Kebaya Jadi Warisan Budaya Dunia: Dilestarikan Melalui Generasi Muda
Setelah melalui perjalanan yang panjang dan berliku, akhirnya United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) secara resmi menetapkan kebaya sebagai warisan budaya dunia.
Pengajuan bersama oleh Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura dan Thailand ini ditetapkan pada tanggal 4 Desember 2024 dalam sidang ke-19 Session of the Intergovernmental Committee on Intangible Cultural Heritage (ICH) di Asuncion, Paraguay.
Saat dikonfirmasi, Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon membenarkan perihal tersebut. "Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pegiat kebaya di tanah air yang ikut menyerukan dan melestarikan kebaya," ujar Fadli Zon, Kamis 5 Desembet 2024.
Beberapa pegiat kebaya menyatakan gembira lantaran kebaya akhirnya diakui dunia sebagai watisan budaya asli Indonesia.
“Kami bersyukur yang teramat sangat karena perjuangan panjang untuk pendaftaran ke UNESCO akhirnya membuahkan hasil yang sesuai harapan. Bagaimana pun sejarah keberadaan kebaya adalah perjalanan budaya Nusantara yang diwariskan para leluhur kita,” ujar Rahmi Hidayati, Ketua Umum Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI), organisasi yang pertama bergerak soal pelestarian kebaya.
Menurut Rahmi, selama ini para pecinta kebaya berupaya melestarikan busana warisan leluhur Nusantara ini melalui berbagai kegiatan yang melibatkan semua generasi. Ke depannya, dia berharap bisa semakin fokus bergerak bersama generasi muda karena mereka yang akan berjuang menjaga kelestarian kebaya.
Usulan pengajuan ke UNESCO ini pertama kali disampaikan tahun 2017 saat PBI menggelar acara 1.000 Perempuan Berkebaya. Kemudian dipertegas lagi pada saat Kongres Berkebaya Nasional yang diadakan pada 5-6 April 2021 sehingga akhirnya dibentuklah Tim Nasional untuk pengurusan pendaftaran ke UNESCO.
Memang sempat terjadi kehebohan soal pengajuan bersama empat negara lain karena sejarah munculnya kebaya ada di Indonesia. Tapi peraturan yang dikeluarkan UNESCO bukanlah soal asal-usul budaya, melainkan menyangkut pelestarian. Bila satu negara bisa membuktikan bahwa mereka sudah menjaga keberadaan suatu budaya selama 20 tahun, maka negara tersebut berhak mendaftarkannya ke UNESCO.
Indiah Marsaban, anggota Timnas Kebaya menjelaskan, nominasi elemen budaya “kebaya” diajukan pada Maret 2023 dengan judul “Dossier Kebaya: Knowledge, Skills, Tradition and Practice”. Yang diangkat adalah pengetahuan tentang kebaya, keterampilan membuat kebaya, tradisi memakai kebaya, dan bagaimana melestarikan budaya berkebaya di masing-masing negara.
“Budaya berkebaya tidaklah eksklusif hanya ada di Indonesia tetapi kebaya menjadi hidup dan menghidupi di negara-negara serumpun karena tradisi kebaya terus dijaga sebagai budaya yang berkelanjutan,” ujarnya.
Soal pelestarian budaya berkebaya ini, PBI sudah menggelar berbagai program yang melibatkan anak muda. Gerakan Kebaya Goes to School, Kebaya Goes to Campus dan Kebaya Goes to Office dijalankan di semua cabang baik di dalam maupun di luar negeri.
Tujuan utamanya adalah untuk memperkenalkan keberadaan kebaya sebagai busana yang pertama muncul di Indonesia, dan mengajak mereka ikut berkebaya di berbagai kesempatan.
“Secara psikologis memang ada anggapan bahwa berkebaya itu ribet. Memakai kain pun terasa tidak nyaman. Untuk itu kami ajarkan cara yang praktis, yang membuat pemakainya tetap leluasa bergerak di berbagai aktivitas,” ujar Rahmi.
Selain soal pelestarian budaya, lanjutnya, menggaungkan keberadaan kebaya juga berdampak secara ekonomi. Industri busana kebaya yang berskala kecil hingga pabrikan akan semakin berkembang. Begitu pula penghasil tenun yang tersebar hampir di seluruh wilayah Nusantara, mengingat kebaya tidak hanya dikenakan bersama kain batik.
Advertisement