Menghadapi Bughot, Kok Kipas-kipas "Bakar Sate"
Kita yang dulu, orang-orang santri pada Pemilu 1971 pernah diplesetkan sebagai “Golongan Teklek dan Sarungan”, senantiasa diajarkan oleh guru kita untuk “taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri" (Kepala Negara).
Kita juga dianjurkan untuk mengingatkan kepada pemimpin negara untuk selalu berbuat adil dan maslahat untuk rakyatnya. Tentu dengan kata yang baik sesuai budaya.
Kita juga dilarang untuk BUGHOT atau melawan negara dengan senjata atau kekerasan. Sekarang ini yang dikatagorikan bughot adalah kaum teroris yang sering membunuh rakyat tidak berdosa.
Sedang partai di luar “koalisi pemerintah” disebut oposisi yang kehadirannya diperlukan untuk “check and balance".
Adapun oposisi di luar partai disebut “pressure group” atau “interest group" misalnya demonstran tolak “Omni Bus Law" dan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Sah-sah saja keberadaanya dan juga memang diperlukan sesuai prinsip demokrasi. Tentu saja dengan cara kritik sesuai Undang-Undang dan selaras dengan budaya.
Menjadi Aneh bin Ajaib, kalau ada tokoh yang sebelumnya tokoh nasional dan aktif di pemerintahan, tetapi setelah di luar kemudian bersikap oposisi menunggangi isu yang sedang trendy misalnya isu kepulangan Habib Muhammad Rizieq Syihab (HRS).
Dalam kondisi negara sedang menghadapi ancaman pandemi Covid 19 dan perang dagang globaL, para tokoh, pejabat dan kita semua sebaiknya ikut mendinginkan suasana. Lebih bijaksana saling bicara atau dialog karena kita tidak sedang menghadapi bughot. Jangan sebaliknya terus mengipas-ipas seperti membakar sate.
Saya berharap , “tokoh-tokoh di dalam dan di luar pemerintahan" bisa berpikir jernih dan kembali kepada kalimat “dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan".
Di samping itu, kita sedang prihatin beberapa pimpinan dan tokoh NU sedang kurang sehat antara lain, KH Said Aqil Siroj dan KH Hanief Muslich, mari kita doakan kembali sembuh, lahuma al-Fatihah.
Dr KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosual-Politik, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU, periode 2010-2015). Tinggal di Jakarta.
Advertisement