Kebahagiaan Memaknai Tahun Baru bagi Umat Islam
Pergantian tahun 2022 ke 2023. Kita sering merayakan dua pergantian tahun. Pertama di bulan Hijriyah ketika 1 Muharram tiba. Kedua di akhir tahun Miladiyah seperti akhir Desember.
“Dua-duanya baik tidak ada yang buruk, bahkan dalam kehidupan sehari-hari termasuk di negara Timur Tengah, Arab Saudi, dua kalender selalu dipakai yang sehari-hari termasuk untuk transaksi itu menggunakan tahun Miladiyah tetapi untuk penentuan hari raya Idulfitri dan Iduladha itu menggunakan tahun Hijriyah, jadi tidak perlu mempertentangkan dua waktu ini,” kata Haedar Nashir.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu hadir dalam acara Refleksi Akhir Tahun Masjid Husnul Khatimah Kampung Rukeman-Peleman Tamantirto Kasihan, Bantul.
Pada kesempatan tersebut Haedar menyampaikan apresiasi dan rasa terharu karena yang hadir pada kesempatan tersebut banyak dari generasi milenial. Menurutnya itu merupakan rahmat di akhir tahun dan jelang tahun baru miladiyah. Karena, jika ada acara-acara seperti itu biasanya justru dihadiri oleh generasi kolonial.
Memaknai Lepasnya Tahun Lama
Yang paling penting, kata Haedar, memaknai lepasnya tahun lama dan hadirnya tahun baru. Kenapa harus memaknai? orang ‘merayakan’ tidak apa-apa sejauh itu untuk syiar tetapi yang menjadi keliru itu kalau merayakan hari datangnya tahun baru dan lepasnya tahun lama secara berlebihan dan hanya lahiriyah semata-mata apalagi yang bersifat mubazir baik waktu, uang, kesempatan dan lainnya.
“Supaya kita tidak berlebihan dan punya arti syiar boleh, gembira boleh. Masak sih manusia tidak boleh gembira? Boleh, kalau yang tidak boleh gembira itu hanya patung dan polisi tidur. Manusia berhak untuk gembira, bahagia, ada suasana lahir dalam hidup itu. Misal, bertemu teman gitu kan senang,” kata Haedar.
“Tetapi bagi kita kaum Muslim ada batas-batas dan ada makna-makna yang harus kita pedomani dan kita maknai dalam melepas tahun lama dan lahirnya tahun baru,” lanjutnya.
Advertisement