KDRT di Depok Gaya Film Laga
Oleh: Djono W. Oesman
KDRT ini caranya unik. Isteri D, 27 tahun, sudah lama pisah rumah dengan suami F, 29 tahun. Jumat, 4 November 2022, D naik motor. Ditabrak motor dari depan, D jatuh. Saat bangkit, perut D ditusuk si penabrak, yang ternyata F.
----------
"Semula saya tidak tahu penabrak bekas suami. Soalnya, begitu ditabrak, saya kaget, jatuh. Penabrak pakai helm, pakai masker lebar, cuman keliatan mata," kata D kepada wartawan, Selasa, 8 November 2022.
Waktu itu, Jumat, 4 November 2022 sekitar pukul 09.30 WIB di Jalan Haji Sainan, Sawangan, Depok, Jabar.
D naik motor, kerja. Sales minuman yughurt, keliling naik motor ke warung-warung. Di bagian boncengan motor, ada kotak besar isi yughurt. Sangat mencolok.
Tiba di suatu titik, ada truk melintangi jalan. Itu truk proyek perbaikan jalan. Motor D pelan, melewati truk itu.
Dari arah depan, mendadak ada motor menabraknya. D jatuh ketimpa motor. Kakinya tertindih motor. Si penabrak menolong. Mengangkat motor, lalu menarik D bangkit berdiri.
D: "Ia narik saya dengan kasar. Kaya orang kesal, gitu. Saya marah: Jangan kasar-kasar, Bang. Udah nabrak, narik kasar."
Penabrak mendekatkan wajah ke wajah D: "'Gua enggak terima. Lu ambil anak gua. Lu udah ancurin hidup gua."
Di situ D tahu, bahwa itu F, eks suami. Syok. Panik. Spontan ia teriak, minta tolong ke warga sekitar. Sebab, dia segera sadar, bahwa tabrakan itu disengaja.
Di saat bersamaan, pada jarak sangat dekat, F menusuk perut D dengan pisau. Bres...
F, pekerja bangunan itu, langsung kabur dengan motornya. Bagai adegan dalam film detektif.
D merasa tidak ada masalah. Ia cuma merasa dipukul bagian perut. Tapi warga berteriak: "Bajingan... bawa pisau, tuh... nusuk tuh, pisaunya berdarah."
D: "Saya merasa perut saya dingin. Lalu berubah panas. Saya liat, darah mancur di situ."
Setelah diamati D, ternyata tusukan F mengenai tas isi yughurt. Tembus dalam tas, menusuk botol-botol plastik yughut. Tembus, botol yughurt jebol. Tembus lagi, menusuk perut D. Ujung pisau masuk perut D sekitar tiga sentimeter.
D: "Alhamdulillah kena tas duluan. Kalau langsung, mati dah saya."
Warga menolong D melarikan ke rumah sakit. Ditangani dokter. Jahitan lima.
Menurut D, pernikahan mereka dikaruniai anak satu. Semula, anak dibawa suami sejak pisah meninggalkan rumah, setelah Lebaran 2022. Kemudian, sebulan lalu, D bersama rombongan keluarga mengambil anak itu di tempat kos F.
Kasat Reskrim Polres Metro Depok, AKBP Yogen Heroes Baruno kepada pers, Senin, 7 November 2022 mengatakan, sudah ada laporan penusukan itu. "Motifnya, suami-isteri sudah pisahan, rebutan anak."
Sampai Selasa, 8 November 2022 pelaku masih dikejar polisi. Di tempat kos, tidak ditemukan. "Tapi, kami sudah tahu titik-titik pelariannya," ujar Yogen.
KDRT terjadi di mana-mana, dengan berbagai cara. Rata-rata pelakunya pria terhadap pasangan wanita, baik isteri atau pacar. Mengapa begitu marak?
Banyak teori menjelaskan KDRT. Teori lama menyebutkan, pelaku emosional, lalu kehilangan kontrol. Akhirnya menganiaya.
Untuk KDRT direncanakan, pelaku sengaja mabuk dulu. Supaya tega menyiksa isteri.
Itu disebut Teori Hilang Kendali. Digunakan terapis pada tahun 1980-an di negara-negara Barat. Tapi kemudian teori itu terbantahkan.
Prof Dr Ethel Klein dalam bukunya: "Ending Domestic Violence: Changing Public Perceptions/Halting the Epidemic" (1997) menyatakan, berdasar hasil riset yang diurai di buku itu, pria hilang kendali bukan penyebab Domestiv Violence (DV atau KDRT).
Klein, yang guru besar psikologi Harvard University, AS (1979-1984) menuliskan, pelaku DV selalu sangat sadar. Bukan emosional. Tindakan pelaku, bahkan sudah direncanakan dengan tenang. Target jelas. Strategi serangan, jelas.
Bahkan, pelaku KDRT secara reflek selalu berusaha menyembunyikan tindak penganiayaan. Selalu di tempat sepi, tanpa saksi. Jika di tempat ramai seperti kasus D, pelaku menusuk dalam jarak sangat dekat. Publik tak melihat, karena terhalang badan. Baru kelihatan ada darah muncrat.
Argumen Prof Klein ternyata sederhana. Jika DV disebabkan pelaku hilang kendali, pelaku DV tidak mungkin memukul, menyiksa polisi. Meskipun pelaku sangat emosional (hilang kendali) pada polisi.
Karena, meski hilang kendali, pelaku masih mikir dampak mukul polisi. Berat. Takut.
Contoh lain, pelaku DV ketika hilang kendali, pun tidak mungkin memukul bos, atasan tempat ia bekerja. Sebab, ia paham dampaknya berat.
Klein: "DV disebabkan banyak faktor, tapi bukan karena hilang kendali."
Di buku itu dipaparkan beberapa variabel penyebab pelaku DV. Diurai sejak pelaku masih kanak-kanak, serta aneka kejadian yang dialami waktu kecil, juga terkait budaya patriaki. Bahwa laki harus mengontrol wanitanya. Kalau tidak, maka (dalam budaya masyarakat) ia bukan laki. Diledeki, laki letoy.
Tapi, yang menarik teori berikut ini:
Dr Lenore Edna Walker dalam bukunya: "The Battered Woman" (1979) menyoroti sisi lain KDRT. Di situ dipaparkan tahapan pelaku KDRT. Disebut periodisasi aniaya.
Buku itu best seller dunia. Dari buku itu Dr Walker memenangkan Distinguished Media Award Amerika, 1979. Dibaca banyak orang se-dunia.
Menurut Walker di buku itu, semua peristiwa KDRT pasti melewati periode berikut ini, secara berurutan. Ada empat:
1) Periode tercipta ketegangan. Pelaku marah pada pasangan (isteri atau pacar). Kemarahan berulang pada waktu-waktu tertentu. Pada kejadian-kejadian tertentu. Tapi marah yang tidak rasional. Marah demi kepentingan ego pelaku.
Korban mulai gelisah.
2) Periode tindakan. Terjadilah KDRT. Bisa diawali KDRT psikis. Berupa hinaan, makian, ancaman, yang semuanya menyerang psikologi korban. Bisa juga langsung aniaya.
Untuk KDRT psikologis, bisa berhenti sampai di situ. Stop. Tidak berkembang jadi KDRT fisik. Berarti pelaku tidak niat menyakiti pasangan. Tapi bisa juga di waktu berikutnya terjadi KDRT fisik. Pemukulan, aniaya, pembunuhan.
3) Periode bulan madu. Setelah cek-cok hebat, atau sudah pemukulan, penganiayaan, pelaku minta maaf. Pelaku benar-benar menyesali tindakannya. Karena, pada dasarnya pelaku mencintai korban. Ia takut kehilangan korban. Maka, ia minta maaf ke korban.
Biasanya korban memaafkan. Bisa karena ada anak. Atau masih cinta. Terjadilah periode bulan madu. Rukun lagi. Bagai bulan madu lagi.
4) Periode tenang. Hubungan pria-wanita itu baik-baik saja. Seolah tidak pernah terjadi kekerasan. Pelaku menepati janji, tidak bakal mukul lagi. Dan, memang tidak mukul lagi. Bahkan, pelaku memberi hadiah ke korban.
Sampai di sini hubungan diuji. Inilah titik batas periodisasi.
Walker menulis: "Jika setelah tahap empat, pelaku masih melakukan DV lagi, maka kecil kemungkinan ia bisa berubah baik. Tinggal bagaimana si perempuan mengambil keputusan."
Itu masa sangat kritis bagi perempuan. Jika dia memilih jalan, melanjutkan hubungan, dia tahu risiko di kemudian hari. KDRT bisa terulang.
Sebaliknya, kalau perempuan memutuskan, putus hubungan, juga bukan berarti perempuan terbebas masalah. Karena, masih bakal ada ekornya.
Walker: "Banyak pelaku, terus melecehkan, membuntuti, dan menyakiti korban yang sudah lama meninggalkannya. Karena pelaku dendam. Bahkan bisa, pelaku membunuh korban."
Hasil riset di Amerika Serikat (AS), kata Walker, sekitar 70 persen dari total korban cedera KDRT yang dilaporkan ke polisi AS, adalah pelaku yang sudah berpisah dengan korban. Bisa cerai atau putus pacaran. Pokoknya mereka sudah pisah.
Pendapat Walker yang terakhir ini terbukti pada kasus D. Persis. D sudah pisah rumah dengan F, 3 Mei 2022 atau sehari setelah Lebaran. Atau enam bulan kemudian terjadi penusukan.
Tulisan ini mungkin menakutkan perempuan. Tapi begitulah yang terjadi.
Tak kurang, Bupati Purwakarta, Anne Ratna Mustika, yang kini proses cerai dengan suami, Dedi Mulyadi, Anggota DPR RI, di Pengadilan Agama Purwakarta, pun mengakui kepada wartawan, sudah pisah sejak April 2022.
Anne Ratna Mustika kepada pers, Senin, 7 November 2022, mengatakan, alasan gugat cerai, pertama, suami tidak memberi nahkah lahir-batin.
Anne: "Materi kedua, sikap yang tidak baik. KDRT secara psikologis. Ucapan yang kasar gitu, 'kan, omongan yang dilontarkan. Jadi itu berdampak terhadap psikologi saya."
Maka, bahagialah suami-isteri yang tidak KDRT. Syukuri, dan jaga itu. (*)
Penulis adalah Wartawan Senior