Kebebasan Bukan Sekadar Propaganda
ALKISAH, cerita mengenai penindasan oleh manusia terhadap manusia telah berjalan sejak peradaban hadir di dunia. Yang tersisa dalam ingatan kita adalah Nazisme, kekejaman komunisme dan fasisme, warisan dari era Perang Dingin. Demi sebuah kebebasan ratusan juta manusia berjuang dengan berbagai cara. Mereka bahkan rela mengorbankan jiwa, raga dan nyawa.
Saya tinggal sekitar 12 tahun di Eropa Timur — dari zaman komunisme yang bubar gara-gara perestroika-nya Gorbachev, dari ‘Doktrin Brezhnev sampai ‘Doktrin Sinatra’ berakhirnya Perang Dingin di awal 1990-an, era reformasi sampai ke era di mana mantan negara-negara komunis di Eropa Timur mendarat di Uni Eropa dan NATO.
Saya juga peneliti studi Eropa Timur yang dulu mendapat tugas belajar “enemy studies” oleh Kemlu awal 1980-an di Amerika Serikat, kemudian bertugas menangani negara-negara Eropa Timur selama 14 tahun. Di zaman Perang Dingin, kalangan kampus di Amerika memang menyebut ‘enemy studies’ jika Anda belajar tentang China atau Rusia. Saya cukup memahami arti perbedaan ideologis dan permainan propaganda antara kedua blok —sosialis komunis vs. kapitalisme/liberalisme—dan dampaknya bagi manusia atau rakyat kawula negeri. Yang berkuasa maupun yang dikuasai.
Pernah ada yang bertanya: “jika kapitalisme adalah eksploitasi oleh manusia terhadap manusia, maka komunisme itu apa?” Saya jawab: “on the other way around”, alias podo wae. Yang namanya penguasa partai, pemerintah, bisnis di negeri komunis yang paling otentik dan taat sekalipun menikmati ketika menjadi penguasa, hidup mewah di atas penderitaan rakyatnya. Lihat saja, negeri komunis China, podo wae. Penindasan oleh manusia (party elites) terhadap manusia (kawula) dengan judul berbeda.
Apa bedanya dengan sistem kapitalisme? Di negeri-negeri komunis dulu dan sekarang, anggota komite sentral atau politburo adalah pemegang kekuasaan yang tidak terkontrol. Meskipun ada klaim berbeda, tetapi nyatanya kongres partai komunis adalah forum pengambilan keputusan tertinggi untuk mengesahkan garis dan arahan penguasa partai. Siapa saja yang menjalankan pemerintahan, bisnis/BUMN, pejabat partai, serikat buruh diputuskan oleh elit partai.
Berbeda pendapat? Jelas, kiamat. Adakah korupsi? Jangan ditanya lagi: siapa saja yang korupsi ‘di luar restu partai’ –seperti di China—pasti lumat. Dengan sistem ekonomi pasar bebas di dalam negeri apakah berarti ‘kapitalisme’? Ya, namanya ‘state capitalism’, bukan kapitalisme dengan asas pasar bebas yang digerakkan oleh industriawan dan perusahaan swasta.
Negeri kita ini sudah ‘kenyang’ pengalaman berurusan dengan partai komunis tidak usah diajari mengapa akhirnya kita menjadikan Pancasila sebagai dasar-negara. Tak usah kita dijejali ‘propaganda’ komunis dari manapun –termasuk dari komunis China—kita sadar dampak mengerikan jika komunis berkuasa kembali di Indonesia. Dulu negeri ini dikuasai faksi Uni Soviet (Muso, Alimin cs) kemudian dikuasai faksi China (Aidit, Sukisman cs), dan setelah rubuhnya Uni Soviet maka komunis China kini merajalela menjalankan strategi mereka menguasai atau setidaknya memiliki pengaruh kuat, termasuk di Indonesia. Kita lawan!
Kembali cerita propaganda. Propaganda Barat itu dikemas menarik, ada logika, ada rasa, ada romantisme di sana. Propaganda kebebasan ini yang deras dipompakan ke Blok Timur. Berhasil dengan rubuhnya komunisme tanpa sisa di Eropa. Bagaimana propaganda Blok Timur? Kita sempat terperangah kagum mendengar cerita Pramudya Ananta Toer sepulang dari Soviet bahwa di sana, di mana-mana semuanya gratis. Betapa hebatnya negeri sosialis dengan ‘sama rata dan sama rasa’, dengan mengaburkan atau menutupi fakta betapa kemewahan hadir di bos-bos partai. Tanpa kontrol? Karena ‘diktatur proletariat’ itu hanya fiksi atau mitos yang dipaksakan dipercaya oleh rakyat. Model demokrasinya juga berbeda. Cuma di judul.
Bagaimana di Asia Pasifik? Konon, di samping China negara yang masih menganut komunisme itu Vietnam, Laos, dan Korut! Memang, pelajaran dari revolusi di Eropa Timur itu mengajarkan bahwa metodologi penerapan komunisme itu harus diubah. Tetapi tidak mengubah keyakinan: komunisme akan memenangkan persaingan ideologis di dunia ini. Kapitalisme — hanya digunakan taktis — dan akhirnya harus dienyahkan.
China modern memang menarik diamati. Negeri ini taat dengan komunisme dan yakin diktatur proletariat akan menguasai dunia. Dalam kata lain, China akan menguasai dunia dan ini tidak akan lama lagi terwujud. Strategi dan taktiknya seperti apa? Mereka belajar mengapa komunisme rubuh di Soviet. Mereka faham, rakyat Asia alergi terhadap komunis. Karena itu ganti strategi dan taktik. Kini mereka berbicara dengan ‘bahasa pasar’, dan pentingnya hak asasi manusia terhadap para hoakiau (diaspora) yang menyebar di Asia Tenggara. ‘Pasar bebas’ atau kapitalisme itu adalah rule of the game, dan ini yang membuat ekonomi China tumbuh hebat dan fantastis. Untuk sementara lupakanlah jargon ‘sama rata, sama rasa’. Ya, taktis dan hanya sementara, kok. Kekuatan diaspora itu menjadi faktor penting. Mereka diminta untuk mendukung tujuan akhir RRT: kemenangan komunisme dan menaklukkan dunia. Para diaspora diminta untuk bekerja sama dengan local power: pemerintah dan semua unsur yang ada.
China sensitif terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Demokrasi berarti runtuhnya kekuasaan partai dengan konsekuensi mengerikan jika di China berlaku multy-party system dan negeri ‘Tirai Bambu’ ini terancam bubar. China jika berbicara tentang HAM ketika menyangkut nasib hoakiau karena ada kewajiban konstitusi di sana. China sangat defensif ketika tampil di UN Human Rights Commission. Tetapi, China tetap sensitif berbicara tentang nasib rakyat di provinsi-provinsi Muslim dan tidak pernah membuka apa yang terjadi di Tiananmen (1989) dan nasib pejuang HAM yang menerima Nobel, maupun tentang Dalai Lama.
Peristiwa Tiananmen mengajarkan kita bahwa di negeri-negeri komunis menentang penguasa atau partai akan berakhir tragis. Berapa pun jumlah manusia akan dikorbankan demi ‘diktatur proletariat’. Fakta ini susah meyakinkan kita bahwa kini “komunisme telah hadir dengan wajah manusiawi”. Ketika ada kesempatan, Revolusi Bolshevik, atau apapun namanya di negeri-negeri lain, komunisme dengan kejam akan mengenyahkan siapa saja yang menentangnya. Kebenaran didominir oleh satu kekuasaan: partai dan ideologinya. Saksikan, berapa banyak korban ‘Revolusi Kebudayaan’ yang mengilhami Khmer Rouge di Kamboja dengan ‘killing fields’ nya.
Format terdahsyat pertentangan sistem itu telah menimpa saudara sebangsa. Negeri kita mencatat dengan seksama berapa kali orang komunis berontak. Tidak sekadar berontak, kekejaman mereka juga tanpa ampun. Demi ideologi, pembunuhan pun sah.
Seperti dulu dialami Jerman yang terbelah dua: Barat dan Timur. Pemetaan wilayah pengaruh belum selesai pasca Perang Dunia II. Bahkan geopolitik menajamkan perbedaan antara blok komunis dan kapitalis. Titik temu di Berlin —yang terbagi dalam 4 wilayah oleh mantan sekutu AS, Inggeris, Prancis, dan Uni Soviet—menjadi drama memilukan betapa perjuangan untuk kebebasan itu menjadikan rakyat hanya sekerup negara.
Untunglah Eropa masih menyisakan museum ‘Check Point Charlie”, yang mengoleksi berbagai cara yang dilakukan rakyat Jerman Timur yang komunis menuju Barat: artinya kebebasan. Ribuan yang tewas dalam mencari kebebasan. Tidak seberapa, jika dibandingkan dengan jutaan manusia tewas di dalam negeri, seperti di Uni Soviet, puluh ribuan hilang ‘manusia perahu’ yang melarikan diri dari Vietnam ketika komunisme menang. Jutaan mati karena kelaparan di Korut. Maka, pelarian untuk kebebasan menjadi pilihan. Apapun risikonya.
Kita memiliki museum Lubang Buaya. Untunglah terekam. Ini pelajaran penting bagi kita sebagai bangsa. Ketika kita hidup merdeka dan berdaulat sebagai pemilik dan pewaris sah negeri ini, mungkin karena tekanan ekonomi atau sikap pragmatisme kita suka terjebak dengan pilihan ‘menuruti agenda asing’, dari manapun mereka datang. Ketika negeri ini berhasil ditundukkan —dengan berbagai cara—oleh komunisme dari luar dengan kecanggihannya sukar bagi kita untuk keluar dari cara-cara represif yang tampaknya mulai hadir di negeri ini.
Itu sebabnya, isu reunifikasi dengan berbagai varian menjadi penting dalam konteks Korea: Utara dan Selatan, dengan masing-masing pendukungnya menarik dicermati. Jika komunisme di utara hadir dalam konteks ‘normal’ dalam arti tanpa kekuasaan represif dan kemiskinan karena semuanya diurus negara, mungkin cerita tentang pelarian warganegara Korut mencari kebebasan tidak dramatis.
Mari kita belajar dari Korut, betapa kebebasan itu sangat berharga, bahan sering rakyatnya terpaksa menebus upaya ini dengan nyawa mereka! Sebuah kesia-siaan dan menjadi pelajaran bagi generasi kita yang dengan enteng mengatakan komunisme sudah selesai.
Kisah menyentuh tentang seorang gadis kecil berusia 13 tahun,Yeonmi Park, kini aktivis hak asasi manusia, melarikan diri tanah brutal Kim Jong Un, Korea Utara. Dia berjuang untuk kebebasan rakyat Korut. Akankah terwujud? Kapan?
Park berumur 13 tahun ketika ia melarikan diri Korea Utara bersama adik dan ibunya. Di acara ‘One Young World Summit’ Park berkisah pengalaman hidup-mati mereka –ibu dan adiknya—kisah yang dituliskannya dalam buku barunya 'In Order To Live', Park menceritakan kisah pilu itu. Hanya dengan tekan dan kegigihan, Park akhirnya mendarat di ‘dunia normal’.
Ketika ia akhirnya diselamatkan, dia menyadari betapa dia memiliki apa-apa - dia ‘menyembah agama rezim’ pengkultusan terhadap pemimpin tertinggi; dia mencintai warna 'merah' sebagai warna identitas rezim; dan dia tidak mengenal nilai-nilai karena rezim tidak mengajarkannya.
Sekarang, Park bisa bercerita bebas dan tumbuh sebagai wanita yang menjadi dirinya sendiri. Park melakukan perjalanan dunia menyadakan pentingnya kebebasan rakyat. Karena ketahanan diri seorang gadis dan kemauan untuk bertahan hidup Park yang menginsiprasi, banyak orang yang terselamatkan, setiap harinya.
Itulah mengapa Anda berbicara melawan ketidakadilan. Itulah alasan mengapa Anda lari dari siapa pun yang mencuri hak-istimewa Anda.
Cerita Park ini dapat Anda saksikan di Youtube: [https://www.youtube.com/watch?v=ufhKWfPSQOw]
Kisah yang mirip juga terjadi setahun silam. Thae Yong-ho, mantan wakil duta besar Korea Utara ke Inggris, membelot ke Korea Selatan dengan keluarganya pada tahun 2016. Mereka telah berada di bawah perlindungan pemerintah Korea Selatan.
Saya sadar, keputusan diplomat untuk membelot dari rezim yang selama ini dia bela sepanjang hidupnya tidak terjadi dalam semalam. Sebaliknya, kegelisahan itu telah menerpa Thae selama dua dekade. Titik nadir untuk bulat membuat keputusan melarikan diri adalah ketika dia membayangkan bagaimana nasib anak-anaknya hidup dalam sistem tertutup komunis Korea Utara.
“Saya sudah tahu bahwa tidak ada masa depan bagi Korea Utara untuk waktu yang lama,” kata Thae kepada The Washington Post dalam wawancara pertamanya dengan media asing sejak melarikan diri dari Kedubes Korea Utara di London, di mana ia menjabat sebagai wakil duta besar.
Padahal di musim panas tahun 2015 dia masih menaruh harapan kepada pemimpin belia berusia 33 tahun, Kim Jong Un, yang dididik di Swiss dan diharapkannya akan menjadi pembaharu. Akhirnya, Thae melarikan diri, bersama dengan istri dan dua putranya, sekarang usia 19 dan 26.
“Kim Jong Un masih muda,” kata Thae. “Saya takut bahwa bahkan cucu saya harus hidup di bawah sistem ini. Saya memutuskan bahwa jika saya tidak memotong rantai perbudakan demi masa depan anak-anak saya. Saya tak akan mampu di suatu ketika mereka menyesali saya. ‘Kenapa ayah tidak berjuang menjadikan kami menjadi manusia bebas?’”
Thae bercerita dengan ketulusan penilaian bahwa rejim Korut akan berakhir dengan kematian, padahal dengan semangat yang sama ketika masih menjadi diplomat Korut dia ‘terpaksa’ memuji kemuliaan rejim teror Korut.
“Semua orang tahu tentang pembelotan saya. Hanya tinggal di rumah atau hidup tenang tidak akan mempengaruhi perubahan di Korea Utara,”kata Thae, seorang genial 54 tahun yang berbicara bahasa Inggris yang sempurna, selama wawancara di sebuah hotel.
Pemerintah Korea Selatan khawatir tentang keselamatan Thae yang pasti menjadi incaran dinas intelijen Korut yang terkenal sangat profesional dan kejam. Karena itu pula Thae terus dikawal 24 jam oleh dinas intelijen Korsel, KCIA.
“Rezim hanya bisa bertahan dengan mencegah informasi luar,” katanya. “Orang di sana tidak dididik tentang dunia luar dan tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh kebebasan atau mengetahui sistem yang berbeda.”
Negeri Antik Korea Utara
Di Korea Utara, internet dilarang untuk semua tapi segelintir elit, radio dan televisi bermain hanya propaganda negara, dan surat kabar penuh dari pemimpin “prestasi besar.” Drama Korea Selatan semakin sering diselundupkan ke Korea Utara, tetapi orang-orang menonton mereka secara rahasia, karena takut hukuman berat jika mereka tertangkap.
Thae mengatakan bahwa langkah apa pun untuk mematahkan blokade informasi di Korea Utara harus didorong, dari drive USB yang berisi film-film asing dan radio yang dapat disetel menembus masuknya siaran berita dari luar negeri.
“Saya ingin membuatnya mungkin rakyat di sana bangkit,” katanya. “Kita harus mendidik rakyat Korea Utara sehingga mereka dapat menggerakkan ‘Korean spring’.
Kakek dan ayah Thae ini dikhususkan untuk dinasti Kim, dan Thae tumbuh hanya mengenal negeri eksentrik Korea Utara dengan budaya ‘kultus individu’. Pada tahun 1990-an, sebagai diplomat yang relatif muda, ia telah ditempatkan ke Denmark, negeri di mana anaknya lahir, dan setelah itu ditugaskan ke Swedia. Di negeri Skandinavia yang merupakan simbol utama sosialisme Eropa mata Thae mulai terbuka.
“Selama penugasan pertama saya di Denmark, saya menyangsikan apakah Korea Utara bisa mengklaim dirinya sebagai sebuah sistem sosialis atau komunis benar,” katanya. Pada waktu itu, Korut sedang dilanda bencana kelaparan dahsyat, menewaskan sebanyak 3 juta orang.
“Masyarakat Korea Utara tidak memiliki konsep perbandingan,” katanya. “Semakin banyak waktu yang Anda habiskan di dunia luar, ketidak-percayaan Anda kepada sistem komunis Korut semakin menguat.”
Thae kemudian mendapat dua kali kesempatan bertugas di Kedubes Korut di London, yaitu antara tahun 2004 dan 2008, kemudian dari 2013 sampai pembelotan musim panas 2016 lalu. Memasuki tahun kedua berada di London, kecemasan Thae semakin tak tertahankan.
“Tidak hanya saya, tetapi elit Korea Utara lain tadinya berharap bahwa Kim Jong Un yang sekolah di luar negeri dan masih muda akan mengubah arah kebijakan dan memodernisasi Korea Utara,” katanya.
Ternyata Jong-un lebih tertarik program nuklir ayahnya, dan tidak menunjukkan sikap membukan negerinya dengan reformasi ekonomi yang dibutuhkan rakyatnya yang kian miskin.
“Kim Jong Un memprioritaskan pengembangan nuklir. Kebijakan seperti ini dianggap oleh sebagian elit Korea Utara seperti saya yang akan mendorong Korea Utara ke sudut penghancuran diri sendiri,” ungkap Thae.
Keraguan lebih meningkat setelah Kim Jong-un membunuh paman yang sekaligus ‘saingannya’ , Jang Song Thaek yang dieksekusi pada akhir 2013. Meskipun eksekusi tidak jarang terjadi di Korea Utara, ada sesuatu yang mengganggu dari tindakan sewenang-wenang ini, kata Thae.
Thae masih bertahan. Dia masih terus bertugas dengan propaganda bahwa Korea Utara adalah “surga rakyat” dengan perumahan gratis, pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Tapi di rumah, anak bungsu Thae, yang masih di SMA dan berharap untuk belajar ilmu komputer di universitas top di London, bertanya pada ayahnya: “Mengapa Korea Utara tidak mengizinkan Internet, mengapa rakyat Korea Utara tidak diperbolehkan menonton film-film asing, mengapa mereka tidak dapat membaca buku-buku yang mereka inginkan?”
“Sebagai ayah, sulit bagi saya berbohong, dan pertanyaan itu beranjak menjadi perdebatan dalam keluarga,” kata Thae.
“Sistem Korea Utara Ini adalah sistem yang benar-benar tidak manusiawi. Bahkan sistem ini merusak cinta antara orang tua dan anak-anak mereka.”
Jadi, di bulan Juli, setelah persiapan yang cukup ketika penugasan akan berakhir, Thae melarikan diri bersama istri dan kedua anak mereka dari kompleks di kedutaan besar Korut. Thae menolak untuk menceritakan bagaimana keluarganya melarikan diri, karena bisa menutup rute melarikan diri bagi para pejabat Korea Utara lainnya di luar negeri.
Kedatangannya di Korea Selatan sebagai tokoh pelarian tertinggi dari Korut. Tahun lalu, pemerintah di Seoul mengisyaratkan bahwa telah banyak pembelotan dari dinas militer dan diplomatik, serta kalangan pejabat ditugaskan menjadi pengumpul dana untuk Kim Jong-un.
Pemerintah Korea Selatan, dan beberapa analis kini meyakini pembelotan menjadi tanda-tanda keretakan rezim Kim, yang walaupun masih bertahan tetapi telah berulang kali diramalkan kolaps. Saat ini diperkirakan terdapat sekitar 100 pembelot elit yang sedang menjalani briefing oleh pemerintah Korsel.
“Tidak ada rasa solidaritas atau loyalitas antara Kim Jong Un dan para pejabat senior. Para pejabat senior tahu bahwa sistem ini tidak bisa berlanjut,” kata Thae.
Namun, Thae melukiskan perasaan “malu” tentang peran dia sebelumnya, dengan menyatakan bahwa dia adalah seorang aktor yang “berpura-pura mencintai sistem.”
Sekarang, ia sedang mencoba untuk memperbaikinya. “Aku sudah memutuskan untuk menghabiskan sisa hidup saya yang sangat berarti dan saya ingin melakukan sesuatu yang signifikan tidak hanya untuk keluarga saya, tetapi juga negeri saya.”
*) Hazairin Pohan adalah diplomat karir yang pernah menjadi Dubes Polandia dan terakhir sebagai Direktur Eropa Tengah dan Timur Kementerian Luar Negeri RI. Dia juga pernah bertugas di PTRI di PBB New York.