Kawal Transformasi Kehidupan Bangsa, Ini Langkah Muhammadiyah
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, mencapai usia kemerdekaan ke-75 tahun, masih mengundang keprihatinan bersama. Indonesia masih tertatih-tatih mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana yang telah digariskan oleh para pendiri bangsa dalam Pancasila 18 Agustus 1945 dan Pembukaan UUD 1945.
Transformasi perjalanan bangsa selalu mengalami keterputusan dari sejarah bangsa karena setiap rezim yang ada ingin memulai segalanya dari awal sehingga yang timbul adalah kemandegan dari proses yang seharusnya saling berkesinambungan.
“Setiap rezim baru ingin mengoreksi rezim lama tapi memotong seluruhnya,” jelas Haedar, Kamis 13 Agustus 2020.
“Selalu yang terjadi bahwa orde-orde itu (Orla dan Orba) sering menegasikan, begitu juga Reformasi. Ada deviasi, stagnasi dari proses-proses yang seharusnya mata rantai. Sayang satu sama lain sering terputus. Agenda kita di Reformasi juga sama. Kita mengalami distorsi, lalu ada jejak-jejak yang hilang,” terangnya.
Akibat keterputusan itu, Haedar melihat generasi muda yang memiliki kemampuan teknikal dan visi yang baik seringkali berakhir dengan terjerumus ke dalam pragmatisme politik ekonomi budaya karena tidak memahami jiwa, alam pikiran, dan denyut nadi visi kebangsaan sesuai yang digariskan oleh para pendiri bangsa.
Keadaan itu bagi Haedar semakin diperparah karena dalam bidang pendidikan terjadi pragmatisasi yang menyiapkan anak didik lebih pada faktor pemenuhan kebutuhan industri daripada usaha untuk mencerdaskan kehidupan bagsa dan mendidik akal budi.
“Saya pikir kita harus memberi apresiasi generasi milenial, tapi mereka juga harus dididik untuk tahu jiwa, sejarah, dan nyawa Indonesia agar tidak hanya berkreasi tapi terputus dari sejarah. Ini agenda kita, maka pendidikan sebenarnya menjadi pertaruhan utama kita,” jelasnya.
Demikian Haedar Nashir mengungkapkan dalam Simposium Hari Veteran Nasional yang digelar secara daring.
Dalam upaya transformasi itu, Muhammadiyah menurut Haedar berusaha untuk mengawal jiwa yang telah digariskan oleh para pendiri bangsa agar politik, ekonomi dan budaya tidak kehilangan ruhnya.
“Kami dalam referensi keagamaan punya kaidah menyambung, merawat nilai-nilai lama yang baik lalu mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik sehingga nilai lama dan yang baru ada kontinuitas.
"Kami di Muhammadiyah menyebutnya reconstruction with meaning, ‘rekonstruksi dengan makna’ jadi kita bawa Indonesia, politik, ekonomi dan budaya dengan jiwa Pancasila yang substantif, bukan yang simbolik,” kata Haedar.