Kaum Urban dan Ekonomi Digital ala William Tokopedia
Saat reuni SMP lalu, saya sempat kaget. Ketemu kawan lama yang saya kira juga mudik. Ternyata dia sudah lama balik kampung.
“Sudah setahun,” ungkap Diki Maulana. Lulusan Undip Semarang ini, awalnya berkarir di Jakarta. Bersama istrinya, dulu, mereka bekerja di stasiun tivi lokal.
Terus mereka pindah kerja di production house. Bikin tayangan infotainment kejar tayang. Yang isinya, selalu mengharu biru itu. Yang nyandu bagi ibu-ibu.
“Umur 40 tahun pas. Istri mau diajak pulang kampung,” tambahnya. Awalnya, anak pertama yang protes. Karena takut berbahasa Jawa. Juga harus mencari teman baru.
Tapi, keputusan sudah dibuat. Memang, targetnya, di umur 40 tahun dia harus berhenti jadi karyawan. Bikin usaha sendiri.
Setelah berunding, uang dari pesangon dibuat usaha baru. Mereka membuka toko kelontong. Tempatnya di rumah warisan, peninggalan orang tuanya.
Usahanya perlahan mulai berdenyut. Kini, berjalan lancar. Karena rumah itu terletak di depan jalan besar juga sekolah, pembelinya lumayan ramai.
Tapi bukan itu yang menarik. Ternyata, dia juga membuka toko online di tokopedia. Punyanya Mas William Tanuwijaya, bekas penjaga warnet yang sukses jadi CEO dan Founder itu.
Tokopedia sendiri adalah marketplace asli Indonesia yang paling moncer. Di sini cerita bermula.
Dari Kota Batang, Jawa Tengah ini, Diki Maulana bisa berdagang online. Bisnis yang tidak ada sekat jarak. Bahkan sanggup menyediakan pembeli tak terbatas.
Kini, kerjanya mencari barang yang menarik. Atau menemukan barang baru atau yang serinya terbatas. Lalu menjualnya di tokopedia.
Selama ini dia mengaku sering kaget. Penjualannya sangat cepat. “Harganya juga premium, alias di atas rata-rata,” katanya. Herannya, orang tetap beli.
Dia pun sudah biasa mengirim barang ke penjuru Jawa. Bahkan lintas pulau. Namun, karena dari kota kecil, ekspedisi kadang butuh waktu lebih lama.
Sesekali dia juga beli barang dari luar negeri. Kebanyakan untuk elektronik. Tak heran, dia juga dituntut mahir urusan kepabeanan.
Kini, kerjanya mencari barang yang menarik. Atau menemukan barang baru atau yang serinya terbatas. Lalu menjualnya di tokopedia.
“Tapi prosesnya sekarang gampang,” paparnya. Sebelumnya agak susah. Kini, kalau ada pengiriman barang, dia yang lebih proaktif ke bea cukai. Jadi ini juga bukan lagi penghalang.
Membuka toko online di tokopedia sebenarnya juga sederhana. Bikin akun, ada email, terus punya telepon genggam. “Modalnya cuma satu, kuota internet,” katanya sambil tertawa.
Jadi gampang sekali. “Tak perlu bayar sewa,” jelasnya. Ternyata, hasil dagang online ini memberinya keuntunganya lumayan.
Rata-rata diatas satu juta rupiah. Waktu yang diperlukan juga tak banyak. Jadi masih bisa mengerjakan urusan lainnya.
Tentu saja, pendapatan itu bisa membiayai hidupnya di kota kecil. Karena pendidikan sekolah anak masih gratis, dia mengaku masih bisa bernafas lega. Di kota kecil, juga tak ada tuntutan gaya hidup nan mencekik leher.
Kini, dia menjajagi fasilitas pembayaran. Dari listrik, telepon, air, pajak PBB, dan pembayaran lainnya. Dari sini, dia mendapatkan poin cashback dari tokopedia. Poin ini bisa digunakan untuk berbelanja dan menjualnya lagi di tokopedia.
Mungkin, sepertinya, ini yang dibayangkan Mas William itu. Memutus lingkaran setan urbanisasi. Mereka yang berpendidikan tinggi tetap tinggal di tempat kelahirannya.
Mungkin, sepertinya, ini yang dibayangkan Mas William itu. Memutus lingkaran setan urbanisasi. Mereka yang berpendidikan tinggi tetap tinggal di tempat kelahirannya.
Tetap bisa berusaha di kotanya. Juga bisa berpenghasilan yang lumayan. Tentu saja, ini turut mengerakkan ekonomi lokal.
Era ekonomi digital ini memang melahirkan kondisi baru. Ekosistem digital. Semua orang punya kesempatan berusaha yang sama. Di manapun berada. Asalkan mau memulainya.
Di banyak video di youtube, Mas William mengaku, ingin mewujudkan pemerataan ekonomi digital di Indonesia. “Tokopedia membangun jembatan, bukan tembok penghalang,” jelasnya di banyak forum entrepreneur.
Diki Maulana sekarang punya mimpi lebih besar. Dia ingin menularkan pengalamannya itu. Sekarang, dia mengajak banyak temen semasa SMA atau SMP untuk berdagang online.
Kebanyakan, mereka masih bekerja serabutan. Susah ekonominya. Sayangnya, itu juga bukan perkara gampang.
Walau dia sudah ada contoh nyata, masih banyak yang meragukannya. Padahal, modal utamanya semua sudah punya. “Mereka ada handphone. Sayangnya, kuota internet hanya untuk main media sosial,” keluhnya.
Era ekonomi digital ini memang melahirkan kondisi baru. Ekosistem digital. Semua orang punya kesempatan berusaha yang sama. Di manapun berada. Asalkan mau memulainya.
Di matanya, inilah cara paling efektif memperbaiki ekonomi. Namun, ada perkara lain. Pola pikir juga membentuk keberanian, pilihan, dan sikap seseorang. Untuk itu, sepertinya, Diki Maulana harus lebih keras lagi meyakinkan teman-temannya.
Apalagi, dengan selesainya jalan tol di Jawa, juga berimbas pada ekonomi kota-kota kecil, termasuk Batang. Sebelumnya, para pemilik warung, toko, dan usaha rumahan tertolong para pelewat jalan Pantura. Tapi kini semua sirna. Mereka pindah ke jalan tol semua.
Tentu saja, penyediaan pekerjaan bagi semua orang, adalah kerja penting. Kalau perut kosong, bisa membuat gelap pikir. Bisa berimbas pada tingginya angka kriminalitas.
Karena otonomi daerah, para bupati dan walikota seharusnya bekerja lebih keras. Menemukan peluang. Menjaga warganya tetap makan.
Kini era ekosistem ekonomi digital mulai menapak jalan sejarah. Dia bisa jadi penolong. Sayangnya tak semua sigap bergerak. Padahal, dia bisa memberi beragam keuntungan.
Ajar Edi, kolumnis ngopibareng.id