Kebijakan Diubah, 187 Lembaga IPWL di Indonesia Terancam Tutup
Sekitar 187 lembaga IPWL di seluruh Indonesia terancam akan gulung tikar, seiring kebijakan Kemensos terkait rehabilitasi sosial pecandu napza yang diubah.
Perubahan kebijakan itu berdampak pada hilangnya sumber daya manusia (SDM) dalam hal ini pekerja sosial konselor adiksi dan bansos Napza yang selama ini dipakai untuk biaya operasional klien rawat inap dan rawat jalan di rehabilitasi sosial.
Hilangnya SDM pekerja sosial konselor adiksi dan bansos Napza ini seiring dengan kebijakan Kementerian Sosial yang mengubah regulasi pada pelaksanaan tugas rehabilitasi sosial, salah satunya bagi korban penyalahgunaan (KP) napza.
Berdasarkan Permensos No.1/2022, pembinaan kelembagaan Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) berubah dari semula di bawah Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza, kini di bawah kewenangan Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Bencana dan Kedaruratan (KBK).
"Jadi, kita ada struktur organisasi baru dengan tujuan untuk penghematan. Misalnya, kita menangani korban penyalahgunaan napza yang jumlahnya banyak, tapi tidak sebanyak kalau kita menangani orang miskin, akhirnya kita gabung (penanganan dalam struktur organisasinya)," kata Mensos Risma dalam keterangan resmi, Sabtu, 14 Januari 2023.
Pada saat Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, merekrut ribuan pekerja sosial konselor adiksi yang akan ditempatkan di lembaga IPWL dan rehabilitas Napza. Hingga tahun 2020 menyisakan 984 pekerja sosial dan konselor adiksi.
Kemudian, lembaga IPWL juga mendapat bansos Napza yang digunakan sebagai biaya operasional pasien rawat inap dan rawat jalan sebesar Rp1,4 juta per bulan untuk setiap pasien.
Pemberian bansos itu dilakukan secara reimburse dengan dikirim langsung ke lembaga IPWL. Setiap lembaga IPWL tentu akan menerima dengan jumlah berbeda tergantung dari target yang diberikan, sehingga setiap bulan IPWL wajib melaporkan penggunaan anggaran bansos itu ke Kemensos.
Namun, ketika Mensos dijabat Risma, bansos melalui ATENSI Napza turun menjadi Rp1 juta per bulan untuk setiap klien rawat inap dan rawat jalan. Bahkan, bantuan itu langsung dikirim kepada rekening klien. Belakangan, sejak tahun 2020 bansos itu dihentikan oleh Risma. Alasannya, adanya ketidakpatuhan pengelolaan bantuan untuk IPWL.
Namun, berdasarkan penelusuran Ngopibareng.id ketidakpatuhan pengelolaan bantuan itu karena lembaga IPWL tidak mampu memantau dana bansos yang dikirim langsung kepada pasien.
"Ketika diberikan langsung kepada klien, maka pada saat pengambilan klien harus keluar dari rehabilitas. Yang terjadi ketika diizinkan keluar pasien malah kabur. Kita tidak bisa memberikan pengawasan ketika di luar rehab," kata salah satu pengurus IPWL di Surabaya.
Di samping dihentikannya bansos Napza, lembaga IPWL juga akan kehilangan pekerja sosial dan konselor adiksi. Karena sejak terjadinya perubahan kebijakan, Menteri Sosial meminta kepada lembaga IPWL untuk membebastugaskan para pekerja sosial dan konselor adiksi. Selanjutnya, para pekerja sosial konselor adiksi ditugaskan menangani anak yatim piatu.
"Praktis lembaga IPWL tidak punya apa-apa lagi. Biaya operasional pasien rehabilitasi rawat inap tidak ada, karena bansos dihentikan. Apalagi tenaga profesional konselor adiksi yang bertugas mengasesmen pasien dibebastugaskan. Ini dialami hampir seluruh IPWL di Indonesia," katanya yang tidak mau disebutkan identitasnya.
Advertisement