Kebanyakan Tersangka Teroris Bermazhab Wahabi Salafi Jihadis
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid mengatakan, kebanyakan tersangka teroris yang ditangkap Densus 88 Antiteror Polri dan BNPT merupakan pemeluk Islam dengan latar belakang mazhab Wahabi dan Salafi yang jihadis.
“Mereka semua, mohon maaf dengan segala hormat, mereka bermazhab salafi wahabi. Yang kita tangkap ini salafi wahabi jihadis, yang jadi kombatan,” kata Ahmad Nurwakhid.
Meski begitu, Ahmad menegaskan tak semua pemeluk Wahabi dan Salafi memiliki ideologi sebagai teroris. Ia menyatakan masih banyak pemeluk Wahabi dan Salafi yang menjalankan perintah agama sesuai ketentuan yang berlaku dan tak menyimpang.
Ia pun menyatakan banyak teroris beragama Islam yang ditangkap di Indonesia memiliki Rukun Islam dan Rukun Iman yang sama. Perbedaannya, kata dia, terletak pada rukun ihsan atau pandangan hubungan antarsesama manusia.
“Mereka juga tak sedikit yang hafal Al-Quran, rukun iman sama, rukun Islamnya sama. Yang membedakan rukun ihsan. Karena mereka anggap iman, Islam, khilafah. Mereka abai,” katanya, dalam webinar dengan topik ‘Urgensi Standardisasi Dai untuk Penguatan Dakwah Islam Rahmatan lil Alamin’ yang digelar MUI secara daring, Selasa 27 April 2021.
Wahabi adalah aliran dalam Islam yang ditujukan kepada pengikut Muhammad bin Abdul Wahab, yang berpegang teguh pada kebangkitan agama melalui pemulihan Islam ke bentuk “aslinya”, serta hanya ada satu Tuhan dan setiap orang harus menyembah-Nya persis seperti yang diperintahkan dalam Kitab Suci.
Sementara Salafi pada zaman modern kerap dikaitkan dengan aliran pemikiran yang mencoba memurnikan kembali ajaran yang dibawa Rasulullah dan perintah Al-Quran secara literal dari berbagai hal yang bid’ah (tidak dilakukan Rasul), khurafat, dan syirik dalam Islam. Salah satu rujukan utama kaum Salafi adalah mazhab Ahmad bin Hambali atau Hambali.
Terlepas dari itu, Ahmad Nurwakhid menekankan, aksi terorisme tak terkait agama apapun. Namun, pemahaman terorisme lahir dari cara beragama yang menyimpang dari oknum beragama tersebut.
“Dari pelaku terorisme tersebut, ini biasanya didominasi oleh umat beragama yang jadi mayoritas di suatu wilayah,” kata dia.
Melihat hal itu, Ahmad menegaskan bahwa peran para ulama sangat penting menanggulangi terorisme yang mengatasnamakan agama. Bahkan, ustaz merupakan pintu masuk dan keluar paham radikalisme dan terorisme.
Ia pun mendukung upaya MUI untuk melakukan standarisasi dai. Hal itu merupakan elemen yang sangat vital dalam pencegahan radikalisme dan terorisme.
“Urgensi standarisasi dai dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme, kesimpulan saya sangat vital. Karena ustaz pintu masuk dan keluar dari paham radikalisme dan terorisme mengatasnamakan agama,” kata dia.