Fakta Sejarah, Kaum Muslim pun Apresiasi Filsafat Neoplatonisme
Para pejuang Islam, di masa Sahabat Nabi Muhammad Shalllahu alaihi wassalam (SAW) dan generasi sesudahnya, tidak serta merta menganggap pemikiran di zaman Yunani sebagai usang. Tapi, ada apresiasi tersendiri yang dibuktikan dalam fakta sejarah.
KH Husein Muhammad, ulama pesantren yang konsen terhadap masalah pemikiran Islam dan pemikiran ulama-ulama perempuan, menyempatkan diri memberi catatan penting dalam masalah ini. Berikut uraiannya:
Ketika Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (SAW) wafat, para sahabatnya telah menyebar ke berbagai negeri, antara lain Irak, Syam (Syria, Yordania, Pakestina, Lebanon), Mesir, Persia, India, bahkan sampai China.
Di tempat-tempat itu mereka bertemu, bersentuhan dan berinteraksi dengan kebudayaan setempat yang telah terbentuk dan mengakar di masyarakatnya masing-masing.
Ahmad Amin, pemikir dan penulis Mesir terkenal, menginformasikan kepada kita bahwa ketika Islam masuk ke wilayah Syria dan Irak, kaum Muslimin menemukan pikiran-pikiran masyarakat di wilayah tersebut yang diliputi oleh beragam kebudayaan, terutama Persia dan Yunani dan lebih khusus lagi pikiran Neoplatonisme. Filsafat Yunani telah menyebar di wilayah Timur.
Ketertarikan kaum Muslimin pada kebudayaan di sana pada gilirannya menggerakkan Dinasty Umayyah yang berpusat di Damaskus untuk menerjemahkan, terutama karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab.
Adalah Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah (634-704 M ) disebut sejumlah penulis sebagai orang pertama yang memperkenalkan filsafat Neoplatonisme ke dunia kaum muslimin. Ia mengembara ke Iskandaria dan belajar di perpustakaan di sana selama beberapa tahun. Di tempat itu, di sebuah perpustakaan besar, ia mempelajari sekaligus menerjemahkan buku-buku filsafat, kedokteran, astronomi, sastra dan sebagainya.
Abd al-Rahman Badawi dalam “Al-Aflathuniyah al-Muhdatsah ‘Inda al-‘Arab”, mengatakan bahwa pikiran-pikiran filsafat Neoplatonisme masuk di dalam dunia Islam lebih banyak melalui pikiran-pikiran Plotinos, Porphyrius dan Proclos.
Kaum Muslimin awal menyebut Plotinus sebagai “Syeikh Yunani” dan membaca bukunya “Tusa’at Aflatun” (“Enneades”). Buku terkenal ini merupakan bagian dari “Teologi Aristoteles”. Ada juga yang menyebutnya dengan nama “Teologi Platon”. Al-Syihristani, menulis tokoh ini dalam bukunya yang terkenal “Al-Milal wa al-Nihal”. Tetapi tokoh paling banyak dipelajari adalah Proclos (410 M – 480 M.). Ia merupakan filosof Neoplatonis terbesar terakhir. Ia melakukan upaya keras sintesa filsafat Yunani terbesar terakhir yang menyebarkan pengaruh yang luas terhadap para pemikir muslim abad pertengahan bahkan sampai masa renaisans. Pikiran-pikirannya disambut dengan penuh minat oleh banyak intelektual Muslim.
Lalu di Mesir ada Dzunnun al-Mishri (w. 786-859 M), seorang yang namanya disebut sebagai sufi besar. Ia mempunyai hubungan erat dengan tradisi Mesir kuno, juga tradisi filsafat Hellenis, Platonisme, Kristen dan Yahudi. Namanya dikenal kemudian sebagai penggagas teori “Ma’rifah” (gnostik) dalam tradisi sufisme Islam.
Pemikiran Syeikh Yusuf al Qaradhawi
Saat aku mendengar Syeikh Yusuf al Qaradhawi wafat, aku teringat kata-katanya yang menarik : Cara dan Sarana itu bisa Berubah-ubah
اِنَّ الوَسَآئِلَ قَدْ تَتَغَيَّر فى عَصْرٍ مِنَ العُصُور ومِنْ بِيئَةٍ الَى أُخْرَى بَل هِى لا ُبدَّ مُتَغَيِّرَة . فَإِذَا نَصَّ الحَدِيثُ عَلَى شَيْئٍ مِنْهَا فَإِنَّمَا هِىَ لِبَيَانِ الوَاقِعِ لَا لِيُقَيِّدُنَا بِهَا وَيُجْمِدُنَا عِنْدَهَا ". بَلْ لَوْنَصَّ القُرْآنُ نَفْسُه عَلى وَسِيلَةٍ مُنَاسِبَةٍ لِمَكَانٍ مُعَيَّنٍ وزَمَانٍ مُعَيَّنٍ فَلَا يَعْنِى ذَلِكَ اَنْ نَقِفَ عِنْدَهَا وَلَا اَنْ نُفَكِّرَ فى غَيْرِهَا مِنَ الوَسَائِلِ الْمُتَطَوّرَة بِتَطَوُّرِ الزَّمَانِ والْمَكَانِ. (يوسف القرضاوى , كيف نتعامل مع السنة النبوية, ص 160(
"Sarana dan cara bisa berubah/berkembang dari masa ke masa, dan dari satu lingkungan sosial ke lingkungan sosial yang lain. Bahkan seharusnya berubah-ubah. Bila ada teks hadits yang menunjuk pada hal tertentu, maka ia sesungguhnya memotret realitasnya, bukan untuk mengikatkan diri kepadanya dan tidak pula untuk membuat kita terpaku padanya. Bahkan jika sebuah teks Al Quran menyebutkan sebuah cara atau mekanisme tertentu, di tempat tertentu atau waktu tertentu, maka kita tidak harus terpaku seperti itu dan tidak juga harus mencari cara yang lain.”(Kaifa Nata'mal ma'a al Sunnah al Nabawiyyah, 160).
Jadi yang esensial adalah mewujudkan cita-cita syariat itu (maqashid al Syari'ah).
Sulthan al Ulama, Izz bin Abd al Salam mengatakan :
كل تصرف تقاعد عن تحصيل مقصوده فهو باطل".(قواعد الاحكام ج 2 ص 121).
"Setiap tindakan/keputusan hukum yang tidak mewujudkan tujuannya, maka itu batal".(Qawaid, II/121).
Demikian catatan KH Husein Muhammad. Semoga bermanfaat. (27.09.22/HM)
Advertisement