Kawan Itu Pergi untuk Selamanya
Oleh: Yuleng Ben Tallar
SUATU hari aku diminta membawa grup band ke Bandung untuk Pesta Musik perayaan ulang tahun Aktuil, majalah musik paling top pada saat itu. Ada beberapa pilihan, di antaranya AKA, The Gembel, The Hand, atau Pretty Bersaudara.
Aku yang ketika itu wartawan Aktuil di Surabaya, mencoba menghubungi salah satu dari grup band tersebut. Sayangnya, tidak ada satupun yang bisa. Ada yang berhalangan karena sudah punya order di luar kota, mengadakan tur, atau tidak berhasil dijumpai padahal waktunya sangat mendesak.
Yang ada hanyalah Leo Kristi Konser Rakyat --demikian nama yang disandang ketika itu. Kebetulan aku kenal dekat dengan Leo Soekarno sejak saat ia masih nyanyi berdua dengan Titik Bawean. Sebelum menjadi konser rakyat, grup ini sempat berganti formasi beberapa kali, termasuk bersama Vebi, Tuti dan Nanil.
Nah, Leo bersedia. Ia akan mengajak serta pasukannya yang terdiri atas Jelly, Lita, Nanil, dan Mung. Khusus Jelly dan Lita --ketika itu masih di bawah umur-- aku harus meminta izin dulu kepada orang tua mereka yang bertempat tinggal di Jl, Darmo Kali. Alhamdulillah diizinkan.
Baru kemudian aku melapor ke kantor pusat. Awalnya, usulanku kurang mendapat respon. Siapa Leo Kristi Konser Rakyat (LKKR)? Apa cocok untuk dipersandingkan dengan grup band dari kota besar lainnya? Dengan God Bless, Rawe Rontek, Trio Kid, dan lainnya yang umumnya sudah sangat kondang ketika itu.
Dalam hati aku mengakui, iya sih! Tapi siapa lagi? Aku harus bisa meyakinkan mereka, atau tidak ada wakil dari Surabaya. Aku bilang, ini grup selalu dielu-elu saat manggung di Surabaya. Mereka tetap tidak yakin, bahkan beranggapan Leo akan tampil berdua Titik dengan folk song seperti kelompok kebanyakan.
No Sir..., jawabku. Ini bukan folk song. Lebih dari folk song, ujarku tanpa bisa menyebut apa sebenarnya sebutan grup ini. Yang aku tahu, ada dua permainan yang mereka tampilkan, bunyian yang membentuk musik, dan lantunan suara merdu yang bervarian.
Hari H makin mendekat, aku pun makin memaksakan agar mereka menerima LKKR. Mungkin mereka bosan juga menolakku, atau tak ada waktu lagi untuk berdebat karena harus mengurusi yang lain, akhirnya izin itu turun.
Namun dengan catatan, taruhannya adalah kredibilitasku. Apapun itu, pikirku, sebaiknya mereka melihat dulu penampilan Leo dan kawan-kawan barulah memberi penilaian. Kepada Leo aku sampaikan juga, bermainlah paling istimewa karena aku harus mempertanggungjawabkan pilihanku.
Seperti biasa, Leo mengangguk sambil klewas-klewes. "Iyalah, kami akan tampil maksimal." Jangan hanya maksimal, ujarku. Tampillah yang terbaik! "Lha ya itu yang aku maksud, Mas," ujar Leo kalem.
Terus terang aku sempat ketar-ketir walau aku tahu warna musik LKKR pada saat itu merupakan sesuatu yang beda. Sesuatu yang baru. Tapi itu menurut aku, demikian pulakah menurut para paduka di Bandung?
Pada saat kami datang, sambutan biasa-biasa saja. Dan Leo pun tak kalah biasanya. Ia dengan sabar mernah-mernahkan grupnya. Kepada aku ia wanti-wanti agar panitia menyediakan sejumlah mike. Untuk dirinya sendiri, perlu lima. Dua untuk gitar akustik, tiga untuk dia menyanyi. Sedang untuk anak buahnya, entah aku lupa.
Pokoknya banyak, dan itu membuat terkejut panitia saat aku menyampaikan kepada mereka. "Sebegitu banyaknya?" ujar Odang Doang yang diserahi menghandle kami dari Surabaya. Aku mengangguk. Sedikit berbohong aku katakan, kalau pentas di Surabaya lebih banyak lagi.
Dan benar, pada saat LKKR tampil, panggung meriah dengan mike. Beberapa penonton tertawa, bahkan ada yang mencibir, pada saat persiapan panggung sebelum LKKR tampil. Apa pula ini, pikir mereka yang sebelumnya disuguhi musik keras yang menghentak.
Toh mereka terkesima saat LKKR melantunkan nomor pertamanya. Ya kesengsem dengan musiknya, dan seolah tersihir dengan jeritan-jeritan Leo. Tak ada suara lain yang terdengar kecuali dari arah panggung. Yang kemudian berakhir dengan gemuruh tepukan tangan.
Tak kurang seorang Toto Rahardjo, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi sekaligus pemilik Aktuil, tercengang melihat penampilan LKKR. "Mas Toto ingin membuat rekaman mereka," ujar Maman Sagitadiapradja, esok harinya. Oleh sebab itu ia minta izin agar LKKR jangan pulang dulu.
Well... up to the boss, pikirku. Aku sampaikan kepada Leo, dan ia iya-iya saja sambil agak tidak percaya akan ucapanku bahwa Aktuil akan melakukan rekaman. Yang jelas, pembicaraan tentang itu akan dilakukan, diiringi peliputan khusus tentang LKKR. Hasilnya, liputan itu tampil sebagai cover story.
Aku sendiri tidak mendampingi LKKR selama di Bandung sebab harus segera kembali ke Surabaya. Setelah Leo pulang, ia katakan kepadaku, "Iya lho Mas, Aktuil akan merekam kami."
Alhamdulillah... tidaklah sia-sia aku membawa mereka ke pesta musik Aktuil di Bandung. Tidak sia-sia pula argumenku kepada mereka di kantor pusat. Dan sejak saat itu, Leo Kristi Konser Rakyat semakin terkenal di blantik musik Indonesia.
Hari ini, Minggu, 21 Mei, ketika jarum baru berlalu 59 menit, Tuhan memanggil pria bertubuh sedang itu ke hadirat-Nya. Leo yang sempat dirawat beberapa minggu di rumah sakit, di Bandung, menghembuskan nafas terakhirnya.
Dunia musik Indonesia berduka, salah satu pembawa nama harum Surabaya tlah berlalu. Semoga khusnul khotimah, diampumi segala dosa dan diterima segala amalnya. Selamat beristirahat kawan. *