Kebebasan Memilih (Jalan Menuju) Tuhan
Oleh Dewi Purboratih
“Ma, kenapa manusia berpisah dari Tuhan?” Tiga tahun lalu, pada sebuah jam makan siang, di gerai makanan cepat saji, anak sulung saya menyantap makanan favoritnya dengan lahap, hingga kemudian berhenti mengunyah untuk menanyakan sesuatu hal yang tak terduga. Pertanyaan itu sempat membuat saya berpikir keras untuk segera menemukan jawaban paling tepat dan menyampaikannya dengan cara yang mudah dimengerti olehnya, yang saat itu masih berusia tujuh tahun.
“Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?” Saya berusaha mengulur waktu untuk berpikir lebih panjang. Serius, saya kaget dan sempat merasa sulit menelan makanan yang sudah saya kunyah.
“Hem, tadi guruku bercerita tentang Tuhan, manusia dan agama. Aku mau tahu dari Mama tentang semua itu.” katanya.
Baiklah, saya sedikit lega. Pernyataan yang disampaikannya adalah sebuah petunjuk. Saya memiliki gambaran data seperti apa yang sudah masuk dalam pemikiran anak saya di sekolah. “Manusia berpisah dari Tuhan karena dosa. Setidaknya demikianlah yang diajarkan oleh agama Abrahamik atau Ibrahimiah yang berkembang di Indonesia yaitu, Islam, Kristen dan Katholik. Setidaknya itu yang mama tahu, Nak.”
“Lalu sebenarnya agama itu apa? Kenapa guruku dan Mama menyebut kata agama saat membicarakan manusia dan Tuhan?”
“Agama, menurut mama adalah jalan manusia untuk kembali menuju Tuhan.”
“Jadi jika agama adalah jalan, bolehkah aku menentukan jalanku sendiri, Ma?”
Pertanyaan itu membuat saya nyaris tersedak. Wajahnya mendekat dengan mata yang serius memandangi saya, menunggu jawaban.
“Tentu, silakan, nanti jika sudah tiba waktumu menentukan, beri tahu Papa dan Mama. Kita akan mendiskusikannya bersama. Ya, setidaknya nanti saat KTA milikmu telah berganti dengan KTP. Sekitar sepuluh tahun lagi.” Kami pun tertawa bersama, melanjutkan makan siang yang belum usai.
Sempat terlintas dalam pikiran bahwa pertanyaan yang diajukan anak saya masih terlalu dini untuk dibahas. Namun, jika saya menghindar—mengabaikannya dan berkata: ah, nanti saja, kamu masih kecil—justru dapat melukai eksistensi dirinya sebagai anak-anak dan sekaligus melanggar prinsip dasar pola asuh demokratis yang saya terapkan. Di sisi lain, saya juga merasa takjub karena di usianya dia bisa melontarkan pertanyaan itu. Belum tentu saya di usia sepertinya memiliki keberanian yang sama. Tentu karena agama merupakan hal sensitif untuk dipertanyakan apalagi diperdebatkan, bahkan di dalam lingkup keluarga sekalipun.
Kebebasan beragama di Indonesia sebenarnya secara konstitusional telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28E ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, ...; Pasal 28E ayat (2): Setiap orang berhak atas kebebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Bahkan pada Pasal 28I ayat (1) juga diakui bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Sekalipun jelas termaktub dalam konstitusi, pada praktiknya, tidak semua individu dalam struktur sosial masyarakat kelas mana pun mampu bersikap obyektif sesuai dengan koridor hukum yang dibangun oleh negara, dalam rangka menjamin hak asasi manusia terkait kebebasan beragama. Kebebasan beragama bukan hanya menyangkut kebebasan untuk memeluk dan beribadah, melainkan juga kebebasan untuk memilih agama mana yang akan dipeluk. Ya, kebebasan untuk memilih, bagi saya hal ini sangat mendasar.
Isu pindah keyakinan di kalangan para artis pun sudah lama menjadi komodifikasi konten yang basi tetapi tetap populer. Betapa hak asasi yang sekaligus adalah hak privasi individu telah dilanggar demi pundi-pundi. Hal semacam inilah yang terjadi justru di lingkup masyarakat di mana negara menjadikan Pancasila sebagai pilar ideologisnya. Namun, memang kita tidak boleh serta merta melakukan generalisasi untuk menyudutkan nama besar bangsa.
Di lingkup yang lebih dekat, tak sedikit saya mendengar dari teman-teman yang berpindah keyakinan karena berbagai alasan, mendapat kecaman keras justru dari keluarga. Ada pula yang mendapatkan ancaman akan dicoret dari kartu keluarga jika tetap memutuskan pindah agama. Seolah sudah menjadi aturan tak tertulis bahwa jika orang tua memeluk agama tertentu maka anak-anaknya pasti dan harus demikian.
Lebih mengikat lagi konteksnya pada perempuan. Saat menjadi anak, dia harus mengikuti keyakinan orang tuanya, dan saat dewasa menjadi seorang istri maka dia harus mengikuti keyakinan suaminya. Memang, ada konsep dalam budaya patriarki yang memposisikan perempuan sebagai pengikut dan laki-laki sebagai pemimpin. Saya sama sekali tidak menganggap hal itu salah, tetapi akan timbul masalah ketika hak asasi berbenturan dengan nilai-nilai adat dan budaya setempat. Alangkah sempitnya ruang bernafas bagi perempuan untuk menentukan sendiri pilihan-pilihan hidupnya terlebih dalam kaitan pemenuhan hak-hak dasarnya sebagai manusia.
Saya pun sempat mengalami fase ketika harus memiliki keberanian untuk menyatakan pilihan dengan terbuka. Sebagian orang (teman dan keluarga) tentu merasa ditinggalkan saat saya memilih jalan yang berbeda dari jalan yang mereka tempuh. Tak sedikit pula yang mengutuk walaupun ada yang tetap legawa menunjukkan dukungannya.
Terlepas apakah saya menjadi yang terhilang untuk sebuah kelompok keyakinan dan menjadi manusia baru untuk kelompok yang lain, saya merasa merdeka karena mampu menggunakan hak asasi dalam beragama. Saya terlebih bersyukur karena suami sebagai bagian dari support system yang utama dalam hidup, benar-benar memberikan dukungan penuh. Kami juga sepakat untuk menjadi orang tua yang terbuka saat anak-anak mulai sadar akan hak asasinya dalam ruang kemanusiaan. Bagaimanapun, bagi kami, agama adalah devosi pribadi seorang insan kepada Tuhan-nya yang tak bisa dipaksakan kepada siapa pun, termasuk kepada anak kami sendiri.
Penulis: Dewi Purboratih, seorang ibu dua putri yang saat ini tengah menikmati indahnya masa-masa membesarkan bayi di tengah kesibukan sebagai seorang life coach dan hipnoterapis. Menyempatkan diri untuk menekuni dunia kepenulisan sebagai sarana rekreasi mental dan telah tergabung dalam beberapa proyek antologi fiksi. Dapat dijumpai di laman instagram @dewipurboratih_cht atau facebook Dewi Purboratih CHt.
Advertisement