Keberagamaan tak Menjamin Kedalaman Spritualitas, Lho Kok?
Prof Masdar Hilmy mengungkapkan, kejadian penolakan jenazah Covid-19 harus menohok spiritualitas kita. Ternyata keberagamaan kita tidak menjamin kedalaman spiritualitas kita dalam bentuk kebaikan tanpa syarat kepada sesama makhluk Allah, tanpa kecuali.
"Hal demikian terjadi karena kita terlalu eksoterik, lahiriah-minded dalam beragama. Kita terlalu sibuk dengan ornamen-ornamen ekstrinsik dalam beragama, sehingga kita lupa pada esensi beragama dalam konteks kemanusiaan universal," tutur Rektor Universitas Islam (UIN) Sunan Ampel Surabaya.
Seperti diketahui, di Semarang terjadi penolakan pada jenazah pasien Covid-19. Sehingga, terpaksa Gubernur Jawa Tengah harus mengingatkan secara langsung pelakunya. Tiga pelakunya kini sedang diproses di pengadilan.
Dalam kaitan ini, Prof Masdar Hilmy mengingatkan, "Covid-19 Menohok Spiritualitas Kita". Berikut renungan Prof Masdar Hilmy:
Bagaimana perasaan Anda ketika mendengar atau membaca berita tentang penolakan warga terhadap penguburan jenazah perawat yang positif Covid-19 di sebuah kota? Pasti jengkel, geram, marah, dongkol, kecewa, beraduk jadi satu. Hanya sebegitukah kualitas keimanan dan keberagamaan yang dihasilkan bangsa ini selama bertahun-tahun? Saya yakin seyakin-yakinnya, orang-orang yang menolak pemakaman tersebut bukanlah para ateis yang tidak beragama atau bertuhan. Jika kita tanya satu persatu, masing-masing akan menjawab sama: “saya orang yang beragama sejak lahir”.
Bukan hanya pernyataan verbal saja, pengakuan keberagamaan mereka mungkin juga diwujudkan dalam bentuk berbagai kesalehan ritual-simbolis seperti rajin beribadah ke rumah ibadah, menghadiri acara-acara keagamaan, menggunakan atribut keagamaan tertentu, dan seterusnya. Selain saleh secara keagamaan, mereka pasti juga mengaku Pancasilais, hafal di luar kepala setiap sila yang ada di dalamnya. Pendek kata, tidak ada yang janggal dari norma-norma sosial yang berlaku di negeri +62 ini. Secara sosial para penolak adalah orang-orang yang wajar, normal belaka dalam konteks parameter keberagamaan sehari-hari.
Lantas, apa yang salah dari mereka? Bukankah dari seluruh norma sosial-keagamaan tidak ada satupun kriteria yang dilanggar? Tetapi, mengapa mereka menunjukkan abnormalitas atau paradoks kemanusiaan? Mengapa keberagamaan kita tidak serta-merta menjamin kualitas kemanusiaan kita?
Barangkali inilah persoalan mendasar yang dialami oleh para penolak jenazah Covid-19. Jika diterapkan se-antero negeri, mungkin kejadian serupa akan dialami di banyak daerah lainnya. Kebetulan sikap penolakan ini terjadi di satu-dua daerah saja, bukan berarti di daerah lain tidak terjadi hal yang sama, terutama jika terdapa kasus pemakaman Covid-19.
Kenyataan penolakan jenazah Covid-19 tentu saja tidak menghapus kenyataan banyaknya masyarakat yang bersikap sebaliknya: memberikan uluran tangan semampunya untuk meringankan beban para pejuang atau prajurit yang tengah berjihad di garda terdepan peperangan: para dokter, perawat, petugas satgas, dan sejumlah relawan lainnya.
Mereka adalah contoh sempurna dari idealitas kemanusiaan yang bersifat lintas-batas, tanpa melihat latar belakang sosial, etnisitas, bahkan agama. Mereka meresikokan nyawanya untuk keselamatan jiwa orang lain, yang mungkin sekali memiliki latarbelakang sosial keagamaan yang berbeda.