas Pak Jokowi dalam membangun infrastruktur (transportasi darat) dapat ditularkan ke para pembantunya yang menangani sektor pertanian, hasilnya pasti akan lain. Tidak seperti yang ada sekarang. Miskin perencanaan, tak ada terobosan, nihil inovasi, miskin penelitian dan miskin kebijakan yang produktif.
Tengok Belanda, kita wajib malu. Wilayahnya relatif kecil (41.526 km persegi) bila dibandingkan Indonesia, 1.919.440 km persegi. Dan hampir seluruh wilayahnya berada di bawah permukaan laut. Namun lima tahun terakhir, Belanda mampu menjadi negara pengekspor hasil pertanian terbesar kedua setelah USA. Juga negara pengekspor bunga dan benih terbesar ketiga di dunia. Memasok seperempat sayuran ekspor ke Eropa bernilai 72,8 miliar Euro. Sehingga menjadi penyumbang 20% pendapatan nasionalnya.
Kebijakan dan teknologi berbasis riset oleh para ahli pertanian di pusat riset Universitas Wageningen, merupakan kunci sukses mereka.
Bagaimana Indonesiaku tercinta?
Tidak usah muluk-muluk lah. Upayakan saja dulu pengadaan berbagai macam benih yang diperlukan para petani kita, tanpa harus impor. Itu saja dulu! Kalau itu saja tidak mampu dan berpuluh tahun membiarkan pertanian kita dijajah benih impor, percuma kita bicara soal Ketahanan dan Kedaulatan Pangan. Terlalu jauh dan sangat humoris!!!
Atau, kita memang senang memproduksi kebijakan pertanian yang humoris dan zero produktif?!
*Erros Djarot